Petualangan di KAPAL PESIAR Scan by BBSC - OCR by Raynold Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 1 RENCANA LIBURAN YANG HEBAT ­­"ADA sesuatu yang dirahasiakan Ibu," kata Philip Mannering. "Aku tahu pasti. Sikapnya aneh sekali akhir-akhir ini!" "Memang," jawab Dinah, adiknya. "Dan setiap kali aku menanyakan rencana kita untuk liburan ini, jawabannya selalu berbunyi, 'Lihat saja nanti!' Kita diperlakukannya seperti baru berumur sepuluh tahun!" "Mana Jack?" tanya Philip. "Coba kita tanyakan padanya, barangkali ia tahu kenapa Ibu begitu." "Ia keluar tadi bersama Lucy-Ann," jawab Dinah. "Nah, itu mereka datang! Kudengar jeritan Kiki." Jack Trent masuk bersama Lucy-Ann, adiknya. Kedua anak itu mirip sekali! Sama-sama berambut merah, berbola mata hijau - dan muka penuh bintik. "Halo!" sapa Jack sambi I nyengir. "Sayang kalian tadi tidak ikut! Ada anjing menggonggongi Kiki. Burung konyol ini lantas hinggap di pagar, lalu mengeong-ngeong seperti kucing. Belum pernah kulihat anjing yang begitu kaget!" “Ya, ia lari pontang-panting ketakutan!" kata Lucy-Ann. Ia menggaruk-garuk jambul Kiki. Burung kakaktua itu mengeong-ngeong lagi. Rupanya ia tahu bahwa anak-anak sedang mempercakapkan dirinya. Kemudian ia mendesis-desis. Persis kucing yang sedang marah! Anak- anak tertawa mendengarnya. "Kalau kau begitu pada anjing tadi, pasti ia akan mati tercengang," kata Jack. "Dasar Kiki - orang takkan bisa bosan jika kau ada." Kini Kiki mengayun-ayunkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, sambil berbunyi seperti menyanyi dengan pelan. T api lalu disusul dengan suara terkekeh-kekeh. "Nah, nah - sekarang kau pamer," kata Philip. "Jangan acuhkan dia lagi. Nanti berisik - lalu Ibu datang sambil marah-marah!" "0 ya, aku jadi ingat lagi - kenapa Ibu sekarang begitu misterius, ya?" kata Dinah. "Kauperhatikan tidak, Lucy-Ann?" "Yah -" kata Lucy-Ann sambil menimbang-nimbang. "Bibi Allie memang agak aneh sikapnya akhir-akhir ini, seperti menyimpan rahasia tertentu. Seperti kalau ada yang akan berulang tahun, begitu! Kurasa ia punya rencana tertentu untuk liburan ini." Jack mengeluh. "Aduh, sial- padahal aku sudah punya rencana asyik! Benar-benar asyik! Sebaiknya aku cepat- saja menceritakan rencanaku itu, sebelum didului Bibi Allie." ­"Apa rencanamu?" tanya Dinah berminat Jack selalu ada-ada saja rencananya yang asyik, walau tidak sering jadi dilaksanakan. "Begini! Bagaimana jika kita melancong ramai-ramai naik sepeda, dengan membawa tenda. Kita berkemah, berpindah-pindah," kata Jack. "Nah-asyik, kan?" Anak-anak yang lain malah mencibir. "Itu sudah kauusulkan liburan yang lalu, begitu pula liburan sebelum itu," kata Dinah. " Waktu itu Ibu tidak setuju. Jadi kemungkinannya kecil bahwa ia mau mengizinkan sekarang. Rencanamu itu bukan jelek sebenarnya - tapi Ibu tidak mau tahu lagi, karena begitu sering kita mengalami petualangan yang tegang apabila kita pergi sendiri." "Kenapa dia tidak ikut saja, kalau begitu?" kata Lucy-Ann menyarankan. "Sekarang kau konyol," tukas Dinah. "Ibu baik hati - tapi orang dewasa suka rewel tentang berbagai hal. Misalnya saja begitu kelihatan mulai mendung, kita disuruhnya cepat-cepat memakai mantel hujan. 'Ayo, pakai jas kalian!', begitu matahari sudah terbenam. Jika Ibu ikut, aku takkan heran jika kita semua dibekali payung yang harus diikatkan ke sepeda." Anak-anak tertawa geli. "Kalau begitu lebih baik jangan kita ajak ,dia,” kata Lucy-Ann. "Sayang!" "Sayang-sayang," oceh Kiki dengan segera, seakan-akan sependapat dengan Lucy-Ann. "Bersihkan kaki dan tutup pintu, mana sapu tanganmu, Anak nakal!" "Betul, Kiki!" kata Philip. "Memang itulah kata-kata yang selalu diucapkan orang dewasa - bahkan yang paling baik hati sekalipun!" “Tapi Bill tidak begitu," kata Lucy-Ann dengan cepat "Kalau Bill - ia benar-benar baik!" Semua sependapat dengannya. Bill Cunningham -- atau Bill Smugs, seperti disebutnya sendiri sewaktu pertama kali berjumpa dengan keempat remaja itu - sahabat karib mereka. Sudah sering mereka mengalami petualangan bersama dia. Kadang-kadang mereka dulu yang menjumpai kejadian yang tidak disangka-sangka, lalu Bill ikut terlibat. Tapi kadang-kadang yang terjadi sebaliknya. Bill terjerumus ke dalam petualangan seru, yang kemudian melibatkan anak-anak pula. Kelihatannya di mana ada Bill serta anak-anak, selalu saja kemudian timbul petualangan. Begitulah kata Bu Mannering. "Aku juga punya gagasan untuk liburan kita," kata Philip. "Rencanaku itu berkemah di tepi sungai, sambil mengamat-amati kehidupan anjing air. Aku belum pernah memelihara anjing air. Mereka menarik sekali. Aku -- " "Ya, pantas jika kau yang mempunyai gagasan seperti itu," kata Dinah agak kesal. "Karena kau sendiri tergila-gila pada segala macam hewan, mulai dari kutu sampai - sampai..." "Gajah," kata Jack menimpali dengan santai. ­"Ya, dari kutu sampai gajah. Kausangka semua pasti juga begitu," kata Dinah menyelesaikan kalimatnya. "Liburan macam apa itu! - Mencari anjing air yang basah berlendir, dan yang mestinya kalau malam diajak masuk ke dalam tenda - dan belum lagi hal-hal lain yang sama menjijikkan! Huhh!" "Jangan begitu," kata Philip membantah. "Anjing air sama sekali tidak menjijikkan. Malah bagus sekali! Kau harus melihat mereka, berenang dengan lincah di bawah permukaan air. Kecuali itu, aku sama sekali tidak tergila-gila pada kutu. Atau nyamuk. Atau lalat kuda! Aku memang menganggap serangga seperti itu menarik - tapi kau tidak bisa mengatakan aku ingin memelihara mereka." "Alaaa, ngomong," tukas Dinah." Bagaimana dengan serangga yang waktu itu kaubuatkan kurungan, tapi kemudian lari ke luar? Lalu kumbang tanduk itu, yang bisa disuruh macam- ? Belum lagi --" "Nah, nah, sudah mulai lagi sekarang!" kata Jack. Ia melihat bahwa sejenak lagi pasti akan pecah pertengkaran antara Philip dengan adiknya yang cepat panas itu. "Pasti sekarang kita akan disuguhi rentetan binatang apa saja yang pernah dipelihara Philip! Eh - itu Bibi Allie datang! Yuk, kita tanyakan pendapatnya tentang rencana kita untuk liburan ini. Rencanamu dulu, Philip!" Bu Mannering masuk sambil membawa buku kecil. Ia memandang keempat remaja itu sambil tersenyum. Kiki menegakkan jambul, karena gembira. "Bersihkan kaki dan tutup pintu," ocehnya dengan suara ramah. "Satu, dua, tiga - DOR!" Ia menirukan bunyi letusan pistol, sehingga Bu Mannering terlonjak kaget. "Jangan kaget, Bu! Ia memang suka begitu sekarang sejak ikut menonton pertandingan olahraga di sekolah. ia mendengar aba-aba yang diserukan saat pertandingan lari, yang disusul dengan bunyi tembakan pistol start," kata Philip menjelaskan sambil tertawa lebar. "Pernah ia menirukan bunyi letusan ketika kami sedang bersiap-siap. Jadinya kami langsung lari, padahal belum diberi aba-aba! Wah - Kiki terkekeh-kekeh setelah itu. Burung bandel!" . "Polly nakal, kasihan Polly, kasihan, kasihan" kata Kiki. Jack menepuk paruhnya. "Ayo, diam! Kakaktua hanya boleh kelihatan, tidak boleh bersuara. Bibi, kami baru saja mengobrol tentang rencana liburan kali ini. Aku berpendapat, pasti asyik apabila Bibi mengizinkan kami melancong naik sepeda. Begitu saja, tanpa tujuan tertentu, dan setiap malam berkemah di mana kami kebetulan berada. Aku tahu, Bibi sudah pernah tidak mengizinkan, tapi kali ini -" "Kukatakan ‘Tidak boleh', lagi," kata Bu Mannering. Sikapnya tegas. "Kalau begitu bagaimana jika kami berkemah di tepi sungai, Bu? Soalnya, aku ingin mempelajari kehidupan anjing air," kata Philip, tanpa mengacuhkan Dinah yang langsung merengut. "Soalnya –“ ­"Tidak boleh, Philip," kata ibunya dengan nada setegas tadi. "Kau sudah tahu, apa sebabnya aku tidak mau mengizinkan kalian berlibur dengan cara begitu. Kusangka kalian sudah tidak akan merengek-rengek lagi mengenainya." "Tapi apa sebabnya kami tidak diizinkan, Bibi Allie," keluh Lucy-Ann. "Kan sama sekali tidak berbahaya!" "Nah, Lucy-Ann - kau kan tahu sendiri, begitu kalian lenyap dari penglihatanku saat awal liburan, kalian langsung - ya, betul, langsung - terjerumus ke dalam petualangan yang serba menyeramkan. Sekali ini aku sudah bertekad takkan membiarkan kalian pergi sendiri, baik ke mana pun. Jadi percuma saja membujuk-bujuk." Bu Mannering mengucapkannya dengan sikap galak. "Aduh - kenapa begitu, Bu," kata Philip kecut. "Ibu ini, seakan-akan kami dengan sengaja mencari-cari petualangan. Padahal sama sekali tidak! Dan aku ingin tahu – kami akan terjerumus ke dalam petualangan yang seperti apa, saat berkemah di pinggir sungai? Kalau Ibu mau, bisa saja mengontrol ke sana setiap petang." "Ya - dan sore pertama aku ke sana, tahu-tahu kalian sudah lenyap - dan kemudian ternyata terlibat dalam urusan menghadapi .perampok, mata-mata, atau entah penjahat yang mana lagi," kata ibunya. "Ingat saja lagi beberapa libur kalian! Tersesat ke dalam tambang tembaga kuno di pulau yang tak dihuni orang... lalu terkurung di dalam sel bawah tanah di puri yang sudah runtuh, berurusan dengan komplotan mata-mata...." "Ya, betul- dan pernah pula kami keliru masuk pesawat terbang, lalu sampai di Lembah Petualangan," kata Lucy-Ann sambil mengingat-ingat kembali. "Waktu itulah kami kemudian menemukan patung-patung kuno yang dicuri lalu disembunyikan di dalam gua! Hii - mata patung-patung itu berkilat-kilat, sampai semula kusangka hidup. Tapi ternyata tidak! Namanya juga patung." "Lalu kita ke Pulau Burung, di mana kita kemudian berjumpa dengan Bill," kata Jack. 'Wah, saat itu asyik! Masih ingat tidak, Philip - dua ekor burung puffin jinak, yang selalu ikut dengan kita?" "Enggas Enggos," sela Kiki dengan cepat "Betul, Kiki," kata Philip. "Mereka kita beri nama Enggas dan Enggos. Lucu sekali mereka itu!" "Bisa saja kalian waktu itu sebenarnya hendak mengamat-amati burung, tapi yang ditemukan kawanan penjahat," kata ibunya. "Penyelundup senjata! Uh - itu kan berbahaya sekali!" "Bagaimana dengan liburan musim panas yang lalu, Bu,” kata Dinah. “Waktu itu Ibu sendiri juga nyaris terlibat dalam petualangan!" "Bulu kudukku masih merinding. jika mengingatnya," kata Bu Mannering bergidik. "Gunung seram dengan rahasianya yang aneh - serta Raja Gunung yang sinting! Nyaris saja kalian tidak bisa melarikan diri dari situ. Tidak! Keputusanku sudah pasti - kalian tidak akan kuperbolehkan lagi pergi sendiri. Aku harus ikut!" Anak-anak terdiam. Mereka semua sayang pada Bu Mannering. Tapi mereka juga ingin bisa melancong sendiri selama beberapa waktu. "Bibi Allie - kalau Bill ikut dengan kami - kalau begitu boleh, kan?" kata Lucy-Ann membujuk. "Kalau ada dia, aku selalu merasa aman." "Bill tidak bisa dijadikan andalan bahwa kalian takkan mengalami petualangan yang tidak enak," kata Bu Mannering. "Aku tahu, menurut kalian dia itu hebat - dan dibandingkan dengan orang lain yang mana pun juga, aku lebih percaya padanya. Tapi begitu kalian ada bersama dia, selalu ada-ada saja yang terjadi. Jadi untuk liburan kali ini aku sudah punya rencana yang benar-benar aman. Dan Bill tidak termasuk dalam rencanaku itu. Jadi ada kemungkinan kali ini kita bebas dari bahaya mana pun, begitu. pula kejadian-kejadian luar biasa." "Bagaimana rencananya, Bu,” tanya Dinah. Ia merasa gelisah. "Ibu kan tidak bermaksud mengajak kita semua ke pantai, dan di sana tinggal di hotel? Mereka pasti tidak mau menerima Kiki." "Kalian akan kuajak pesiar di laut, naik kapal besar," kata Bu Mannering. Ia tersenyum. "Aku tahu, kalian pasti senang mendengarnya. Pesiar begitu asyik sekali! Nanti kita akan singgah- di berbagai tempat, melihat berbagai hal yang asing dan serba menarik. Sedang kalian akan bisa kuawasi terus, karena tidak mungkin berpencaran ke mana-mana. Selama beberapa waktu kita akan tinggal di atas kapal. Kalau mampir di salah satu pelabuhan, nanti kita akan turun ke darat secara berombongan. Dengan begitu takkan mungkin terjadi petualangan yang aneh-aneh." Keempat remaja itu berpandang-pandangan sesaat, diperhatikan oleh Kiki. "Kedengarannya asyik juga, Bu!" kata Philip, yang paling dulu memberi reaksi. "Sungguh! Kita belum pernah naik kapal besar. Tapi kalau kupikirkan, tidak ada binatang..." "Aduh, Philip!" seru Dinah dengan kesal. "Tidak bisakah kau pergi tanpa kebun binatangmu? Terus terang saja ya - aku selalu lega kalau tahu bahwa kau tidak membawa-bawa tikus, atau kadal, atau cecak ular! Ya, Bu - aku setuju sekali dengan rencana itu. Terima kasih! Itu baru rencana hebat namanya!" ''Ya - memang mengasyikkan," kata Jack. "Nanti akan banyak sekali burung yang bisa kita lihat. " "Selama bisa mengamat-amati burung, Jack sudah pasti senang," kata Lucy-Ann sambil tertawa. "Untung aku dan Dinah tidak ikut tergila-gila pada sesuatu, karena Philip sudah sibuk dengan kecintaannya pada binatang apa saja, dan Jack yang pikirannya selalu pada burung! Ya, Bibi Allie, rencana Bibi itu hebat sekali. Kapan kita berangkat?" "Minggu depan," jawab Bu Mannering. "Dengan begitu masih banyak waktu untuk berkemas. Cuaca akan panas selama kita siar dengan kapal, jadi kita harus banyak membawa pakaian tipis. Sebaiknya yang berwarna putih - karena tidak terlalu menyerap panas. Dan kalian. jangan lupa memakai topi pelindung terhadap sinar matahari. Jadi jangan berkeluh-kesah sekarang tentang itu!" "Bill tidak ikut, Bu?" tanya Philip. "Tidak," kata ibunya dengan tegas. "Rasanya memang kurang enak, karena ia baru saja selesai dengan tugasnya, dan sekarang sebenarnya ingin cuti. Tapi sekali ini ia tidak bisa ikut dengan kita. Aku ingin mengalami liburan yang tenang, tanpa petualangan." "Kasihan Bill," kata Lucy-Ann.. "Tapi kurasa ia mungkin juga senang, sekali-sekali berlibur tanpa kita. Wah - akan asyik kita nanti!" "Syik!" oceh Kiki menimbrung, lalu menjerit "Syiksyik!" Bab 2 VIKING STAR ­SETELAH itu dimulailah persiapan menghadapi acara pesiar dengan kapal. Asyik! Berbelanja pakaian tipis dan topi bertepi lebar, film untuk memotret, buku-buku pedoman wisata serta berbagai peta. Pesiar itu lumayan juga lamanya. Kapal yang akan mereka tumpangi menyinggahi Portugal, kepulauan Madeira, Maroko, Prancis, Italia, lalu kepulauan Aegea. Benar-benar menyenangkan! Akhirnya semua sudah siap. Segala-galanya sudah masuk ke dalam kopor. Karcis kapal sudah dikirimkan. Urusan paspor selesai. Anak-anak berteriak-teriak melihat foto mereka dalam paspor. Huh - jelek sekali! Kiki ikut menjerit-jerit. Burung itu paling senang melakukannya, tapi selalu dilarang. Karena itu ia langsung ikut, sebab semuanya juga menjerit "Diam, Kiki!" kata Jack. Ditolakkannya burung itu. dari bahunya. "Kau ini memang keterlaluan, menjerit begitu dekat di kupingku! Bisa tuli aku nanti! Bibi Allie - bagaimana dengan 'Kiki, apakah tidak diperlukan paspor pula untuknya?” ­"Tentu saja tidak," jawab Bu Mannering. "Aku bahkan ragu, apakah kita nanti diperbolehkan membawa dia!" Jack terpana sesaat "Wah - kalau ia tidak boleh ikut, aku tidak jadi pergi!" katanya kemudian. "Aku tidak sampai hati! Meninggalkannya ia pasti akan merasa sengsara." "Baiklah kutulis surat dulu, menanyakannya, kata Bu Mannering. “Tapi kalau jawabannya tidak, kau jangan rewel ya, Jack! Aku sudah repot-repot mengatur perjalanan ini. Aku tidak ingin kau mengacaukannya lagi, hanya karena urusan Kiki. Menurutku, ia takkan diperbolehkan ikut - karena kurasa para penumpang lainnya tentu akan protes jika ada yang membawa burung seberisik dia." ­"Tapi Kiki juga bisa tenang, kalau mau," kata Jack. Kasihan - justru saat itu Kiki iseng, terceguk-ceguk. Bunyi itu yang paling tidak disukai Bu Mannering. "Berhenti, Kiki!" katanya. Kiki langsung berhenti. Ditatapnya Bu Mannering dengan sikap merajuk. Kemudian ia batuk-batuk. Batuk pelan seperti, orang tua. Ia menirukan tukang kebun. Bu Mannering merapatkan bibir, menahan tertawa yang sudah hampir tersembur ke luar. "Kiki ini benar-benar konyol," katanya. "Sinting! Nah - mana daftar pekerjaan yang masih harus kulakukan sebelum kita berangkat?" "Satu, dua, tiga -" Jack cepat-cepat membungkam Kiki, sebelum burung itu sempat menirukan bunyi tembakan. Jack berbicara dengan serius, setelah Bu Mannering meninggalkan ruangan. "Kiki, mungkin kau nanti terpaksa kutinggal, karena aku tidak bisa mengacaukan segala-galanya hanya karena ingat padamu. Tapi jangan sedih dulu - aku akan berusaha sebaik mungkin agar kau bisa ikut" "Hidup Ratu!" kata Kiki. Menurut perasaannya itu pasti saat penting, kalau melihat air muka Jack "Kasihan Polly, Polly nakal!" Hari-hari terakhir sebelum berangkat rasanya berlalu dengan lamban. Lucy-Ann mengeluh, "Kenapa ya, waktu rasanya lama sekali jika ada sesuatu yang diharapkan cepat tiba? Huh, menjengkelkan! Rasanya seperti takkan pernah hari Kamis!" ­Jack tidak seribut anak-anak lain. Soalnya surat Bu Mannering sudah ada balasannya. Di situ dikatakan bahwa burung kakaktua tidak diizinkan dibawa berlayar. Anak-anak kecewa. Apalagi Jack! Tapi ia tidak mengomel, atau merengek-rengek. Bu Mannering merasa kasihan padanya, lalu menawarkan akan meminta pada seorang wanita kenalannya untuk mengurus Kiki selama itu. "Terima kasih, Bibi Allie - tapi biar saya sendiri yang mengatur urusan itu," kata Jack. Karenanya Bu Mannering lantas tidak menyinggung-nyinggung lagi. Ia diam saja, juga ketika Kiki duduk di atas meja makan sambil mencongkeli kismis dari kue yang dihidangkan, sebelum ada yang sempat melihat. Hari Rabu mereka beramai-ramai naik mobil ke Southampton. Anak-anak ikut mobil yang dikemudikan Bu Mannering sendiri, sedang barang-barang dimuat dalam mobil lain. Mereka sibuk sekali saat itu Setiap orang mendapat tugas membawa sesuatu. Lucy-Ann berulang kali memandang ke arah barang yang harus dibawanya. untuk meyakinkan bahwa barang itu masih ada. Mereka akan menginap semalam di hotel, lalu pukul setengah sembilan keesokan paginya naik ke kapal, saat air pasang naik. Kapal berangkat pukul sebelas, menuju Prancis. Malam itu mereka makan enak di hotel. Kemudian Bu Mannering mengajak nonton film, karena tahu bahwa anak-anak pasti belum bisa tidur apabila disuruh tidur pada waktu yang biasa. "Bolehkah aku pergi ke rumah bekas kawan sekolahku, Bibi Allie?" kata Jack meminta izin. "Ia tinggal di kota ini. Aku ingin mampir sebentar di tempatnya." “Tentu saja boleh," kata Bu Mannering. "Tapi jangan pulang terlalu malam, ya! Kau juga ingin ikut dengan Jack, Philip?" "Temanmu yang mana, Jack?" tanya Philip pada Jack yang sementara itu sudah berjalan ke luar. Jack menggumamkan sesuatu di ambang pintu. "Apa katanya?" kata Philip. "Kedengarannya seperti, 'Porky'," kata Dinah. "Porky? Siapa itu?" kata Philip heran. "Ah - pasti anak yang juga suka pada burung. Mendingan nonton film kalau begitu. Ibu kan mengajak melihat film yang banyak binatang liarnya itu!" Jack belum kembali, ketika mereka berangkat. Tapi sewaktu mereka pulang, ia sudah ada di kamar, membaca-baca buku pedoman wisata yang dibeli Bu Mannering. "Nah, bagaimana? Kau berjumpa dengan Porky?" kata Philip. Anak itu heran melihat Jack malah mengerutkan kening. Kenapa Jack begitu? Pasti ada lagi sesuatu yang direncanakannya secara diam-diam! Philip cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. Ia bercerita tentang film yang baru saja ditonton. ­"Ayo, tidur sekarang," kata Bu Mannering. "Jangan berbicara lagi, Philip! Semua tidur - dan ingat, besok tepat pukul tujuh pagi sudah harus bangun." Ternyata semua sudah bangun, jauh sebelum pukul tujuh. Anak-anak perempuan sibuk mengobrol sendiri, sedang Jack juga bercakap-cakap dengan Philip. Philip bertanya tentang malam sebelumnya. "Kenapa kau menyuruh aku diam sewaktu kutanyakan apakah kau berhasil menemui Porky?" tanyanya, "Dan - siapa itu, Porky?" "Itu - anak yang nama sebenarnya D­ogsney," kata Jack. "Kita biasa menjulukinya Porky, karena hog dan pork kan sarna-sarna 'babi'. Ia sudah lama pindah sekolah. Itu, yang selalu ingin meminjam Kiki. Masa tidak ingat?" "Aah. Porky-ya, sekarang aku ingat lagi," kata Philip. "Aku sudah hampir lupa padanya. Tapi kenapa kau mendatanginya, Jack? Kau kelihatannya seperti menyimpan rahasia." . "Jangan tanyakan, karena aku tidak mau menjawab," kata Jack. "Aduh, kau ini - begitu misterius sikapmu," kata Philip. "Tapi kurasa pasti ada sangkut-pautnya dengan Kiki. Setiap kali ditanyakan kau apa­kan burungmu itu, kau selalu saja mengelak. Kami tidak mendesak lebih lanjut, karena beranggapan bahwa kau tentunya sedang sedih memikirkan nasibnya." ­"Kalau begitu jangan desak aku sekarang," kata Jack. "Saat ini aku tidak ingin mengatakan apa-apa. " "Baiklah," kata Philip pasrah. “Tapi aku tahu, kau menyimpan rencana. Yuk - kita bangun saja sekarang. Memang belum pukul tujuh, tapi sayang kan jika kita berbaring terus di tempat tidur. Cuaca di luar cerah sekali." Pukul setengah sembilan lewat sedikit. Me­reka sudah ada di atas kapal, lalu langsung menuju ke kabin mereka. Bu Mannering memesan tiga kabin yang berdampingan. Satu kabin antuk satu orang baginya sendiri, dan dua kabin dengan dua tempat tidur untuk anak-anak. Lucy-Ann senang sekali melihat kabin yang akan ditempati olehnya bersama Dinah. 'Wah! Persis seperti kamar biasa, tapi kecil," katanya. "Kabin kalian juga seperti ini, Jack? Lihatlah, di sini bahkan ada keran air panas dan air dingin. " "Di kabin kami ada kipas angin," kata Philip, yang saat itu muncul di ambang pintu. "Sudah kami hidupkan. Enak - hawa di dalam menjadi sejuk karenanya. Tapi kalian juga punya itu!" "Eh - batas air ternyata tidak jauh di bawah tingkap ini," kata Dinah sambil menjenguk ke luar lewat lubang jendela kapal. "Kalau laut berombak besar nanti, tempat kita ini pasti tergenang air yang masuk!" "Ah - sebelumnya pasti sudah dikunci baik-baik," kata Philip. "Untung kita berada di dekat batas air. Dalam cuaca sepanas sekarang ini, di sini lebih sejuk daripada di kabin yang lebih tinggi letaknya. Hmm - asyik! aku ingin kita lekas-lekas berangkat!" Setelah itu mereka pergi melihat kabin Bu Mannering yang lebih kecil ukurannya. Tapi selebihnya sama dengan kabin-kabin mereka. Dan situ mereka keluar, melihat-lihat keadaan kapal. Kapal pesiar itu besar, tapi tidak sangat besar. Warnanya putih mulus. Segala-galanya putih: cerobong asap, pagar pinggiran, dan sisinya. Namanya tertulis pada semua sekoci putih yang digantungkan pada tonggak-tonggak besar melengkung yang terdapat di tepi geladak. ‘Viking Star’. Lucy-Ann mengucapkan nama itu berulang-ulang. "Kurasa besok pasti ada latihan bahaya," kata Bu Mannering yang ikut melihat-lihat bersama keempat remaja itu. "Dalam lemari kabin ada jaket pelampung. Kulihat tadi," kata Lucy-Ann. "Bagaimana cara memakainya, ya?" "Jaket itu kaususupkan lewat kepala, sehingga dada dan punggung tertutup. Sesudah itu ikatkan tali yang ada di situ erat-erat, melilit tubuh," kata Bu Mannering memberi penjelasan. "Besok kau harus memakainya, saat ada latihan bahaya." Kedengarannya mengasyikkan! Mereka berjalan terus, berkeliling kapal. Segala-galanya menarik bagi mereka. Di kapal ada geladak tempat berolahraga. Sudah ada orang bermain lempar gelang di situ. Dua orang lagi bermain tenis. ­"Bayangkan - bisa main tenis di atas kapal!" kata Dinah kagum. "Di bawah ada ruang tempat memutar film," kata Bu Mannering. "Dan juga ruang tempat menulis surat, ruang duduk dengan perpustakaan, serta ruang makan yang luas sekali!" "Wah! Lihat, itu - bahkan kolam renang pun ada di sini!" seru Jack dengan terheran-heran, ketika mereka sampai di sisi sebuah kolam renang yang bagus, di ujung kapal. Airnya biru jernih. Tiba-tiba peluit kapal berbunyi dua kali. Nyaring sekali! Lucy-Ann kaget. Nyaris saja ia tercebur ke dalam. kolam. "Kau kaget, ya?" kata Bu Mannering sambil tertawa. "Aku juga!" "Keras sekali bunyinya!" kata Lucy-Ann. "Untung saja Kiki tidak ada di sini. Kalau ia ikut -ikut berbunyi seperti peluit tadi - gawat!" "Diam, Goblok!" tukas Dinah dengan suara pelan. "Jangan ingatkan Jack bahwa Kiki tidak ikut!" Lucy-Ann menoleh sebentar, mencari Jack. Tapi anak itu tidak ada di situ. "Ke mana dia?" tanyanya pada Dinah. Ternyata tidak ada yang melihatnya pergi. “Tentunya ada di dekat-dekat sini," kata Philip. "He, rupanya sebentar lagi kita berangkat. Lihatlah, tangga sudah diangkat Sebentar lagi kita berlayar!" "Yuk, kita berdiri di sisi sebelah dermaga, lalu melambai-lambai pada' orang-orang yang ada di bawah," kata Lucy-Ann. ia bersandar ke pagar, sambil memperhatikan orang-orang yang berkerumun di dermaga. Mereka itu para pengantar. Ramai sekali mereka berseru-seru sambil melambai-lambai. Tiba-tiba Lucy-Ann terpekik. "Eh - lihatlah. Itu! Itu, di sana! Ada orang dengan burung kakaktua yang persis Kiki! Sungguh, persis sekali. Mana Jack. Ini harus kukatakan padanya. Sialan - ke mana dia?" Mesin kapal sudah mulai berputar. Anak-anak merasakan lantai geladak di bawah telapak kaki bergetar. Lucy-Ann memicingkan mata, berusaha memperhatikan kakaktua yang dikatakannya mirip Kiki itu dengan lebih jelas. "Itu memang Kiki!" teriaknya. "Kiki! Kiki! Selamat tinggal, Kiki! Itu kan kau, Kiki!" Kaki burung itu dirantai ke pergelangan tangan seorang remaja. Anak-anak tidak bisa mengetahui apakah kakaktua itu mengeluarkan suara atau tidak, karena suasana di sekitar situ hiruk-pikuk. Tapi tampangnya memang mirip sekali dengan Kiki. "Kita berlayar! Kapal sudah mulai menjauhi dermaga,” seru Philip bersemangat. "Hore, kita berangkat!" Ia sibuk sekali melambai-lambai. Dilambainya siapa saja yang kebetulan memandang ke arahnya. Lucy-Ann ikut melambai, tapi sambi! memperhatikan kakaktua tadi, yang makin lama makin kecil kelihatannya, sementara kapal bergerak semakin jauh ke tengah. Burung itu mengepak-ngepakkan sayap, sehingga remaja yang memegangnya kerepotan. Apalagi karena dipatuk-patuk. Tiba-tiba burung itu terbang membubung. Rantai pengikatnya putus. Atau mungkin juga terlepas. Entahlah! Pokoknya burung itu terbang melintasi air yang memisahkan kapal dari dermaga, sambil menjerit-jerit. "Ya, ya, itu memang Kik!" seru Lucy-Ann. "Di mana kau, Jack! Jaaack!" Bab 3 MENYESUAIKAN DIRI ­DINAH, Philip, dan Lucy-Ann bergegas-gegas pergi mencari Jack. Burung tadi sudah sampai di kapal, dan kini tidak kelihatan lagi. Ketiga remaja itu merasa pasti bahwa burung itu Kiki. Dan menurut dugaan Philip, Jack" pasti nanti tidak begitu kaget seperti mereka. Tapi Jack tidak bisa ditemukan. Huhh, menjengkelkan! Mereka mencarinya ke mana-mana. Akhirnya Lucy-Ann teringat pada kabin. "Mungkin ia ada di kabin kalian," katanya pada Philip. 'Walau aku tidak mengerti kenapa ia malah mengurung diri di situ saat kapal meninggalkan pelabuhan! Dan mana kakaktua tadi? Tahu-tahu sudah menghilang pula!" Mereka menuruni tangga geladak, lalu menuju ke gang di sisi mana kabin-kabin mereka berada. Dengan cepat pintu kabin yang ditempati Jack bersama Philip dibuka, lalu mereka masuk beramai-ramai sambil berebut-rebut hendak bercerita. "Kau ada di sini, Jack? Coba terka, apa yang baru saja kami li -" ­­Ketiga-tiganya tertegun, kaget melihat apa yang nampak di dalam. Jack duduk di pembaringannya, sedang Kiki bertengger di atas bahunya. Burung itu menggumam pelan sambil menarik-narik telinga Jack dengan lembut "Wah!" kata Philip sambil melongo. “Ternyata burung itu ada di sini. Dia itu Kiki kan?" "Tentu saja, Goblok!" kata Jack. "Ini yang namanya kebetulan, ya? Porky membawanya ke dermaga untuk mengucapkan selamat jalan padaku. Tapi tahu-tahu Kiki meronta sehingga rantai yang mengikat kakinya putus, dan ia langsung terbang kemari. Kiki pintar sekali - ia masuk lewat lubang tingkap itu!" "Porky? Teman sekolahmu dulu itu? Kau menitipkan Kiki padanya?" tanya Lucy-Ann bertubi-tubi. Ia heran sekali. “Tapi kapan kau mengantarkannya?" "Kemarin, ikut mobil kita," kata Jack sambil menutupi telinganya, supaya jangan dicubit-cubit terus oleh Kiki. "Ia ada di dalam keranjang piknik yang kubawa. Ia tenang sekali selama perjalanan. Saat itu aku sudah khawatir saja, jangan-jangan salah seorang dari kalian minta diambilkan sesuatu dari dalam keranjang, karena merasa lapar!" "Tapi apakah Porky tidak bingung, karena Kiki minggat?" kata Dinah. "Dan dari mana Kiki bisa mengetahui bahwa kau ada di kabin ini?" tanya Lucy-Ann, yang masih tetap heran. Ia menyambung, "Ah - mungkin karena ia mendengar aku memanggil-man­1 adi! Ya, betul - pasti itu sebabnya! Ia mendengar aku memanggil, 'Kiki, Kiki!' Panggilanku itu menyebabkan dia meronta-ronta sehingga rantai pengikatnya putus. Ia terbang kemari -lalu secara kebetulan menemukan lubang tingkap kabin ini!" "Sebaiknya kauceritakan saja itu pada Bibi Allie," kata Jack sambil nyengir. "Penjelasanmu itu bagus -- lebih bagus daripada cerita yang hendak kukatakan padanya." Anak-anak yang lain memandangnya dengan mulut ternganga. "Kau ini penipu ulung, Jack," kata Philip beberapa saat kemudian. "Semuanya ini sudah kauatur dari semula. Mengaku sajalah! Ya - bahkan rantai yang putus tadi itu juga sudah kaurencanakan, begitu pula bahwa Kiki kemudian melihat atau mendengarmu d­i sini." Jack nyengir lagi. "Ah — menurutku ide Lucy-Ann tadi sudah bagus, yaitu bahwa Kiki meronta-ronta mendengar panggilannya — sehingga rantai pengikat putus, lalu ia terbang kemari. Pokoknya ia sekarang ada di sini, dan akan tetap di sini. Tapi kurasa lebih baik ia kutaruh saja terus di dalam kabin." Kiki menikmati perhatian yang dicurahkan keempat remaja itu padanya. Sebentar-sebentar ia menelengkan kepala, memperhatikan bunyi mesin kapal, ia belum pernah mendengar bunyi seperti itu. Dicobanya menirukan, tapi tidak bisa mirip. "Kau jangan macam-macam sekarang," kata Jack memperingatkan. "Kau tidak ingin diseret menghadap nakhoda, kan?" "Cul si kadal muncul," oceh Kiki sambil mencubit telinga Jack. Tiba-tiba burung itu bersin. "Mana sapu tanganmu!" kata Jack. "Wah, Kiki, aku takkan mampu berangkat jika kau tidak bisa ikut" Keempat remaja itu merasa senang, karena Kiki sudah ada dengan selamat di tengah mereka lagi. Mereka menyampaikan kabar itu dengan berhati-hati sekali pada Bu Mannering. Ia kesal mendengarnya, tapi nampaknya sama sekali tidak menduga bahwa kedatangan Kiki di kapal sebenarnya bukan kejadian yang tidak disengaja. “Yah — kalau ia sudah ada di sini, mau apa lagi," katanya mendesah. "Tapi kurung dia terus di dalam kabin, Jack! Bisa repot nanti jika ada penumpang yang protes karena merasa terganggu oleh Kiki. Kalau tidak kau jaga ketat, ada kemungkinan Kiki nanti dikandangkan di ruang awak kapal." Karena itu Kiki dikurung terus di dalam kabin. Hari pertama dalam pelayaran itu Kiki bingung. Burung itu tidak tahu pasti apakah ia yang merasa gamang, atau memang terus-menerus terjadi gempa kecil-kecilan, ia tidak tahu bahwa saat itu ia berada di dalam sebuah kapal besar. Ia heran merasakan oleh gerak kapal itu, walaupun sebenarnya ia sudah cukup sering naik perahu. Hari pertama itu terasa indah dan panjang. Viking Star melaju di atas permukaan air yang biru dan tenang. Mesin-mesinnya mendengung pelan. Dengan segera daratan Inggris sudah jauh di belakang. Kapal meluncur menuju Lisboa, ibu kota Portugal yang merupakan persinggahan pertama. Anak-anak menikmati kesibukan sehari-hari di atas kapal: makan di ruang makan yang luas, memilih apa saja yang disukai dari daftar hidangan yang panjang; pergi ke geladak tempat berolahraga, bermain tenis atau berlari mengejar gelang karet sambil menjaga keseimbangan tubuh. Bahkan saat pergi tidur pun terasa mengasyikkan, karena itu berarti membaringkan diri di tempat tidur sempit seperti bangku, memadamkan lampu di atas kepala, merasakan kesejukan angin yang dihembuskan kipas listrik, serta mendengar bunyi ombak berkecipak tidak jauh di bawah tingkap kabin. "Nikmat sekali!" kata Lucy-Ann sesaat sebelum tertidur. "Mudah-mudahan saja perjalanan ini tidak kembali menjelma menjadi petualangan. Aku senang jika keadaan tetap begini. Sudah cukup asyik!" Tapi sewaktu kapal melintasi Teluk Biskaya, keadaan tidak bisa dibilang menyenangkan. Ombak di situ besar dan ganas. Kapal yang ditumpangi sangat oleng, diombang-ambingkan gelombang yang melanda dari berbagai arah. Bu Mannering tidak tahan, ia mengurung diri di dalam kabin. Tapi anak-anak tetap segar bugar. Setiap saat makan mereka selalu muncul di ruang makan. Segala hidangan yang tertera di dalam daftar mereka cicipi. Keempat remaja itu bahkan bermaksud hendak main tenis di geladak olahraga. Tapi dilarang keras oleh salah seorang pelayan kapal. Berbahaya, katanya. Tapi tahu-tahu keadaan berubah lagi. Laut tenang kembali, memamerkan permukaan yang biru tua. Matahari memancarkan sinarnya yang terik di tengah langit yang cemerlang. Seluruh awak kapal muncul dengan pakaian serba putih, termasuk para perwira. Kini Bu Mannering sudah merasa segar kembali. Kiki sudah bosan sekali, terkurung terus di kabin sempit. Sementara itu ia sudah bersahabat karib dengan para pelayan pria dan wanita yang bertugas membereskan kabin-kabin, walau mulanya mereka tercengang ketika melihat ada burung kakaktua di kabin yang ditempati Jack dan Philip. Mula-mula para pelayan tidak melihat Kiki yang bertengger di balik tirai pendek yang tergantung di sisi lubang tingkap yang tertutup. Jack yang menutupnya, karena takut Kiki terbang ke luar. Pelayan wanita yang pertama-tama mendengar Kiki. Wanita itu masuk, karena hendak membereskan tempat tidur. Kiki mengintipnya dari balik tirai. Kemudian ia mulai mengoceh. Nadanya tegas, seperti menyuruh. "Jerangkan air!" Wanita itu kaget ia menoleh ke arah pintu, karena menyangka orang yang berbicara itu ada di situ. Tapi di pintu tidak ada siapa-siapa. Kini Kiki menirukan bunyi orang terceguk. "Maaf," katanya. Pelayan wanita itu mulai takut, ia memandang berkeliling, lalu membuka lemari. "Sayang, sayang!" oceh Kiki lagi dengan suara yang sangat menyedihkan. Pelayan itu tidak tahan lagi. ia cepat-cepat lari ke luar, mencari rekannya yang pria. Pelayan yang dicari itu orang Skot. Perengut tegas, dan tidak sabaran. ia masuk ke kabin, lalu memandang berkeliling. "Ada apa sih?!" katanya pada pelayan wanita yang memanggilnya. "Apa yang menyebabkan kau takut? Di sini kan tidak ada apa-apa." Kiki terbatuk-batuk, lalu bersin dengan keras. "Maaf," katanya. "Mana sapu tanganmu?" Sekarang orang Skot itu yang tercengang, ia memandang berkeliling ruangan. Kiki menguap. Panjang sekali! Setelah itu kepalanya tersembul sedikit dari balik tirai, ia ingin melihat reaksi kedua pelayan itu. Pelayan yang pria melihatnya, lalu datang mendekati. "Eh—rupanya burung kakaktua!" katanya. "Baru sekali ini aku melihat ada kakaktua yang pintar mengoceh seperti dia! Nah, Polly—kau ini burung pintar!" Kiki terbang ke atas lemari. Ia bertengger di situ sambil melirik kedua pelayan itu dengan sebelah mata, kiri dan kanan berganti-ganti. Setelah itu ia menirukan bunyi gong yang memanggil penumpang untuk makan. Akhirnya ia terkekeh-kekeh. "Benar-benar luar biasa!" kata orang Skot itu dengan kagum. "Ini burung ajaib. Pemiliknya keterlaluan, mengurungnya di kabin sempit begini." "Tadi aku ketakutan karenanya," kata pelayan yang wanita. "Dia mau atau tidak ya, kalau diberi buah anggur? Sebentar, akan kuambilkan!" Beberapa saat kemudian Kiki sudah asyik menikmati buah anggur ungu. Ketika Jack datang untuk melihatnya kemudian, dilihatnya di lantai kabin bertebaran biji buah anggur, serta dua orang pelayan kabin yang sedang mengagumi Kiki sambil melongo. "Burung jorok!" kata Jack galak, sambil memandang biji-biji anggur yang berserakan di lantai. "Ayo, turun — punguti biji-biji ini!" Kiki mengoceh terus. "Mudah-mudahan Anda tidak terganggu karena tingkahnya," kata Jack pada pelayan yang wanita. "Ah, aku malah asyik melihatnya," kata wanita itu. "Belum pernah kulihat ada burung sepintar dia ini. Kau harus membawanya ke atas, untuk memamerkannya!" Jack menuruti saran itu. Kiki dibawanya ke geladak atas. Para penumpang tercengang dan juga geli melihat Kiki yang bertengger di bahu Jack. Kiki asyik sekali memamerkan kepintarannya menirukan berbagai macam bunyi. Tapi ia sendiri tidak tahan mendengar peluit kapal, ia selalu kaget setengah mati setiap kali peluit itu berbunyi. Ia tidak tahu apa yang berbunyi begitu nyaring, dan dari mana datangnya, ia selalu terbang menyembunyikan diri, begitu peluit dibunyikan. Kiki ikut muncul ketika diadakan latihan bahaya. Menurut Lucy-Ann, Kiki pasti merasa tidak enak karena tidak diberi jaket pelampung, yang berukuran kecil. Para penumpang semuanya memakai jaket itu, lalu bergegas ke sekoci yang sudah ditentukan. Di situ mereka mendengarkan keterangan singkat yang diberikan salah seorang perwira kapal, yang menjelaskan apa yang harus dilakukan kalau ada bahaya. Lucy-Ann berdoa dalam hati, semoga itu tidak terjadi. "Besok kita sampai di Lisboa," kata Bu Mannering. "Ingat, ya — kalian nanti jangan keluyuran sendiri-sendiri. Aku tidak mau ada petualangan lagi. Kalian jangan menjauh dari sisiku selama kita berlabuh. Ingat baik-baik kataku itu!" Bab 4 PHILIP MENDAPAT PELIHARAAN BARU Hari demi hari mulai berlalu dengan cepat. Setelah meninggalkan Lisboa, Lucy-Ann dan Dinah sudah tidak menghitung-hitung lagi. Mereka bahkan tidak tahu lagi apakah itu hari Senin, Selasa, atau hari apa. Kalau hari Minggu mereka tahu, karena saat itu para penumpang berkumpul di ruang duduk besar, untuk menghadiri acara kebaktian yang dipimpin nakhoda kapal. Selama berhari-hari tidak nampak daratan. Philip selalu bersemangat kalau ada sekawanan ikan terbang meloncat dari dalam laut, lalu melayang di udara selama beberapa saat. Kelihatannya indah sekali! "Kenapa mereka begitu?" tanya Lucy-Ann. "Mereka dikejar ikan besar yang hendak memangsa mereka," kata Philip menjelaskan. Kau kan juga pasti meloncat keluar dari air lalu terbang di udara kalau ada ikan besar mengejar mu, Lucy-Ann? Wah — coba ada seekor jatuh ke geladak! Aku ingin memperhatikan dari dekat." "Tapi tidak mungkin bisa kaujadikan peliharaan, Philip! Untung saja — karena pasti mati kalau kaukantungi," kata Dinah. "Agak janggal juga melihatmu tanpa binatang peliharaan. Tapi mendingan begini!" Dinah terlalu cepat merasa senang, karena dua hari kemudian abangnya itu mendapat seekor binatang! Kapal singgah sebentar di Madeira. Setelah itu meneruskan pelayaran, menuju Maroko. Dan di situlah Philip menemukan seekor hewan cilik, yang kemudian dijadikan peliharaannya. Keempat remaja itu suka berada di Maroko. Mereka paling suka melihat pasar kaum penduduk, walau bau di situ benar-benar menusuk hidung. Bu Mannering sampai mengatakan bahwa ia hanya mampu ikut, dengan hidung ditutup sapu tangan. Tapi anak- anak dengan segera sudah terbiasa pada segala macam bau di situ. Sedang Kiki tidak, kalau sikapnya bisa dinilai dari ocehannya yang tidak henti-hentinya mengatakan, "Puh! Bah! Puh! Hahh!" Dinah mempraktekkan bahasa Prancis yang dipelajarinya di sekolah dengan penduduk setempat yang berkulit coklat. ia senang sekali ketika ternyata bahwa mereka mengerti. Ia membeli bros berukuran kecil, sedang Lucy-Ann memilih pot bunga berwarna biru. "Kau tidak melihat sesuatu yang kausenangi di sini?" tanyanya pada Philip. Philip menggeleng. "Aku tidak suka barang-barang seperti itu. Tapi kalau ada sesuatu yang benar-benar menarik — katakanlah, badik kuno — nah! Atau sesuatu yang sudah selalu kuidam-idamkan, tapi belum pernah berhasil kumiliki." "Apa itu?" tanya Lucy-Ann. Dalam hati ia berniat akan membelikannya untuk Philip, kalau ia melihatnya ditawarkan di situ. "Kau pasti tertawa mendengarnya — tapi aku selalu ingin memiliki kapal dalam botol," kata Philip. Lucy-Ann tercengang mendengarnya. "Aku melihatnya saja belum pernah," katanya. "Maksudmu, kapal di dalam sebuah botol, kan? Aneh sekali—bagaimana cara memasukkannya?" "Entah aku juga tidak tahu," kata Philip. "Aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku menginginkannya. Kurasa hanya karena iseng." "Nantilah kucarikan," kata Lucy-Ann berjanji. "Eh — coba lihat Kiki! Ia mengemis, minta permen pada anak-anak berkulit coklat itu. Nanti sakit perut baru tahu!" Bu Mannering tetap pada pendiriannya, bahwa anak-anak harus selalu bersamanya dan berjalan dalam rombongan penumpang. Sedang keempat remaja itu sebenarnya ingin keluyuran sendiri melihat-lihat, karena mereka senang bergaul dengan penduduk setempat dan keluar-masuk toko-toko sempit dan gelap yang nampak serba asing bagi mereka. "Jangan," kata Bu Mannering melarang. "Kalian tidak dengar ya, apa yang terjadi dengan laki-laki yang kalau makan duduk di meja sebelah kita? Bersama istrinya ia melancong sendiri naik taksi. Eh, tahu-tahu mereka dibawa ke suatu bukit terpencil. Pengemudi taksi tidak mau mengantar kembali ke kapal, sebelum mereka menyerahkan semua uang yang ada pada mereka sebagai pembayaran!" "Astaga!" kata Lucy-Ann. Anak itu ketakutan. "Ia mengantar mereka kembali ketika tangga kapal sudah mulai diangkat," kata Bu Mannering. "Jadi mereka tidak sempat lagi mengajukan pengaduan. Nah! Sekarang kalian tahu, kenapa aku ingin agar kalian jangan memisahkan diri dari rombongan. Akan kujamin bahwa kali ini kalian tidak lagi terjerumus ke dalam petualangan. Habis, kalau kalian pergi sendiri, nanti tahu-tahu lenyap lagi, lalu mengalami bahaya yang macam-macam! Sedang aku, semakin beruban saja sebagai akibatnya!" "Ah, mana! Uban Bibi tidak banyak," kata Lucy-Ann. "Paling-paling hanya selembar untuk setiap petualangan kami! Aku takkan jauh-jauh, Bibi Allie. Aku juga tidak ingin mengalami petualangan lagi!" Keesokan harinya diadakan acara pesiar naik bis ke pedalaman. Mereka mengunjungi suatu kota kuno yang termasyhur, di tepi gurun pasir. "Rombongan bis akan sudah ada di dermaga pukul setengah sebelas," kata Bu Mannering. "Jangan lupa memakai topi, untuk melindungi kepala dari sinar matahari yang pasti terik!" Saat pesiar itulah Philip menemukan binatang peliharaannya yang baru. Begitu rombongan bis datang, para penumpang bergegas-gegas masuk. Mereka sudah mulai kepanasan. Kemudian rombongan berangkat. Iring-iringan kendaraan meluncur laju di atas jalan berpasir, yang selama beberapa waktu melewati daerah gurun gersang. Di tepi jalan tumbuh pohon-pohon kaktus. Menurut perasaan Lucy-Ann, pohon-pohon itu jelek kelihatannya, dengan batang menggembung penuh duri runcing. Dua jam kemudian mereka sampai di kota kuno yang merupakan tujuan perjalanan itu. Gerbang-gerbang serta menara-menaranya nampak seperti tersembul dengan tiba-tiba di tengah hamparan pasir yang luas. Anak-anak kecil berkulit coklat tua — nyaris tanpa pakaian — berlari-lari menyongsong sambil menyodorkan tangan. "Kasih, kasih," seru mereka. Kiki langsung menirukan. "Kasih, kasih," ocehnya dengan suara memelas. Para wisatawan memasuki lorong sempit, diantar seorang pemandu wisata, ia mengajak mereka ke sebuah bangunan kuno, lalu menceritakan sejarahnya dengan suara datar. Setelah itu rombongan naik ke atas sebuah menara besar. Mereka mendaki satu-satu, menyusur tangga curam berbelit-belit. Pada pertengahan jalan mendaki, Philip memandang ke luar lewat ambang jendela batu besar. Jendela itu tentu saja tidak berkaca. Tembok di situ tebal sekali, sehingga orang bisa duduk di ambang jendela dengan kaki terjulur. Philip menjulurkan tubuh ke luar, karena ingin memandang ke bawah. Ia melihat segerombolan anak berpakaian sekedarnya. Mereka itu berdiri di pelataran sambil berbicara dengan ribut Beberapa di antaranya melempar-lempar batu. "Apa sih, yang mereka lempari?" pikir Philip, Ia turun dari ambang jendela, lalu lari menuruni tangga, ia berhenti, ketika ada batu melayang masuk lewat lubang jendela yang terletak tidak jauh di atas lantai bawah. Ia mendengar suara merintih pelan. Dilihatnya sesuatu yang kecil dan berbulu coklat meringkuk di sudut ambang. Philip datang menghampiri. Apakah itu? Tahu-tahu ada lagi batu melayang dilemparkan dari luar. Nyaris saja mengenai Philip. Sialan anak-anak itu, katanya dalam hati. Philip muncul di ambang jendela, lalu memandang ke bawah dengan sikap galak. "He! Jangan melempar-lempar.'" bentaknya. "Dengar tidak? Jangan lempar, kataku!" Anak-anak kecil yang sedang asyik melempar-lempar itu kaget sekali ketika tahu-tahu ada orang asing muncul di jendela. Mereka cepat-cepat lari menjauh. Philip mengulurkan tangannya, meraih makhluk kecil yang sedang meringkuk, ia ditatap mata coklat, di tengah muka kecil keriput. Kemudian muka itu ditutupi sepasang tangan yang kecil sekali. "Eh, rupanya monyet — monyet kecil!" kata Philip dalam hati. ia sadar bahwa makhluk kecil biasanya penakut. Dan ia tidak ingin menambah kecemasan monyet malang itu, yang masih ketakutan karena tadi dilempari anak-anak. Philip banyak melihat monyet berkeliaran di daerah itu. Tapi belum pernah dari dekat, karena binatang-binatang itu selalu menjauh apabila didekati. Philip menyapa monyet itu dengan suara lembut, yang menurut Lucy-Ann merupakan suara khusus untuk binatang. Binatang cilik itu menarik tangannya yang menutupi muka. Dengan sekali loncat ia sudah merangkul leher Philip, Ia meringkuk dengan tubuh menggigil. Philip mengelusnya dengan hati-hati. Tidak ada binatang yang tidak merasa tertarik pada Philip. Kuda, anjing, kucing, ular, serangga, burung — pokoknya binatang apa saja pasti akan segera menghampirinya tanpa merasa takut. Itulah bakat Philip yang istimewa, yang menyebabkan orang lain merasa kagum dan agak iri padanya. Philip duduk di ambang jendela batu, sambil berbicara dengari suara halus pada monyet kecil yang ketakutan itu. Dan monyet itu seakan-akan menjawab, mengoceh dengan suara seperti mencicit, sambil memandang Philip dengan sikap seperti agak malu. Cakarnya yang sebelah menggenggam tangan Philip. Monyet kecil itu langsung jinak terhadapnya! Anak-anak yang lain tercengang ketika mendului rombongan wisatawan turun dari puncak menara, dan tahu-tahu melihat ada monyet kecil menggandul pada leher Philip. "Nah — sudah kuduga dari semula bahwa ia pasti akan menemukan binatang lagi, kapan-kapan!" kata Dinah. "Uhh, kunyuk jahat, kotor, bau — dan pasti juga banyak kutunya!" "Ia memang bau dan kotor — dan kurasa memang banyak kutunya," kata Philip. "Tapi tidak jahat! Kedua kakinya cedera, kena lemparan anak-anak nakal yang berkerumun di bawah tadi." "Kasihan," kata Lucy-Ann dengan nada prihatin. Jack mengelus-elus kepala monyet itu. Tapi ia malah takut, cepat-cepat semakin merapatkan diri ke leher Philip. "Ia jangan kaubawa kembali ke kapal nanti," kata Dinah. "Awas—jika kau melakukannya juga, nanti kuadukan pada Ibu. Aku tidak mau ada monyet ikut dengan kita." "Ia ikut," kata Philip tegas. Dinah mulai panas mendengar ucapan itu. "Kalau begitu kau kuadukan pada Ibu. Aku akan —" "Jangan begitu, Dinah! Lihatlah, ia masih kecil sekali — dan juga cedera," kata Lucy-Ann. Suaranya agak gemetar. "Masa kau sampai hati —" Dinah cepat-cepat berpaling dengan muka merah, ia jengkel, karena akan ada monyet yang selalu saja membuntuti nanti. Tapi ia juga tidak ingin bertengkar dengan anak-anak yang lain! Karenanya ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi sehari itu ia merajuk. Hanya Philip saja yang tahu bagaimana ia menyembunyikan monyet itu selama perjalanan, sampai kembali lagi ke kapal. Tapi yang jelas, orang lain tidak ada yang tahu bahwa ia membawa monyet. Jack dan Lucy-Ann membantunya dengan jalan berdiri menutup-nutupi, setiap kali mereka beranggapan ada orang bisa melihat binatang kecil itu. Dinah tidak mau membantu. Tapi ia juga tidak membuka rahasia. Begitu sudah ada di dalam kabin anak-anak — kecuali Dinah — mengerumuni binatang kecil itu. "Ia masih kecil," kata Philip. "Aku heran, tega sekali anak-anak tadi melempari binatang sekecil ini. Tapi kurasa di mana-mana selalu saja ada orang yang kejam dan tak berperasaan. Di negeri kita sendiri pun kita sudah cukup sering melihat anak-anak melempari kucing! Lihatlah, kakinya luka dan memar. Untung saja tidak ada yang patah! Cedera begini bisa kusembuhkan dengan cepat. Mau tidak ya dia, kalau kucuci. Aduh, badannya dekil sekali!" Monyet cilik itu mau saja diapa-apakan oleh Philip. Selama dua jam berikutnya anak-anak sibuk memandikannya, lalu mengeringkan dengan hati-hati sekali. Jack mengambil sikat sepatu kecil untuk menyikat bulunya yang halus. Monyet itu hanya merintih-rintih, ketika Philip membubuhkan obat ke lukanya. "Nah — sekarang beres," kata Philip ketika segala-galanya sudah selesai. "Siapa namamu?" Anak-anak menyimak ocehan monyet itu. "Kedengarannya seperti mengatakan, Mikimiki-mik,'" kata Lucy-Ann. "Baiklah! Jika ia beranggapan bahwa itu namanya, maka mulai saat ini ia bernama Miki," kata Philip. "Aku ingin tahu, bagaimana pendapat Kiki mengenainya." "Kurasa pasti tak begitu senang," kata Jack. "Kiki pasti akan merasa cemburu. Untung saja dia kita kurung di kabin sebelah. Coba ia melihat kita sibuk mencuci dan menyikat Miki, pasti ia akan menjerit-jerit!" Kiki tercengang malam itu, ketika melihat ada monyet kecil bertengger di bahu Philip. Sesaat ia menatapnya, lalu tepat seperti perkiraan Jack, ia menjerit. Dan jeritannya tidak kepalang tanggung! Bunyi peluit kereta api cepat. Sesaat kemudian Bu Mannering menjenguk ke dalam, hendak menyuruh anak-anak melarang Kiki ribut-ribut. Ia kaget setengah mati ketika melihat ada monyet kecil di dalam. Ia melangkah masuk sambil mengejap-ngejapkan mata karena heran. "Aduh, Philip! Kenapa kaubawa dia kembali ke kapal? Masih kecil sekali kelihatannya!" "Tadi dia dilempari anak-anak di kota kuno itu, Bu! Jadi aku terpaksa menyelamatkannya," kata Philip. Bu Mannering memandangnya. Ayah anak-anak juga selalu berkata begitu dulu, semasa ia masih hidup. Mana mungkin ia marah, karena sikap begitu memang sudah mendarah daging? "Yah — aku tidak tahu apakah ada yang protes nanti, jika kau menahannya di kapal," katanya sambil mengelus-elus kepala monyet itu. "Kalau Dinah, bagaimana dia?" "Mulanya marah, tapi ia tidak mengomel," kata Lucy-Ann. "Kurasa ia sekarang ada di kabin kami. Nanti ia akan biasa juga dengan Miki! Mau tidak mau!" "Miki-Kiki-Miki-Kiki," oceh Kiki dengan bangga, seolah-olah baru menemukan sesuatu yang hebat. Burung kakaktua itu menyenangi kata-kata yang kedengarannya serupa. "Miki-Kiki-Miki- Kiki —" "Diam, Kiki!" kata Philip. "Wah, kita salah tadi, memilih nama Miki. Sekarang Kiki pasti tidak putus-putusnya menyebut kedua nama itu. Tapi dia ini memang Miki. Kita tidak bisa mengubahnya lagi." Jadi monyet cilik itu tetap bernama Miki. Sehari-dua kemudian anak-anak sudah akrab dengannya — termasuk Dinah! Mukanya yang aneh dan kocak menyebabkan siapa yang melihatnya pasti akan menyukainya. Apalagi jika ditatap matanya yang coklat, yang selalu memandang seperti sedang sedih. "Ia masih kecil sekali, tapi tampangnya seperti sudah kakek-kakek," kata Lucy-Ann. "Aku paling senang melihat jari-jarinya yang hitam mungil — persis seperti jari manusia! Kalau kau bagaimana, Dinah?" "Yah — ternyata ia tidak seburuk anggapanku semula," kata Dinah mengaku. "Aku tidak mau dia bertengger terus sepanjang hari di bahuku, seperti pada Philip itu. Aku masih tetap yakin bahwa kutunya banyak. Tapi ia tidak buruk." "Jangan suka bilang begitu!" tukas Philip. "Miki sama sekali tidak punya kutu!" Dalam beberapa hari saja semangat Miki sudah kembali, ia yang mula-mula selalu diam dan tidak banyak tingkah, tahu-tahu menjelma menjadi bandel dan cerewet. Kerjanya meloncat-loncat kian kemari di dalam kabin. Gerak-geriknya lincah sekali, seperti bajing! Dinah selalu khawatir kalau Miki tahu-tahu meloncat lalu bertengger di bahunya. Tapi itu tidak pernah terjadi. Miki tidak sebegitu tolol! Kiki selalu bingung kalau Miki sudah meloncat dengan lincah kian kemari seperti itu. Kalau keduanya sedang bersama-sama di dalam kabin, Kiki selalu bertengger sambil menghadap Miki dengan sikap waspada. Kalau monyet kecil itu berani menerpa, ia sudah siap mematuk. Tapi Miki bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Itu pun tidak disukai Kiki! Burung kakaktua iseng itu kemudian menirukan suara Philip, memanggil-manggil. "Miki! Miki!" Tiruannya mirip sekali! Miki menoleh dengan segera, lalu celingukan. Tapi ia tidak melihat Philip, karena saat itu memang tidak ada di situ. "Miki!" panggil Kiki sekali lagi. Miki melompat-lompat kian kemari, mencari Philip. Kalau Miki sudah begitu, Kiki pasti terkekeh-kekeh. Miki sebal, lalu duduk di ambang tingkap sambil membelakangi Kiki. ia memandang ke luar, dari balik kaca tebal. Kiki asyik sekali, karena dengan segera ia sudah tahu bahwa ia bisa menirukan beberapa bunyi yang menyebabkan Miki ketakutan. Monyet kecil itu gemetar ketakutan apabila Kiki menirukan suara anjing menggonggong, ia juga heran. Diperhatikannya burung kakaktua itu dengan cermat. Kemudian disadarinya bahwa tidak ada suara anjing menggonggong, jika Kiki tidak ada di dalam kabin. Wah! Jangan-jangan Kiki itu burung anjing! Atau anjing burung? Lain kali, ketika Kiki menirukan gonggongan anjing, ia menyambungnya dengan suara geraman. Miki tidak tahan lagi. Diambilnya sabun dari bak cuci muka, lalu dilemparkannya ke arah Kiki. Tepat mengenai paruhnya. Kiki menguak karena kaget Nyaris saja ia jatuh dari tenggeran. Miki belum puas. Kini diraihnya sikat gigi, lalu dilemparkannya pula ke arah burung kakaktua yang sama sekali tidak menyangka akan diserang dengan cara begitu. Setelah itu menyusul gelas plastik tempat sikat gigi tadi. Lemparan Miki selalu jitu. Kiki sibuk terbang berpindah- pindah, berusaha melindungi diri dari serangan Miki yang bertubi-tubi. Apa saja yang terpegang, langsung dilemparkan. Sikat rambut, sisir, gulungan film— pokoknya apa saja! Untung saat itu Philip masuk. "Aduh — apa-apaan ini? Ayo, Miki, pungut kembali barang-barang itu!" katanya galak. "Apa yang diperbuat Kiki terhadapmu! tadi, sampai kau mengamuk? Miki nakal, ya!" "Miki nakal, anak jahat!" oceh Kiki, lalu tertawa terkekeh-kekeh. Miki menuruti perintah Philip. Dipungutinya barang-barang yang dilempar-lemparkannya tadi dengan patuh. Setelah itu ia bertengger di atas bahu Philip, seperti kebiasaannya. Kiki cemburu, lalu hinggap di bahu Philip yang satu lagi. Miki mengoceh, mengata-ngatai Kiki. Kiki tidak tinggal diam — dibalasnya ocehan itu. Bunyinya persis suara Miki. Monyet kecil itu terdiam sejenak, lalu menjawab lagi dengan bersemangat. Philip mendengarkan saja dengan perasaan geli. "Aku tidak tahu apakah kalian benar-benar saling memahami," katanya. "Tapi sebaiknya begitu! Aku tidak mau setiap kali masuk kemari, melihat barang-barangku berserakan ke mana-mana. Jadi kalian harus berteman! Mengerti, Kiki dan Miki?" "Puuh!" kata Kiki, tapi dengan suara ramah, ia mencubit ujung telinga Philip. "Kau sendiri yang puuh," kata Philip. "Dan jangan kaucubiti telingaku!" Bab 5 LUCIAN MUNCUL Anak-anak menganggap Viking Star sudah seperti rumah mereka sendiri. Rumah terapung yang lengkap dengan segala-galanya, kecuali daerah lingkungan yang biasa. Seluruh sudut kapal sudah mereka kenali. Mereka pun sudah melihat-lihat di ruang mesin, diantar oleh Mac, Masinis Satu. Mereka bahkan diizinkan Perwira Satu naik ke anjungan. Itu merupakan kehormatan besar, karena tidak diberikan pada sembarang orang. Bu Mannering juga menjalin persahabatan dengan beberapa orang, yang disukainya di kapal. Di samping Jack, Dinah, Philip, dan Lucy-Ann, tidak banyak lagi anak-anak lain. Anak-anak itu jauh lebih muda daripada mereka. Dan umumnya manja sekali. Tidak asyik mengajak mereka bermain-main! "Sayang tidak ada yang sebaya dengan kalian di sini," kata Bu Mannering. "Kalau ada kan bisa lebih menyenangkan." "Kami tidak memerlukan siapa-siapa lagi. Bu," kata Philip. "Kami berempat saja sudah cukup senang. Menghadapi anak-anak kecil yang manja-manja itu saja sudah repot — mereka selalu saja mengganggu Miki, dan memancing-mancing Kiki agar mau bicara." "Tapi dia pintar," kata Jack. "Setiap kali mereka mendekat, ia langsung membentak. 'Diam!', katanya." "Kasar sekali sikapnya," kata Bu Mannering. "Seharusnya ia kau larang, Jack!" "Ah — ia kan hanya mengatakan apa yang sebetulnya hendak kukatakan sendiri," kata Jack "Anak-anak manja! Kapan-kapan pasti kuceburkan anak perempuan berambut jagung itu ke dalam kolam! Selalu saja ia datang merengek-rengek, ingin memegang Kiki! Bayangkan — memegang Kiki! Dikiranya Kiki itu apa—boneka?" "Kau tidak boleh menceburkan anak itu ke kolam, Jack," kata Bu Mannering dengan nada kaget. "Kuakui, anak itu memang perengek—tapi ia kan masih kecil!" "Ya, tapi rewel seperti nyamuk," kata Jack lagi. "Aku kadang-kadang kepingin sekali punya penepuk nyamuk, apabila anak itu mendekat." "Ah, sudahlah—mereka kan turun di pelabuhan berikut yang kita singgahi," kata Philip. Ia mengelus-elus Miki yang bertengger di bahunya, seperti biasa. Kalau ia bersama-sama dengan Jack, kelihatannya aneh sekali. Seekor monyet kecil menongkrong di bahu anak yang satu, sedang, di atas bahu temannya bertengger seekor burung kakaktua. Para penumpang lain selalu tersenyum geli apabila melihat mereka lewat "Syukurlah kalau begitu," kata Dinah, yang tidak begitu suka pada anak-anak yang masih kecil. "Tapi jangan-jangan nanti naik lagi anak-anak kecil lainnya, yang sama rewelnya seperti mereka." Perkiraannya ternyata keliru. Hanya seorang anak laki-laki saja yang naik. Sedang anak perempuan tidak ada sama sekali. Ketika kapal menepi ke dermaga pelabuhan Napoli di Italia, anak-anak kecil yang manja dan cengeng turun semua. Mereka menuruni tangga kapal sambil merengek dan menjerit-jerit. Mereka memang rewel sekali. Jack dan ketiga anak lainnya memperhatikan dengan perasaan lega, sementara Kiki berteriak-teriak, "Selamat jalan, jangan balik ya, selamat jalan!" "Jack! Aku belum pernah mendengar Kiki mengucapkan kata-kata itu," kata Bu Mannering, dengan nada mengecam. "Pasti kau yang mengajari!" "Kiki pandai membaca pikiranku, Bibi Allie," kata Jack sambil tertawa. "Wah — lihat, Pak Kelinci datang!" Anak-anak tertawa geli sambil memperhatikan seorang anak laki-laki jangkung yang saat itu naik ke kapal. Gigi atasnya memang seperti gigi kelinci, sangat menjorok ke luar. Sedang dagunya miring ke belakang. Umurnya kurang lebih sama dengan Jack dan Philip, ia memakai kaca mata berbingkai bulat. Matanya nampak besar di balik lensa tebal. Kelihatannya seperti selalu memandang dengan heran. Anak itu menyusur tangga kapal ke atas, sambil nyengir dengan ramah. Ia sibuk berbicara dengan seorang wanita yang menyusul di belakangnya, dalam bahasa Inggris bercampur bahasa asing. Keduanya disertai seorang laki-laki bertubuh pendek gemuk. Orang itu memakai kaca mata gelap, sehingga matanya tidak kelihatan. "Paman! Bibi! Kita benar-benar berangkat sekarang! Bukan main — hebat sekali kapal ini! Aku pasti takkan mabuk laut nanti." Setelah itu ia mengoceh. Sebetulnya bukan mengoceh, tapi berbicara dalam bahasa asing. Kiki memiringkan kepala dengan sikap heran, mendengar kata-kata asing itu. Ketika anak laki-laki itu lewat, ia menyapa anak itu seakan-akan mengajak mengobrol. Kiki menirukan kata-kata yang baru saja didengarnya. Anak laki-laki bertampang kelinci itu menoleh ke arahnya dengan heran. "Bukan main! Ada kakaktua yang pintar berbicara. Bukan main!" "Bukan main!" oceh Kiki menirukannya. "Bukan main bukan main!" "Ayo diam, Kiki! Jangan kurang ajar ya," tukas Jack memarahi. Miki yang duduk di atas bahu Philip menjulurkan kepala ke arah Kiki, lalu mengoceh panjang lebar. Anak laki-laki tadi memandang dengan asyik. "Bukan main! Ada monyet yang bisa bicara pula! Apa katanya?" "Katanya, rasa-rasanya ia pernah melihatmu, tapi tidak tahu lagi di mana," jawab Philip dengan sikap serius. "Lalu ia bertanya pada Kiki, mungkin saja Kiki masih ingat!" Lucy-Ann tercekikik karena geli. Anak laki-laki itu melongo sejenak. Kemudian ia ikut tertawa, menampakkan sepasang gigi depan yang besar-besar. "Ah, kau mempermainkan aku, ya! Tapi asyik — ada kakaktua yang pandai bicara, serta monyet jinak! Kalian anak-anak yang beruntung!" "Ayo terus, Lucian," kata laki-laki gempal yang di belakangnya sambil mendorong-dorong menyuruh naik. Anak laki-laki yang bernama Lucian itu bergegas maju. Tapi ia masih sempat menoleh sebentar sambil nyengir, seakan-akan menyesal karena percakapan putus dengan begitu saja. Laki-laki tadi mengatakan sesuatu dengan suara jengkel pada wanita yang berjalan seiring dengannya. Tapi ia berbicara dalam bahasa asing, sehingga anak-anak yang lain tidak memahaminya. Tapi mereka dapat menebak bahwa Lucian tidak disenangi pamannya! "Wah — jika si Kelinci tadi satu-satunya anak yang naik di sini, kurasa ia pasti akan menempel tenis pada kita," kata Philip. "Anak konyol begitu!" "Bukan main!" oceh Kiki. Jack mengerang. "Nah, sekarang Kiki tentu siang malam akan terus mengoceh begitu," katanya. "Untung saja Miki tidak bisa benar-benar berbicara seperti manusia. Kalau dia juga ikut mengoceh seperti Kiki — kita takkan bisa mengatakan apa-apa lagi. Selalu saja diserobot mereka berdua!" Kemudian kapal berangkat lagi, mengarungi laut yang biru sekali airnya. Enak rasanya duduk-duduk di haluan, menikmati hembusan angin. Kiki dan Mik. juga senang berada di situ. Hal yang dikhawatirkan Jack dan Philip kemudian memang terjadi. Anak laki-laki yang baru naik itu selalu saja membuntuti mereka. Anak-anak selalu langsung tahu jika ia datang, karena Kiki pasti memberi tanda. "Bukan main!" kuaknya. Anak-anak hanya bisa mendesah dengan kesal. Lagi-lagi Lucian! Anak itu mendekat sambil nyengir dengan ramah, lalu duduk di sisi mereka. Hari pertama perkenalan mereka pun ia sudah menceritakan segala-galanya tentang dirinya, ia sudah tidak berorang tua lagi. Ayah dan ibunya sudah meninggal dunia. Ayahnya orang Inggris. Tapi ibunya berasal dari Yunani. Jadi banyak sanak saudaranya di Yunani, ia bersekolah di Inggris, tapi selama liburan ia biasanya mendatangi kerabatnya. Umurnya empat belas tahun, hampir lima belas. Ia tidak menyukai olahraga dan permainan, gemar pada sejarah, dan tidak menyukai namanya. "Apa sebabnya?" tanya Dinah. "Habis — anak-anak lelaki di sekolahku selalu mengubahnya menjadi Lucy-Ann," kata Lucian menjelaskan. "Maksudku — kan tidak enak, punya nama seperti anak perempuan." "Itu namaku," kata Lucy-Ann. "Aku suka pada namaku." "Ya — karena kau memang anak perempuan," kata Lucian. "Tapi bagiku tidak! Apalagi jika teman-teman menyingkatnya, menjadi Lucy." "Lucy Cuci!" oceh Kiki menirukan nama itu. "Lucy Cuci! Bukan main!" Anak-anak tertawa mendengarnya, termasuk Lucian. Kiki sendiri terkekeh-kekeh. "Lucy Cuci, Cuci Guci, wah, bukan main!" oceh Kiki bersenandung dengan asyik. "Bukan main — burung kalian ini kocak sekali!" kata Lucian kagum. "Aku kepingin bisa meminjamnya, untuk kubawa ke sekolah. Eh — kau membawanya ke sekolah, ya?" "Dulunya memang," kata Jack dengan nada menyesal. "Tapi ia suka berteriak pada guru kelas agar membersihkan kaki dan menutup pintu! Lalu ketika suatu hari ia berteriak, 'Jangan menyedot-nyedot, pakai sapu tanganmu!”, ia langsung diusir. Habis — ia berteriak begitu pada Kepala Sekolah!" "Masih ingat tidak, ketika kau menyembunyikannya di dalam lemari di kelas, lalu ia menirukan bunyi mercon meletus?" kata Philip sambil tertawa lebar. "Waktu itu satu hari setelah Perayaan Kembang Api — dan ia masih ingat bagaimana bunyi mercon!" Lucian nampak kagum sekali. Mulutnya ternganga, seakan-akan mendengarkan dengannya di samping dengan telinganya. "Bukan main!" katanya. "Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" "Yah — kami sekelas ikut meletus — tertawa keras-keras! Setelah itu berganti guru yang meletus, dengan cara lain lagi. Kami disuruhnya menitipkan Kiki pada seseorang di desa dekat sekolah kami. Kami tentu saja setiap hari ke sana untuk menjenguknya. Dan setiap akhir pekan, ia boleh ikut kami tinggal di asrama." "Dan setiap ada pertandingan di sekolah, Kiki juga ikut hadir, ya Jack?" kata Lucy-Ann. "Ia juga ikut bersorak-sorak, bersama anak-anak!" "Bukan main," kata Lucian. "Coba aku memegangnya sebentar." "Hati-hati, ia tidak mau jika dipegang orang lain," kata Jack memperingatkan. Tapi tangan Lucian sudah terulur, hendak menjamah burung kakaktua itu. Tapi saat itu juga ia terpekik, sambil menarik tangannya cepat-cepat. Kiki mematuknya dengan sengit Lucy-Ann tercengang melihat mata Lucian basah. Anak itu berpaling, lalu pergi sambil mengisap ibu jarinya yang berdarah. Ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Anak-anak yang lain berpandang-pandangan. "Ia menangis," kata Lucy-Ann. Ia merasa heran. Masa — anak laki-laki berumur empat belas tahun, begitu saja menangis! "Dia cengeng," kata Jack sambil membujuk-bujuk Kiki yang menandak-nandak dengan marah. Jambulnya tegak. "Cengeng!" kata Kiki menirukan ucapan Jack. "Cengeng, cengeng — bukan main! Cengeng!" "Kau ini jahat seenaknya saja mematuk orang," kata Jack mengomeli. "Tadi itu kan sakit!" "Ceng-ngeng," oceh Kiki tak peduli. "Ya — tapi kau goblok," kata Jack sambil tertawa geli. "Nah, kau jangan ikut-ikut mengoceh sekarang, Miki. Kiki yang kurang ajar saja sudah cukup!" Miki mulai mengoceh panjang lebar. Kiki mendengarkan dengan serius, dengan kepala dimiringkan ke samping. Kocak sekali kelihatannya! Begitu Miki berhenti sejenak, langsung saja Kiki menimpali. Kedengarannya seakan-akan menjawab ocehan tadi. Ditirunya suara Miki. Anak-anak terpingkal-pingkal. "Dikiranya ia berbicara dalam bahasa Miki," kata Philip. "Kau ini ada-ada saja, Kiki! Tidak mungkin kau bisa dibungkam, ya? Untunglah, ia sekarang sudah mau berteman dengan Miki." "Ya, tapi Miki sekarang mulai bandel sekali," kata Dinah. Ia sudah merasa sayang pada monyet kecil itu. "Kemarin entah berapa kabin saja dimasukinya. Sabun-sabun yang ada di situ diambili semua, lalu ditaruhnya di salah satu kursi besar di dalam ruang duduk." "Astaga — kalau ia begitu terus, pasti nanti ia akan mengalami kesulitan," kata Jack cemas. "Yang pasti, kita yang mengalami kesulitan," kata Philip. "Coba Kiki bisa diajari menjaga Miki. Tapi ini — ia malah mengajari yang bukan-bukan! Pasti ia yang menyuruh Miki memanjat tiang, sehingga mengagetkan kelasi yang bertugas di atas." "Miki manis, ah!" kata Lucy-Ann sambil menggelitik dagu monyet kecil itu. Miki memandangnya dengan matanya yang selalu nampak sayu dan bijak. Lucy-Ann tahu bahwa Miki sekarang bahagia. Tapi walau begitu ia selalu waswas, setiap kali monyet kecil itu menatapnya dengan pandangan sedih. Ia tidak begitu percaya ketika Philip mengatakan bahwa semua monyet memang begitu. Cara mereka melihat memang menimbulkan rasa kasihan — tapi bandelnya — "Nah! Gong sudah berbunyi, memanggil kita makan," kata Dinah. "Aku sudah lapar sekali. Rasanya seperti kita makan terlambat satu jam hari ini. Yuk, kita ke ruang makan!" Bab 6 KISAH TENTANG ANDRA Kapal Viking Star menjelajahi pulau-pulau kecil di perairan Aegea. Warna air di situ biru gelap. Indah sekali kelihatannya! Menurut anak-anak, saat itulah yang terindah selama seluruh pelayaran — memandang pulau-pulau yang bermunculan di tengah laut yang berwarna biru lembayung. Lucian menunjukkan kegunaannya, karena daerah perairan itu dikenal baik olehnya. Karenanya ia bisa bercerita tentang berbagai pulau. Banyak sekali kisahnya tentang perompak zaman dulu serta pembajakan di tengah laut, begitu pula tentang harta karun. "Kalian lihat pulau yang sedang kita datangi sekarang itu?" katanya sambil menunjuk. "Itu Pulau Oupos. Pulaunya kecil saja — tapi di sana ada benteng kuno dengan ruang tahanan yang termasuk paling besar di dunia. Bajak laut zaman dulu sering datang ke sana dengan membawa tawanan yang kemudian mereka jebloskan ke dalam penjara bawah tanah itu. Kadang-kadang para tawanan dibiarkan saja di sana selama bertahun-tahun — sampai jompo!" "Ih, seram!" kata Lucy-Ann. "Kau sudah pernah ke Oupos?" "Sudah, sekali," kata Lucian. "Aku juga melihat lubang-lubang untuk memasukkan tawanan ke dalam penjara bawah tanah yang di sana itu. Aku sendiri waktu itu nyaris saja terperosok ke dalam." "Apa maksudmu dengan lubang-lubang itu?" tanya Philip. "Di pelataran benteng kuno itu banyak sekali . lubang. Lubang-lubang yang dalam sekali," kata Lucian menjelaskan. "Tawanan yang diangkut ke pulau itu diseret ke pelataran, lalu dijebloskan ke dalam lubang terdekat hingga jatuh ke dalam ruang penjara yang terdapat di bawah tanah, di mana sudah ada tawanan tawanan lain." "Cih, menyeramkan! Tidak bisakah ia lari dari situ?'" tanya Jack sambil bergidik. "Tidak bisa! Satu-satunya jalan keluar hanya lewat lubang dalam tadi," kata Lucian. "Tapi tidak ada yang mampu memanjat ke atas lewat situ." "Lalu, bagaimana cara memberi makanan pada tawanan?" tanya Philip. "Gampang," kata Lucian. "Para penjaga yang di atas setiap hari menjatuhkan makanan lewat lubang." "Entah — rasanya ceritamu itu kurang masuk akal," kata Jack. "Eh, tidak percaya! Aku kan sudah pernah ke sana, dan melihat sendiri lubang-lubang itu," kata Lucian berkeras. "Tentu saja penjara bawah tanah itu sekarang tidak dipakai lagi. Pelataran benteng sudah penuh ditumbuhi belukar, sehingga lubang-lubang yang ada di situ nyaris tidak nampak. Itulah sebabnya aku waktu itu hampir terperosok ke dalam." "Kalau kau sampai terjatuh, apakah kau harus tinggal terus di situ sampai tua?" tanya Lucy-Ann. "Tentu saja tidak. Pamanku pasti akan mengambil tali, lalu aku ditariknya ke atas," kata Lucian. “Tapi kalau patah kaki, itu bisa saja terjadi." "Ayo, cerita yang lain lagi tentang pulau-pulau kuno ini," kata Jack. "Kepingin rasanya mendatangi beberapa di antaranya." "Kurasa itu bisa saja, jika aku meminta pada pamanku," kata Lucian tanpa disangka-sangka. "Apa maksudmu? Apa urusan pamanmu dengannya?" kata Philip. "Kau ini—seolah-olah ia pemilik pulau-pulau itu." "Memang! Ia memiliki beberapa pulau di sekitar sini," jawab Lucian. "Belum kuceritakan rupanya, ya! Kurasa itu kegemarannya, ia membeli pulau, menjelajahinya — lalu kalau sudah bosan, dijualnya lagi." Anak-anak menatap Lucian, untuk mengetahui apakah anak itu tidak berbohong. Bagi mereka aneh sekali kedengarannya — ada orang membeli dan menjual pulau, seakan-akan kue saja. Begitu gampang! "Tapi — apa gunanya untuk dia?" tanya Jack. "Maksudku — apakah pamanmu itu tertarik pada peninggalan kuno? Apakah ia mencari barang antik, atau semacam itu?" "Pamanku sangat gemar pada sejarah," kata Lucian. "Yah — pokoknya pada segala hal yang kuno. Kalian mesti melihat rumahnya, di Athena. Bermacam-macam benda yang serba menakjubkan ada di sana. ia memperolehnya dari pulau-pulau kuno ini. Barang-barang antik itu dipeliharanya dengan kasih sayang." Dalam pikiran anak-anak terbayang wujud paman Lucian. Mereka tidak bisa mengatakan, apakah orang itu sinting atau tidak. Kelihatannya biasa-biasa saja, hanya agak pemarah. Sifatnya sulit ditebak, karena ia selalu memakai kaca mata gelap sehingga matanya tidak kelihatan. "Tanpa menatap mata, sulit rasanya menebak pikiran seseorang," kata Lucy-Ann. Itu memang benar. "Kurasa kegemaranku pada sejarah kuwarisi dari pamanku itu," kata Lucian. "Aku selalu mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran sejarah. Tapi yang selebihnya, terus terang saja paling bawah. Dan aku paling benci pada olahraga!" "Itu sudah pernah kaukatakan pada kami," kata Jack. "Ya, tapi baru sekitar lima belas kali saja," sambung Dinah. "Bukan main!" kata Lucian. "Maaf deh! Soalnya, aku betul-betul tidak menyukainya." "Enam belas kali," kata Lucy-Ann menghitung. "Sudahlah, kita berbicara saja tentang pamanmu" desak Jack. "Kau bersungguh-sungguh tadi? Maksudku, ia sungguh-sungguh pemilik beberapa pulau mengasyikkan ini?" "O ya! Kalau Oupos, bukan dia pemiliknya! Tapi pulau yang sebentar lagi akan kita lewati, nah — itu kepunyaannya. Nama pulau itu Helios. Tapi kurasa sebentar lagi akan dijualnya lagi. Ia sudah mengirim sejumlah orangnya untuk mengadakan penggalian di sana. Tapi tidak banyak yang ditemukan di situ." "Apa saja yang mereka temukan?" tanya Lucy-Ann berminat "Sebentar, kuingat-ingat dulu," kata Lucian sambil mengerutkan kening. "O ya — tiga buah bejana tembikar yang indah sekali! Ya, cuma itu saja," katanya. "Tapi ketiga bejana itu retak- retak. Rasanya bejana dan jambangan kuno yang ditemukan, selalu saja ada retaknya. Ia juga menemukan beberapa badik, yang kurasa kuno sekali. Selain itu masih banyak barang- barang yang tidak berarti. Begitulah — pecahan gerabah, sisa-sisa perhiasan tak berharga — eh, nanti dulu! — ya, betul, kecuali itu ia juga menemukan patung kecil. Patung angsa! Patung itu diberikannya padaku." "Lucy-futsi," oceh Kiki yang selama itu kelihatannya ikut asyik mendengarkan kisah Lucian. "Ayo diam, Kiki! Jangan suka memotong cerita orang," kata Jack. "Teruskan, Lucy — eh, maksudku Lucian." "Wah — kau jangan ikut-ikut begitu, Jack," keluh Lucian. Nampaknya ia agak tersinggung. "Jangan suka merajuk, ah! Teruskan saja ceritamu," kata Jack. Ia selalu sebal jika Lucian mulai bersikap tersinggung. Dan itu cukup sering terjadi. "Masih ada lagi kisah tentang pulau-pulau ini, yang kauketahui?" tanya Lucy-Ann dengan cepat, karena melihat bahwa Lucian masih sakit hati. "Yah, kalau kalian memang masih ingin tahu — ada pula kisah tentang kapal-kapal harta Andra," kata Lucian. "Kata orang, kisah itu merupakan kenyataan. Aku sering mendengar pamanku, menceritakannya." "Cerita sajalah," kata Philip sambil menggaruk-garuk punggung Miki yang saat itu sudah terlelap dalam gendongannya. "Kejadiannya berabad-abad yang silam," kata Lucian membuka cerita. "Aku tidak ingat lagi waktunya yang tepat Pokoknya waktu itu ada seorang raja. Namanya Panlostes. Ia berkuasa di salah satu pulau ini — sebuah pulau besar. Kalian tentunya juga tahu, waktu itu tiap-tiap pulau ada penguasanya sendiri-sendiri. Nah — Panlostes itu mempunyai seorang putra." "Siapa namanya?" tanya Lucy-Ann. "Mana aku tahu?" tukas Lucian. "Pokoknya, putranya itu sewaktu masih kecil pernah mengalami kecelakaan, yang mengakibatkan matanya buta satu dan kakinya pincang. Putra Raja Panlostes ini setelah dewasa ingin menikahi putri seorang raja di daratan Yunani. Putri itu bernama Andra." "Tapi Andra tidak mau menikah dengan putra raja tadi, karena matanya buta sebelah dan jalannya pincang. Begitu, kan?" kata Jack menyela. "Tapi ada seorang pemuda lain. Andra ingin menikah dengan pemuda itu." "Yah — kalau kau sudah tahu ceritanya..." kata Lucian agak jengkel. "Aku belum pernah mendengar ceritamu itu. Tapi kalau yang sejenis, sudah sering!" kata Jack. "Sudahlah, kauteruskan saja ceritamu." "Ayah Andra berkeras mengatakan bahwa putrinya harus menikah dengan pangeran yang bermata satu, asal Raja Panlostes mau mengirimkan emas, senjata, dan harta lain yang nilainya setengah nilai kerajaannya," sambung Lucian yang sudah mulai asyik kembali. "Begitulah, dengan segera Raja Panlostes menyiapkan armada kapal yang diisi penuh dengan bermacam-macam harta. Suatu pagi mereka berangkat dari pulau, menuju daratan." Lucy-Ann menatap ke laut yang berwarna biru tua. Pandangannya menerawang. Dibayangkannya armada kapal-kapal kecil dengan layar menggembung dihembus angin. Palka kapal-kapal itu penuh sesak berisi harta. Lucy-Ann merasa seakan-akan bisa mendengar seruan lantang memberi aba-aba, lambung berderak-derak, serta kelepak bunyi layar didorong angin. Sementara itu Lucian menarik napas, lalu meneruskan cerita. "Nah — Putri Andra mengirim kabar pada pemuda dengan siapa ia ingin menikah, memberi tahu tentang kapal-kapal harta itu. Orang itu lantas menyiapkan beberapa kapal, dengan mana ia kemudian menyongsong armada Raja Panlostes." "Lalu berjumpa tidak?" tanya Lucy-Ann. "Ya, dan langsung diserang dan dikalahkan olehnya. Tapi ternyata sama sekali tidak ada harta di dalam kapal-kapal itu!" "Astaga! Ke mana larinya?" tanya Dinah. "Dilempar ke laut, atau begitu?" "Tidak, bukan begitu. Nakhoda pimpinan armada kapal Raja Panlostes ternyata sama sekali tidak berniat menyerahkan mas kawin itu dengan selamat, ia menyembunyikan semuanya di sebuah pulau yang dikenalnya. Setelah itu baru meneruskan pelayaran ke kerajaan ayah Putri Andra. Pada kedua raja akan dikatakannya bahwa ia diserang dan dirampok di tengah jalan. Lalu kalau keadaan sudah tenang, ia akan kembali ke pulau tadi, untuk mengambil harta itu." "Ternyata kemudian ia benar-benar diserang. Cuma harta sudah disembunyikan terlebih dulu!" kata Jack. "Apa yang terjadi setelah itu?" "Nakhoda itu tewas dalam pertempuran, beserta setengah anak buahnya. Sisanya lari memencar ke mana-mana. Harta yang disembunyikan dicari, tapi tidak pernah ditemukan." "Wah — sejak itu sama sekali tidak ada kabar beritanya?" "Bukan begitu! Di antara bekas anak buah nakhoda pengkhianat tadi ada beberapa orang yang merasa masih ingat letak pulau di mana mereka mendarat malam-malam, untuk menyembunyikan harta yang sebenarnya harus diserahkan. Mereka pergi dengan diam-diam ke pulau itu untuk mencari harta itu. Tapi kemudian timbul pertengkaran. Mereka berkelahi! Akhirnya tinggal beberapa orang saja yang masih hidup. Seorang di antaranya membuat peta kasar." "Peta pulau itu? Ada yang kemudian menemukannya atau tidak?" tanya Dinah bersemangat "Ada — seorang saudagar bangsa Yunani, bertahun-tahun kemudian. Lama sekali ia meneliti peta yang ditemukannya itu, sampai akhirnya ia merasa mengerti maksudnya. Dari sekian banyak pulau yang bertebaran di Laut Aegea, hanya lima saja yang mungkin tergambar pada peta itu. Ia lantas menjelajahi kelima pulau itu, satu demi satu." "Dan bagaimana hasilnya? Berhasilkah ia menemukan pulau yang benar?" tanya Lucy-Ann. Matanya berbinar-binar. "Wah, asyik sekali ceritamu ini!" "Ya — menurut kisah lama itu, saudagar tadi berhasil menemukan pulau yang tergambar di peta. Ia pun menemukan harta yang disembunyikan di situ. Tapi sebelum sempat berbuat apa-apa dengannya, ia meninggal dunia." Anak-anak terdiam. Semua merasa kecewa. "Kalau begitu, siapa yang memperoleh harta tadi?' tanya Jack. "Tidak ada," kata Lucian. "Rahasia mengenainya tidak pernah diceritakan saudagar Yunani itu pada siapa pun. Tapi kabarnya — ini kabarnya — masih ada lagi salinan peta pulau itu, yaitu yang dibuat olehnya. Tapi tidak ada yang mengetahui di mana peta itu berada. Ada yang mengatakan, disembunyikan saudagar tadi sebelum ia mati. Orangnya hidup sekitar seratus tahun yang lalu." "Hm, asyik sekali cerita ini!" kata Dinah sambil mendesah. "Kepingin rasanya bisa menemukan peta kuno itu. Di manakah tempat tinggal orang itu semasa hidupnya? Kan mungkin saja peta itu disembunyikan di rumahnya!" "Kurasa tempat itu pasti sudah diperiksa seluruhnya dari atap sampai ke kolong," kata Lucian. "Aku tahu di pulau mana ia dulu tinggal. Sehari lagi kita akan sampai di sana. Namanya Amulis." "Wah! Kita akan mendarat di sana nanti?" seru Lucy-Ann bergairah. "Aku kepingin sekali." "Ya — kapal-kapal biasanya singgah di sana," kata Lucian. "Pulau itu lumayan besarnya. Di sana ada beberapa kota dan desa, serta toko-toko yang berdagang barang antik. Para wisatawan sering turun berombongan, untuk berbelanja." "Kita turun beramai-ramai nanti!" kata Dinah. "Aku masih ingin membeli macam-macam. Kau ikut saja dengan kami, Lucian! Kau akan banyak membantu kami! Bab 7 LUCIAN MEMBANTU Bu Mannering senang ketika mendengar bahwa kapal akan menyinggahi Pulau Amulis yang romantik. Seperti anak-anak, ia pun sangat tertarik pada pulau-pulau yang muncul susul- menyusul di tengah laut berwarna biru gelap itu. Sebelumnya ia sudah membaca-baca sedikit tentang sejarah Yunani. Dan Laut Aegea memberikan kesan seperti merupakan bagian dari masa yang sudah lama silam. Anak-anak meminjam buku-buku Bu Mannering dan membacanya dengan asyik. Sudah begitu tua pulau-pulau itu, dan begitu banyak kisah yang tersimpan di situ! Lucy-Ann merasa terpesona.-Sepanjang hari ia berdiri di pinggiran geladak sambil menatap pulau-pulau yang dilewati. "Apa sebabnya di sini terdapat begini banyak pulau?" tanyanya pada Bu Mannering. "Kabarnya semua pulau ini dulunya saling bersambungan dan merupakan daratan luas," kata Bu Mannering bercerita. "Kemudian terjadi sesuatu yang dahsyat! Air dari samudra luas menerjang masuk ke dalam apa yang kini merupakan Laut Tengah. Sebagai akibatnya, bagian luas dari daratan yang dulu ada itu tenggelam. Hanya bagian-bagian yang paling tinggi saja — yaitu bukit-bukit serta pegunungan — yang masih muncul di atas permukaan, dan membentuk kepulauan, yaitu Kepulauan Aegea yang kini sedang kita telusuri!" "Astaga," kata Lucy-Ann kagum. Daya khayalnya langsung membayangkan air membanjir melanda daratan di mana terdapat kota dan desa. Satu demi satu terbenam, dan akhirnya bagian-bagian yang paling tinggi saja yang masih muncul di atas permukaan. "Wah, Bibi Allie—kalau begitu jauh di bawah kita sekarang ini, di dasar laut, ada bekas-bekas kota dan desa, ya? Kapan kejadian itu tadi?" "Sudah ribuan tahun yang lalu," kata Bu Mannering. "Kalaupun di bawah ada bekas-bekas kota, pasti kini sudah tidak ada lagi sisanya. Tapi ceritaku tadi menjelaskan kenapa di laut sini terdapat begitu banyak pulau. Aku senang bahwa kita akan menyinggahi salah satu di antaranya." "Anda tidak takut kalau kita terlibat lagi ke dalam petualangan yang menegangkan?" kata Lucy-Ann memancing. "Menurut Bibi, amankah kita jika mendatangi pulau kecil yang menarik itu?" "Pasti aman," kata Bu Mannering sambil tertawa. "Kan ada aku!" "Kami sudah mengajak Lucian ikut dengan kita," kata Dinah. "Aku tahu, anak itu konyol—tapi ia tahu banyak tentang pulau-pulau ini, Bu. Ia banyak bercerita mengenainya. Katanya, beberapa di antaranya milik pamannya." "Ya, aku pun sudah mendengar tentang itu," kata Bu Mannering. "Aku sempat mengobrol dengan istri pamannya. Orangnya ramah sekali. Kalau aku jadi dia, aku takkan suka jika suamiku kerjanya tidak lain hanya membeli pulau demi pulau lalu sibuk menggali di situ selama beberapa bulan. Setelah itu dijual lagi, sedang dia mulai lagi di tempat lain. Kurasa suaminya agak tidak beres otaknya. Tapi di pihak lain berkat kesibukan itu ditemukan beberapa benda menarik — yang membuat mereka menjadi kaya raya!" Keesokan harinya Viking Star memasuki sebuah pelabuhan kecil. Anak-anak yang bergelantungan di pagar geladak sambil menonton, agak heran ketika kapal berhenti lalu melabuhkan jangkar di tengah pelabuhan, dan tidak merapat ke dermaga. "Kita tidak bisa merapat, karena dermaga itu terlalu kecil untuk kapal sebesar kita ini," kata seorang perwira kapal menjelaskan. "Kalian nanti turun ke darat naik barkas." Tidak lama kemudian sebuah perahu motor mendatangi kapal. Belasan penumpang menuruni tangga kapal, lalu masuk ke barkas itu. Anak-anak tentu saja ikut, bersama Lucian, Bu Mannering, serta sejumlah penumpang lain yang menaruh minat Paman dan bibi Lucian tidak ikut. Mereka sudah sangat mengenal Pulau Amulis, jadi tidak berminat lagi untuk ikut melihat-lihat. Tapi bagi anak-anak, kesempatan itu sangat menarik. Barkas melaju, menuju ke dermaga. Lucian sudah merasa biasa di pulau itu, yang pernah didatangi bersama pamannya. "Kalian ikut saja dengan aku. Nanti kutunjukkan berbagai hal yang menarik," katanya. "Aku juga bisa mengajak penduduk sini mengobrol, kalau ada yang ingin kalian ketahui. Aku pun bisa melakukan tawar-menawar untuk kalian." Ternyata banyak sekali gunanya mengajak Lucian ikut. Ia mengusir anak-anak yang datang berkerumun sambil meminta-minta. Entah apa saja yang dikatakannya, ia berbicara dalam bahasa penduduk setempat. Bicaranya cepat sekali, seperti meluncur kata-kata keluar dari mulutnya. Bahkan Kiki pun sampai tercengang mendengarnya. Lucian tahu jalan di pulau itu. Kecuali itu ia juga pandai memberi penjelasan. "Ini pasar," katanya. "Orang-orang dari gunung datang kemari untuk menjual hasil usaha mereka — itu, yang ditawarkan di kios-kios itu — dan sehabis berjualan, mereka membelanjakan uang yang diperoleh di toko-toko, di kota. Atau kalau tidak, mereka menonton." Penduduk pulau itu menarik sekali penampilannya. Sayangnya agak kotor. Mungkin itu disebabkan karena di pulau gersang itu, air sulit didapat Mereka memakai topi bertepi lebar, untuk melindungi diri dari sinar matahari. Selanjutnya mereka memakai pakaian putih yang entah apa namanya. Tapi cocok bagi perawakan mereka. Anak-anak di sini cantik-cantik, kata Lucy-Ann dalam hati, dengan mata mereka yang coklat kehitaman, bentuk muka yang indah, serta rambut tebal dan ikal. Lucian mengajak keempat remaja itu mendatangi reruntuhan suatu puri kuno. Jack dan Philip agak kecewa, karena di situ tidak ada ruang penjara bawah tanah. Sedang Dinah dan Lucy-Ann tercengang ketika melihat bahwa kelihatannya ada orang yang mendiami beberapa bagian dari puri itu, berkumpul dengan ternak kambing dan ayam. "Mereka itu kaum miskin," kata Lucian menjelaskan. "Mereka menghuni reruntuhan, karena tidak mempunyai tempat tinggal yang benar. Kalau ada waktu, kita bisa juga pergi ke pedalaman. Di sana kalian bisa melihat orang yang tinggal di dalam gua di tebing gunung. Itu sudah biasa dilakukan di sini, sejak ribuan tahun. Aneh juga rasanya, membayangkan bahwa gua-gua di sana itu sudah selalu didiami dari abad ke abad." "Orang-orang gua itu — apakah mereka juga nonton film ke kota?" tanya Dinah. "O ya, mereka senang sekali nonton film, walau tidak bisa membaca dan menulis," kata Lucian. "Mereka itu seakan-akan hidup di dua zaman. Zaman dulu, sewaktu manusia masih tinggal di dalam gua serta hidup serba kekurangan bersama ternak peliharaan mereka, dan juga zaman sekarang dengan film, mobil, dan sebagainya." "Aku kalau begitu pasti bingung — tidak tahu di mana tempatku yang sebenarnya," kata Jack. "Mereka tahu," kata Lucian, lalu membentak anak kecil iseng, yang dengan diam-diam hendak menarik pita gaun Lucy-Ann. Kiki ikut menjerit, sedang Miki memekik-mekik sambil meloncat turun-naik di bahu Philip. Anak kecil itu lari ketakutan. Kasihan, kata Lucy-Ann dalam hati. Setelah itu Lucian mengajak mereka melihat-lihat keadaan toko-toko di pasar. Beberapa di antaranya kecil dan gelap, penuh dengan berbagai barang yang kelihatannya asing. Tapi ada satu toko yang lumayan juga besarnya, berisi barang-barang antik untuk menarik wisatawan. "Kita masuk saja ke situ, jika kalian ingin melihat-lihat dan membeli sesuatu," kata Lucian. "Eh, — mana Miki?" "Sedang bersenam sebentar, di atas tenda yang menaungi pintu toko ini," jawab Philip. Miki benar-benar kocak. Sebentar-sebentar ia meloncat turun dari bahu Philip lalu berayun-ayun pada segala macam barang yang ada di dekatnya, lari kian kemari, lalu meloncat lagi ke tempat lain tanpa pernah salah loncat. Sekarang ia lari mondar-mandir di atas tenda penahan sinar matahari, sambil sekali-sekali meloncat naik ke ambang jendela yang ada di atas. Tapi ketika ia melihat Philip hendak masuk ke toko, ia cepat-cepat meloncat lagi ke bahu anak itu. "Ah, kau lagi!" kata Philip. "Panas rasanya tengkukku karena selalu kau dekap!" Anak-anak terpesona melihat isi toko itu. Mereka tidak tahu, mana yang benar-benar antik dan mana yang palsu. Lucian cukup banyak pengetahuannya tentang barang-barang itu. Ia menunjukkan beberapa benda yang benar-benar kuno. Tapi harganya mahal. Keempat remaja itu tidak mampu membelinya. Lucy-Ann mengeluarkan uang yang ada padanya saat itu, lalu bertanya pada Lucian apakah dengan uang sejumlah itu ada barang yang bisa dibeli. Lucian menghitung-hitung uang yang disodorkan Lucy-Ann. Semuanya mata uang Yunani, sehingga Lucy-Ann tidak mengetahui nilainya. "Ya, ada juga yang bisa kaubeli dengan uangmu ini," kata Lucian kemudian. "Misalnya saja batu biru yang diukir itu!" "Ah, bukan yang begitu maksudku," kata Lucy-Ann. "Aku ingin membelikan sesuatu untuk Philip. Sebentar lagi ia akan berulang tahun! Adakah sesuatu di sini yang kiranya akan disenanginya? Tapi jangan sampai ia tahu — karena aku hendak menyimpannya dulu sampai hari ulang tahunnya!" "Yah — kalau begitu bagaimana dengan kapal-kapalan ini?" kata Lucian sambil mengacungkan sebuah model perahu yang bentuknya persis perahu-perahu rakyat yang ada di pelabuhan. "Tapi tentu saja ini bukan barang kuno." Ketika melihat perahu-perahu itu, Lucy-Ann langsung teringat lagi. "Ah ya, sekarang aku tahu apa yang ingin kubeli untuk Philip, Lucian. Sesuatu yang sudah lama diidam-idamkannya." "Apa itu?" tanya Lucian. "Kapal dalam botol," jawab Lucy-Ann. "Aku tahu bahwa itu agak aneh, tapi kata Philip sendiri ia ingin sekali punya kapal dalam botol." "Rasanya aku belum pernah melihat barang Seperti itu di sini," kata Lucian. "Mereka tidak biasa menjual barang-barang begitu. Tapi sebentar — kutanyakan saja pada orang yang ada di belakang sana. Mungkin ia tahu." Lucian berjalan ke arah belakang, lalu masuk ke ruangan lain yang dipisahkan dengan tirai. Terdengar suaranya bercakap-cakap sebentar dengan seseorang yang ada di situ. Kemudian ia muncul lagi. "Kata orang itu mereka di sini tidak menjualnya," katanya. "Tapi ia tahu di mana ada satu — cuma sayangnya sudah retak. Sudah tua dan kotor, katanya." "Di mana barang itu?" tanya Lucy-Ann bersemangat. "Kalau cuma kotor saja, masih bisa kubersihkan. Asal jangan terlalu retak!" "Kata orang itu, ia pernah melihatnya di atas rak dalam rumah seorang nelayan, tidak jauh dari sini," kata Lucian. "Kalau kau memang mau, bisa saja kuantarkan ke sana. Tapi diizinkan atau tidak oleh Bu Mannering?" Saat itu Bu Mannering ada bersama rombongan penumpang lainnya. Tapi ia tetap mengawasi anak-anak yang agak memisah bersama Lucian. Menurut Lucy-Ann, sebaiknya minta izin saja dulu padanya, lalu keluar dari toko. Mereka menjumpai Bu Mannering beserta sisa rombongan yang, sedang duduk-duduk sambil menikmati minuman setempat yang sejuk di pelataran kecil di bawah naungan pohon bercabang melebar. "Bibi Allie — aku ingin membeli kapal dalam botol untuk hadiah ulang tahun Philip nanti. Baru saja kudengar bahwa di sini ada satu. Lucian hendak mengantar ke tempat barang itu. Boleh, ya?" "Boleh saja — tapi jangan lama-lama, Lucian," kata Bu Mannering. "Tempatnya tidak jauh dari sini, kan?" "Wah, tidak — cuma di belakang pasar ini," kata Lucian, lalu ia bergegas pergi bersama Lucy-Ann. Mereka melintasi pasar yang hiruk-pikuk, berulang kali menyandung ayam yang berkeliaran, dan terhalang kawanan kambing yang lewat. Mereka sampai di depan tembok tinggi yang tidak ada pintu maupun jendelanya. Mereka mengitari tembok itu. Di sebaliknya ada pekarangan yang agak miring. Di sekeliling pekarangan itu terdapat sejumlah pondok kecil, terbuat dari batu. Lucian mendatangi salah satu pondok itu, lalu memanggil-manggil lewat pintu yang terbuka. Dari dalam terdengar suara serak menjawab panggilannya "Kita masuk yuk!" ajak Lucian. "Tapi di dalam agak bau!" Lucy-Ann sebenarnya tidak ingin masuk. Tapi ia takut menyakitkan hati. Karena itu ia melangkahi m seekor ayam betina yang duduk di jenjang depan pintu, lalu masuk ke sebuah bilik gelap. Tercium bau pakaian yang belum dicuci, bercampur asap tembakau dan masakan. Agak sesak juga napas karenanya. "Lihatlah — itu dia kapal yang di dalam botol," kata Lucian. Ia menuding ke arah rak dari batu yang nampak di ujung bilik. Tidak banyak barang di atasnya. Hanya sebuah pot yang sudah pecah, sebongkah tulang — dan sebuah botol yang nampak dekil, terselubung jelaga. Lucy-Ann memandang ke dalam botol itu dengan mata terpicing, untuk melihat apakah benar ada kapal di dalamnya. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa, karena botol itu kotor sekali. Lucian mengatakan sesuatu pada wanita tua yang duduk di bangku dalam ruangan itu. Kemudian diambilnya botol tadi dan dibawanya ke pintu, lalu dibersihkan dengan sapu tangan. Botol itu kemudian diacungkannya ke arah Lucy-Ann, supaya anak itu bisa melihat. "Nah, sekarang kau bisa melihat kapal itu, walau tidak jelas. Kita perlu mencuci botol ini dengan air sabun — supaya benar-benar bersih. Kapal ini bagus sekali buatannya. Kurasa Philip pasti menyukainya, apabila ia memang benar mengidam-idamkannya — walaupun aku tidak bisa membayangkan kenapa ada orang ingin punya kapal dalam botol." "Kalau aku bisa saja!" kata Lucy-Ann sambil memperhatikan kapal-kapalan itu dari dekat sekali. "Aku pun sering ingin memiliki barang-barang seperti ini—kau tahu kan maksudku, barang tanpa guna, tapi menarik! Aku pernah punya teman yang memiliki bola kaca. Di dalamnya ada orang-orangan kecil, yang bentuknya seperti boneka salju. Kalau bola itu diguncang-guncang, tiruan salju akan berhamburan ke mana-mana lalu jatuh menyelubungi orang-orangan itu. Aku senang sekali melihatnya. Karena itu aku bisa mengerti, kenapa Philip ingin mempunyai barang seperi ini." "Sekarang bagaimana — kutanyakan saja pada wanita tua itu, apakah ia mau menjualnya?" tanya Lucian. "Botol ini sudah agak retak, jadi kurasa harganya takkan mahal." "Ya, tolonglah tanyakan sebentar! Kau tahu berapa uangku. Semuanya bisa dihabiskan," kata Lucy-Ann. Lucian masuk kembali dengan membawa botol berisi kapal-kapalan itu. Hampir saja ia terjatuh, karena kakinya menyandung dua ekor ayam betina yang lewat sambil berkotek- kotek. Di dalam terdengar suara ribut, seperti orang bertengkar. Lucy-Ann tinggal di luar sambil mendengarkan, tapi tanpa memahami sepatah kata pun. Sesaat kemudian Lucian keluar lagi dengan wajah berseri-seri. Ia membawa botol tadi. "Nah — ini barangnya. Kubeli dengan separuh uangmu. Wanita tua itu sebenarnya perlu uang. Tapi ia takut apa kata kakeknya nanti, jika tahu bahwa ia menjual kapal dalam botol yang sudah sejak bertahun-tahun merupakan warisan keluarga. Tapi kakeknya itu sudah lama meninggal dunia, jadi kurasa ia takkan bisa marah lagi. Nih.” "Wah — terima kasih, Lucian," kata Lucy-Ann dengan gembira. "Nanti akan kubungkus baik- baik. Mudah-mudahan saja Philip menyukainya. Ini hadiah yang menarik, kan?" Bukan hanya menarik, Lucy-Ann Bab 8, KAPAL DALAM BOTOL Lucy-Ann sudah berhasil memperoleh kertas lalu membungkus botol berisi kapal-kapalan itu, sebelum Philip sempat melihat. Anak-anak yang lain menanyakan, apa yang dibawanya di dalam bungkusan, tapi ia tidak mau mengatakan. "Mestinya barang yang gampang pecah, kalau melihat caramu membawa begitu hati-hati," kata Jack. Setibanya kembali di kapal, Lucy-Ann mengajak Dinah masuk ke kabin mereka. Di situ ia membuka bungkusan tadi, lalu menunjukkan isinya. "Ihh, kotornya!" kata Dinah jijik. "Apa itu? Kau kan tidak menghabiskan uangmu untuk membeli barang itu?" "Tidak semua, tapi setengahnya," kata Lucy-Ann. "Ini hadiah ulang tahun untuk Philip. Katanya ia ingin memiliki kapal dalam botol. Ini dia!" "O ya? Coba kulihat!" kata Dinah tertarik. "Wah, betul juga. Yuk kita bersihkan, supaya lebih jelas nampak. Besar juga, ya?" Mereka mengambil lap, lalu mencuci botol itu dengan air sabun. Setelah bersih, mereka dapat melihat kapal-kapalan yang ada di dalamnya dengan jelas. Besarnya lumayan, terukir indah, dengan layar yang cermat sekali buatannya. Berlainan dengan botolnya, kapal itu nampak bersih sekali. Sama sekali tidak ada debu menempel. Warnanya masih cemerlang. "Bukan main!" kata Lucy-Ann dengan senang. "Mestinya ini model salah satu kapal Yunani kuno. Bagaimana cara memasukkannya ke dalam botol, Dinah? Lihat saja, leher botol ini sempit sekali — tidak mungkin kapal bagus itu dimasukkan dengan cara mendorongnya begitu saja. Itu mustahil!" "Sama sekali tidak bisa kubayangkan bagaimana caranya," kata Dinah yang ikut bingung. "Tapi yang jelas, sekarang ada di dalam. Wah — Philip pasti senang nanti. Aku sendiri juga kepingin." "Aku juga, karena memang bagus sekali," kata Lucy-Ann sambil meletakkan barang itu di atas rak. Satu sisi botol itu datar, sehingga bisa dibaringkan tanpa takut bisa jatuh. Kapal layar yang ada di dalam nampak seakan-akan sedang melaju di tengah-tengah, dengan semua layarnya mengembang. "Apa namanya?" kata Dinah sambil memperhatikan kapal-kapalan itu dari dekat sekali. "Tidak bisa kubaca — karena tulisannya lain dari tulisan kita. Pasti itu huruf Yunani." Hadiah itu diserahkan pada Philip dua hari kemudian, pada hari ulang tahunnya. Anak itu senang sekali menerimanya. Lucy-Ann memperhatikan dengan wajah berseri karena puas. "Dari mana kau memperolehnya? Belum pernah kulihat yang sebagus ini," kata Philip. "Sungguh — ini kapal-kapalan terbagus di antara yang pernah kulihat! Buatannya benar- benar indah. Sudah berapa umurnya, ya? Mana besar lagi. Kebanyakan kapal di dalam botol yang pernah kulihat, ukurannya jauh lebih kecil dari ini." Miki dan Kiki ikut-ikut melihat Miki mencoba meraih kapal-kapalan itu. Tapi tentu saja tidak bisa, karena terhalang kaca. "Selamat Natal," kata Kiki pada Philip, berkali-kali, ia sudah diajari mengatakan, 'Selamat ulang tahun', tapi selalu saja dikelirukannya dengan ucapan 'Selamat Natal' yang diocehkannya setiap beberapa menit. "Terima kasih, Kiki," kata Philip. "Dan selamat tahun baru!" "Ck—jangan kau buat dia semakin kacau," kata Dinah. "Yuk, kita tunjukkan kapal-kapalan ini pada Ibu." Mereka mendatangi Bu Mannering, yang sedang duduk-duduk di geladak. Kursi deknya bersebelahan dengan kursi yang ditempati bibi Lucian. Paman anak itu juga ada di situ. "Lihat Bu — aku mendapat ini dari Lucy-Ann," kata Philip. "Sudah lama aku menginginkannya!" Bu Mannering mengaguminya sebentar, lalu memperlihatkannya pada bibi dan paman Lucian. Pak Eppy, paman Lucian mengamat-amati hadiah itu dengan seksama. Kelihatannya ia heran. "Kapal-kapalan ini buatan kuno," katanya. "Tapi botolnya barang baru. Gagasan memasukkan kapal-kapalan ke dalam botol memang merupakan hal yang belum lama dilakukan. Tapi kapal-kapalan yang ada di dalam ini sudah tua sekali — sudah bisa disebut barang antik! Ini benar-benar menarik." "Nama kapal itu terukir di sisi. Tulisannya kecil sekali," kata Lucy-Ann. "Sayang tidak bisa membacanya. Anda bisa, Pak Eppy?" Orang itu berusaha mengeja dengan mata dipicingkan. "Ya — A-N-D-R-A! Nama aneh. Aku belum pernah mendengar ada kapal Yunani bernama demikian!" "Rasanya aku pernah mendengar nama itu," kata Lucy-Ann sambil mengingat-ingat. "Ya, betul! Bukankah itu nama putri dalam kisah menarik yang diceritakan Lucian — itu, gadis yang tidak mau dinikahkan dengan putra raja bermata satu! Kita kan sering memberi nama ratu pada kapal-kapal kita — misalnya Queen Mary dan Queen Elisabeth. Jadi kenapa tidak bisa kapal Yunani diberi nama seorang putri sini!" Pak Eppy tidak mendengarkan lagi. Ia menguap, lalu menyandarkan diri dengan santai ke punggung kursi malasnya, ia kelihatannya tidak tertarik pada percakapan anak-anak. Bu Mannering menganggukkan kepala, menyuruh anak-anak pergi. Soalnya orang-orang dewasa yang ada di geladak saat itu ingin tidur-tiduran, dan karenanya merasa terganggu oleh Miki dan Kiki yang ribut terus. Anak-anak turun lagi ke bawah, kini masuk ke kabin Jack dan Philip. Philip meletakkan hadiahnya di atas rak yang ada di seberang pembaringannya, supaya ia bisa melihatnya setiap saat Nampak jelas bahwa remaja itu sangat menyukai hadiah itu. Dari dulu ia sudah mengidam-idamkannya. Dan kini ia memiliki barang itu. "Hati-hati, jangan sampai monyetmu bisa mengutak-utiknya," kata Jack memperingatkan. "Miki kelihatannya sangat ingin memegang kapal-kapalan itu. Berulang kali kulihat dia mencoba meraihnya, lalu marah-marah karena tidak bisa!" Viking Star berlayar terus, dari pulau yang satu ke pulau berikut Para penumpang seakan-akan tidak mengenal waktu lagi. Mereka semua merasa seperti sedang bermimpi. Mimpi indah, dengan hidangan makanan yang nyata dan nikmat. Menurut Jack, jika hidangan yang dimakan setiap hari tidak terasa mengenyangkan perut, ia sungguh-sungguh menyangka sedang bermimpi saat itu. Tapi impian indah itu kemudian buyar secara aneh. Penyebabnya pertengkaran antara Miki dan Kiki! Hal itu terjadi suatu petang, saat anak-anak sedang bermain tenis di geladak. Miki dan Kiki ditinggal sendiri di dalam kabin, karena Miki selalu mengganggu jika mereka bermain tenis. Ada-ada saja yang diperbuatnya, seperti cepat-cepat mengambil bola lalu melarikannya ke atas tiang kapal sambil berceloteh senang. Oleh karena itu ia dikurung di dalam kabin, ditemani Kiki. Burung kakaktua itu jengkel, karena tidak suka ditinggal, ia bertengger di ambang tingkap sambil merajuk, ia berkeluh-kesah terus, sehingga Miki merasa tidak enak mendengarnya. Monyet kecil itu duduk di sisi Kiki sambil menatapnya dengan pandangan bertanya, ia mengelus-elus Kiki. Tapi kakaktua itu malah menggeram seperti anjing. Miki cepat-cepat meloncat ke atas rak, lalu duduk di situ dengan perasaan heran bercampur sedih. Kemudian dicobanya lagi menghibur Kiki. Diambilnya sikat gigi milik Jack. Maksudnya hendak menggosok bulu burung kakaktua itu dengannya. Kalau Miki manusia, pasti saat itu terdengar suaranya tertawa senang. Tapi Kiki malah memutar tubuh, membelakangi Miki. Kemudian ia menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap. Miki selalu bingung dan takut melihat Kiki dalam begitu, ia takut melihat Kiki tanpa kepala, lalu mencari-cari dengan hati-hati. Bulu Kiki disibakkannya dengan gerakan pelan. Mana kepala Kiki? Kiki mengoceh dari bawah sayap. "Ceng-ngeng, ceng-ngeng, bukan main!" ia menggeram-geram. "Bersihkan pintu dan tutup kaki! Hidup Ratu." Miki putus asa. Ditinggalkannya Kiki yang masih tetap merajuk. Akan ditunggunya sampai Kiki sudah berkepala lagi dan menjelma kembali menjadi burung kakaktua yang dikenalnya. Miki mengembalikan sikat gigi ke tempat semula, lalu memperhatikan lap untuk cuci muka. Diambilnya barang itu, lalu diisap-isapnya air yang terserap. Kemudian ia mengusap muka dengannya, menirukan Philip. Tapi dengan segera ia sudah bosan, lalu meloncat lagi ke atas rak. Apa lagi yang bisa dilakukannya sekarang? ia memperhatikan barang-barang yang ada di atas rak. Satu di antaranya botol yang berisi kapal-kapalan. Dengan hati-hati dijamahnya botol itu. Apa sebabnya ia tidak bisa mengambil benda yang ada di dalamnya? ia ingin sekali bermain-main dengan kapal-kapalan itu. Miki memperhatikannya dengan kepala dimiringkan. Botol itu diambil, lalu digendongnya sambil bernyanyi-nyanyi. Dalam bahasa monyet, tentu saja! Kepala Kiki tersembul dari balik sayap, ia menoleh, memandang Miki. Rasa irinya langsung timbul, begitu melihat Miki menimang-nimang botol. "Tutup pintu, tutup pintu, Anak nakal!" oceh Kiki mengomel. "Mana sapu tanganmu!" Miki tidak memahami ocehan Kiki. Dan kalau mengerti pun, ia tidak peduli. Diguncangnya botol keras-keras. Jambul Kiki menegak, ia mengumpat-umpat lagi. "Nakal, nakal! Anak jahat! Cul-cul-cul!" Miki membalas ocehannya, tapi ia tidak mau meletakkan botol tadi. Kiki sudah tidak sabar lagi. Ia terbang ke rak, lalu mematuk Miki yang sama sekali tidak menyangka akan diserang. Monyet kecil itu menjerit kesakitan, lalu memegang lengannya yang luka. Botol tadi terlepas dari pegangan. Kiki kaget mendengar bunyi botol pecah, ketika botol itu jatuh ke lantai, ia merasa bahwa itu kejadian yang tidak enak Ditirukannya bunyi alat pemotong rumput. R-r-r! Setelah itu terdiam. Aduh — apa kata Philip nanti? Lima menit kemudian kedua remaja penghuni kamar itu masuk bergegas-gegas. Mereka hendak mandi dan berganti pakaian, karena sebentar lagi sudah saat makan malam. Begitu masuk ke dalam kabin, keduanya langsung melihat botol yang pecah di lantai. Mata Philip terbelalak karena kaget. "Aduh, botolku pecah! Pasti Miki atau Kiki yang melakukannya!" "Mana kapal yang ada di dalamnya?" tanya Jack. ia memandang berkeliling, tapi tidak melihatnya. Kapal itu baru ditemukan ketika mereka menyeret Miki keluar dari bawah tempat tidur. Monyet kecil itu sama sekali tidak mengutak-utik, melainkan hanya memeluknya saja erat-erat. Miki dipukul pantatnya tiga kali keras-keras, sedang Kiki dipukul paruhnya. "Hadiahku yang bagus," keluh Philip sambil memperhatikan kapal-kapalannya. "Coba kaulihat, Jack — bagus sekali, ya? Sekarang bisa lebih jelas dilihat, karena tidak dalam botol lagi.” Jack mengamat-amati benda itu dengan penuh minat. "Untuk apa ini?" katanya. Dipegangnya sebuah tombol kecil yang terdapat di sisi kapal, lalu ditariknya. Eh — tahu-tahu tombol itu tercabut. Lewat lubang bekas tempat tombol, ia mengintip ke dalam kapal-kapalan itu. "Bagian dalamnya berongga, Philip," katanya sambil mengintip. "Dan di dalam ada sesuatu — kelihatannya seperti kertas tergulung. Apa itu, ya?" Philip langsung bersemangat. "Kertas tergulung, katamu? Wah, pasti naskah kuno! Tapi kenapa disembunyikan di dalam kapal-kapalan! Tentunya karena naskah yang mengandung rahasia! Huii — asyik! Entah apa isi naskah itu!" "Coba kita korek saja ke luar," kata Jack. "Lihatlah! Setelah tombol tadi dicabut, bagian ini bisa digeser — sehingga kita bisa mengorek barang yang di dalam itu ke luar!" "Hati-hati! Nanti kapal ini berantakan, jika benar-benar sudah tua," kata Philip memperingatkan. Jack melepaskan bagian yang bisa digeser tadi dan meletakkannya di sisi tombol. Setelah itu dengan hati-hati sekali dicobanya mengorek gulungan kertas itu ke luar. Agak sulit juga, karena jari-jarinya gemetaran. Tepat saat itu terdengar bunyi gong, memanggil penumpang makan. "Aduh, kenapa sekarang?!" keluh Jack. "Kita tidak bisa pergi, karena harus kita ketahui kertas apa yang tergulung itu!" "Awas — kau merusaknya nanti!" kata Philip cemas. "Kita undurkan saja dulu sampai sehabis makan, Jack. Sekarang tidak ada waktu lagi. Dan anak-anak perempuan pasti juga ingin ikut melihat" "Betul juga katamu," kata Jack sambil mendesah. "Kita tunggu saja sampai sehabis makan nanti. Sekarang sebaiknya kita simpan dulu baik-baik!" Kapal-kapalan itu dikunci di dalam lemari. Setelah itu Jack dan Philip pergi ke ruang makan. Perasaan mereka tegang. Saat makan itu Dinah dan Lucy-Ann terheran-heran melihat tingkah laku kedua anak laki-laki itu. Jack berulang kali memandang sambil nyengir-nyengir konyol, sedang Philip mencoba berbisik-bisik — seakan-akan hendak memberitahukan sesuatu. Bu Mannering memandangnya dengan heran. "Mana sopan santunmu, Philip?" tegurnya sambil mengerutkan kening. "Kalau ada yang ingin kaukatakan, berbicaralah secara biasa saja. Jangan berbisik-bisik begitu!" Tapi tentu saja itu tidak dapat dilakukan Philip. "Anu — siapa yang menang main tenis tadi?" tanyanya dengan sikap kikuk. "Soal begitu saja, masa harus kautanyakan sambil berbisik," kecam Bu Mannering. "Jangan macam-macam, Philip!" "Maaf, Bu," kata Philip. Tapi air mukanya sama sekali tidak menampakkan rasa menyesal, tapi malah senang sekali. Hal itu sama sekali tidak bisa dicegahnya. Soalnya, ia teringat terus pada kapal-kapalan kuno serta naskah rahasia yang tersembunyi di dalamnya, ia yakin, isinya pasti salah satu rahasia yang sangat menarik! Sehabis makan, anak-anak bergegas keluar dari ruang makan. Begitu tiba di salah satu sudut yang sepi, Jack langsung menyapa kedua anak perempuan. "He, mau tahu —" "Ada apa sih?" tanya Dinah. "Kalian berdua saat makan tadi seperti orang sinting saja. Ada apa?" "Ssst, jangan keras-keras! Dengar dulu — kalian tahu kan, kapal-kapalan yang ada di dalam botol itu," kata Jack. Tapi Philip cepat-cepat memotong. "Nanti dulu, biar aku yang menceritakannya! Begini ceritanya. Tadi Miki atau Kiki — atau mungkin pula kedua-duanya — menjatuhkan botol itu. Waktu kami masuk, tahu-tahu botol itu sudah pecah di lantai — sedang kapalnya lenyap." "Lenyap? Ke mana?" tanya Lucy-Ann kaget. "Miki membawanya ke bawah tempat tidur. Lalu kami ambil. Kami memeriksanya sebentar, untuk melihat apakah ada yang rusak. Tahu tidak—pada sisinya ada semacam kenop yang bisa dicabut! Dan begitu dicabut, ternyata salah satu bagian dinding kapal terlepas — dan di dalam kami lihat ada gulungan kertas. Nampaknya seperti semacam dokumen rahasia!" "Ah! Masa!" seru Dinah dan Lucy-Ann serempak. "Sungguh! Kita lihat saja sekarang ke bawah, kalau tidak percaya! Tapi jangan bilang siapa- siapa — apalagi Lucian. Ini rahasia kita sendiri." Keempat remaja itu lari menuju kabin Jack dan Philip. Di situ mereka nyaris menubruk pelayan kabin yang sedang membereskan tempat tidur. "Maaf, Pak," kata Jack buru-buru. "Anda sudah selesai, kan?" "Ya, sudah! Kenapa kalian begitu terburu-buru?" kata pelayan pria itu tercengang. Anak-anak tidak menjawab. Pintu kabin cepat-cepat ditutup begitu pelayan tadi keluar, lalu langsung dikunci dari dalam. Pelayan itu menggaruk-garuk kepala, ia semakin heran. Kenapa lagi anak- anak bandel itu? Lampu di dalam kabin dinyalakan. Philip membuka lemari, lalu mengeluarkan kapal-kapalan. Anak-anak yang lain berdesak-desak mengerumuni. "Lihatlah," kata-Philip sambil memperagakan. "Mula-mula tombol ini dicabut begini — lalu bagian sisi ini digeser—nah, begitu—lepas! Nah, sekarang lihat- saja sendiri — lihat tidak itu, gulungan yang terselip di dalam? Aku yakin, itu pasti kertas dokumen!" Dinah dan Lucy-Ann menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan lagi ke luar. "Ghh! Asyiknya," desah Dinah. "Cepat keluarkan!" "Kita harus berhati-hati, jangan sampai robek," kata Jack. ia menoleh ke arah kedua anak perempuan itu. "Kalian mundur sebentar. Aku tidak bisa bekerja dengan leluasa, jika kalian terus mendesak-desak!" Setelah itu Jack dan Philip mulai sibuk bekerja, berusaha mencongkel gulungan kertas itu sedikit demi sedikit ke luar. Akhirnya berhasil! Di dalam tidak ada apa-apa lagi. "Nah — ini dia!" kata Jack puas, sambil menggelar gulungan kertas yang sudah kekuning-kuningan itu di atas meja. Ternyata lumayan juga lebarnya! Anak-anak langsung mengamat- amati dengan bergairah. "Ini peta!" "Semacam denah!" "Tapi tulisannya tidak bisa kubaca. Sialan! Rupanya bahasa Yunani — atau begitu!" "Denah apa ini? Kelihatannya seperti gambar pulau!" "Perhatikan tanda-tanda ini — seperti gambar arah angin! Mungkinkah ini utara, selatan—lalu ini timur dan barat?" "Aku tahu! Ini gambar dua buah peta. Bagian yang ini mestinya gambar pulau, dan ini tentunya laut Sedang yang ini gambar denah — kelihatannya seperti bangunan, dan ini lorong-lorong dan sebagainya." Anak-anak terus saja asyik bercakap-cakap sambil mengerumuni gambar itu. Philip teringat bahwa ia membawa kaca pembesar, lalu pergi mengambilnya. Dengan bantuan alat pelihat itu mereka bisa meneliti dengan lebih seksama, serta melihat beberapa kata asing serta tanda-tanda yang sudah pudar, yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa. "Lihat tulisan aneh ini," kata Lucy-Ann tiba-tiba. Ia menuding ke sudut kiri atas peta. "Tulisan ini kan seperti yang ada di sisi kapal-kapalan! Coba kita bandingkan sebentar!" Anak-anak memperhatikan kedua tulisan itu dan membanding-bandingkan. Ternyata memang serupa! "Nah! Kata Pak Eppy, tulisan di kapal ini bunyinya 'Andra' — dan karena tulisan yang di peta serupa dengannya, maka itu berarti ada hubungannya dengan suatu pulau—atau orang— bernama Andra," kata Dinah. Anak-anak terdiam selama beberapa saat masing-masing sibuk mencernakan makna ucapan itu. Semua berpikiran sama, tapi tidak ada yang berani mengucapkannya keras-keras—karena hal itu tidak mungkin. Tidak, itu mustahil! Akhirnya Lucy-Ann yang paling dulu membuka mulut ia berbicara dengan suara seperti sesak napas. "Andra — itu kan nama putri yang tidak mau dinikahkan dengan anak raja yang bermata satu! Mungkinkah salah satu kapal yang mengangkut harta itu diberi nama begitu, sebagai penghormatan padanya? Sedang usaha pencarian harta yang hilang diberi nama sandi begitu pula — dan karenanya baik kapal maupun peta ini ditulisi kata 'Andra'! Mungkin tidak?" "Mustahil," gumam Jack. "Tidak mungkin kita menemukan peta tua yang hilang — salinan peta yang lebih tua lagi, yang dibuat ratusan tahun yang lalu. Itu mustahil!" "Ah — mungkin ini cuma perbuatan orang iseng saja," kata Philip. Padahal dalam hati ia meyakini kebalikannya. "Tidak — itu tidak mungkin," kata Dinah. "Pak Eppy yang ahli tentang benda-benda kuno mengatakan bahwa ini kapal-kapalan kuno. Ya, kan? ia malah heran, karena katanya kapal ini jauh lebih tua daripada botol yang dijadikan tempat" "Kalian mau tahu pendapatku?" kata Jack lambat-lambat. "Menurutku, ini mungkin peta yang benar itu! Dan kurasa pedagang Yunani yang menyalinnya dari peta yang asli menyembunyikannya di dalam kapal-kapalan ini — yang mungkin dibuat olehnya sendiri." "Ya — lalu setelah ia meninggal, keluarganya menyimpannya terus sebagai kenang-kenangan, tanpa tahu apa yang tersembunyi di dalamnya — lalu kemudian ada seseorang yang beranggapan bahwa kapal ini bagus kalau dijadikan pajangan dalam botol," kata Philip. "Tapi bagaimana cara memasukkannya?" kata Lucy-Ann. "Sebetulnya gampang saja," kata Jack. "Lihatlah! Tiang-tiang kapal ini bersendi, jadi bisa dilipat sampai rata dengan geladak. Ujung-ujungnya diikat dengan tali yang diberkaskan. Lambung kapal dimasukkan lewat mulut botol, lalu tali-tali ditarik, sehingga tiang-tiang menegak dan layar pun mengembang. Setelah semua beres, botol ditutup dengan sumbat." "Wah, hebat!" kata Lucy-Ann. Dipandangnya lagi kapal-kapalan serta peta usang yang terbentang di sampingnya. "Bayangkan, kita ini memandang peta yang mula-mula dibuat seorang laksamana Yunani yang memimpin armada kapal pembawa harta! Dan pada peta ini ditunjukkan tempat harta itu disembunyikan. Kita satu-satunya di dunia yang mengetahui rahasia ini!" Keempat remaja itu terdiam, membayangkan hal yang begitu luar biasa! Mereka berpandang pandangan. Setelah beberapa saat Lucy-Ann berbicara lagi. Nadanya takut-takut "Jack, Philip!" katanya. "Ini kan bukan petualangan baru lagi?" Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. Semua sibuk memikirkan peta aneh itu. Kemudian Jack yang mengucapkan pikiran mereka. "Seperti dikatakan Lucy-Ann tadi — mungkin kita sendiri yang mengetahui adanya rahasia ini — tapi kita tidak tahu apa maknanya! Kita tidak bisa membaca tulisan-tulisan yang tertera pada peta ini. Kita bahkan tidak tahu nama pulau yang tergambar di sini. Huuuh — kesal sekali rasanya!" "Kita harus berusaha mengetahuinya," kata Dinah. "Ya, ya — kita datangi orang Yunani — katakanlah, Pak Eppy — lalu bertanya padanya, 'Pak, tolong bacakan tulisan-tulisan yang tertulis pada peta aneh ini!' Tidak, gagasanmu itu besar risikonya, Dinah! Orang yang mengerti, pasti akan langsung melihat bahwa peta ini berharga — lalu tahu-tahu peta kita lenyap!" "O ya?" kata Lucy-Annn dengan cemas. "Kalau begitu, kita harus berhati-hati dengannya." "Aku tahu apa yang bisa kita lakukan untuk menjamin supaya peta ini tidak dicuri orang," kata Jack. "Kita memotong-motongnya menjadi empat bagian. Kita masing-masing menyimpan sepotong! Jadi kalau salah satu dicuri atau dirampas orang, ia takkan bisa berbuat apa-apa dengan peta yang cuma seperempat!" “Ya — itu ide bagus," kata Philip. "Tapi kenapa kita sampai repot berpikir tentang pencuri dan perampas?" "Kita kan sudah berpengalaman, berdasarkan petualangan yang kita alami selama ini," kata Dinah. "Tapi kurasa kita mulai tahu bagaimana harus bersikap menghadapi orang-orang seperti itu!" "O ya," kata Jack, yang masih memikirkan gagasannya tadi, "jika peta ini kita bagi-bagi menjadi empat potong, kita akan bisa minta tolong pada empat orang yang berlainan untuk membacakan tulisan yang tertera pada bagian kita masing-masing. Orang-orang itu takkan melihat peta seutuhnya. Jadi mereka tetap tidak tahu apa-apa — tapi kita sendiri bisa menggabung-gabungkan keterangan yang kita peroleh, sehingga mendapat gambaran yang lengkap tentang makna peta kita." "Itu gagasan yang sangat cerdik, Jack," kata Philip setelah menimbang-nimbang sesaat "Tapi walau begitu — lebih baik Pak Eppy jangan kita datangi sama sekali." "Kenapa tidak?" kata Jack. "Dari sepotong saja ia takkan bisa menarik kesimpulan apa-apa. Tidak perlu kita katakan padanya bahwa kita memiliki seluruh peta. Kalau kupikir-pikir, tidak ada jeleknya jika kita pertama-tama mendatanginya dulu. ia pasti akan bisa mengatakan apakah peta ini palsu atau tidak! Jika ternyata palsu, kita tidak usah repot-repot lagi mencari tiga orang lain untuk minta dibacakan tulisan yang tertera pada ketiga potongan lainnya." "Mungkinkah ia akan menduga apa yang kita duga saat ini? Maksudku, bahwa peta ini merupakan denah tempat harta Andra disembunyikan," kata Philip yang masih menyangsikan gunanya menghubungi Pak Eppy tentang peta itu. "Kita jangan memberikan potongan yang ada tulisan 'Andra' padanya," kata Jack. "Kita juga jangan mengatakan apa-apa mengenai ketiga potongan lainnya, begitu pula di mana kita menemukan potongan yang kita tunjukkan padanya. Kita katakan saja potongan itu secara kebetulan saja kita temukan di salah satu tempat— tapi tidak tahu lagi di mana! Lucy-Ann sebaiknya jangan mengatakan apa-apa. Ialah yang tahu di mana kapal itu dibelinya, sedang kita tidak! Jadi kita bisa secara jujur mengatakan, 'Tidak, Pak — kami tidak tahu dari mana potongan kertas ini berasal. Tahu-tahu saja muncul' — begitu!" "Mudah-mudahan saja ia mau percaya," kata Dinah. "ia kelihatannya tidak pernah mau percaya kalau Lucian mengatakan apa-apa padanya." "Yah — anak tolol itu," kata Jack. "Lucian sebenarnya lebih baik daripada anggapan kalian," kata Lucy-Ann membela. "Jangan lupa, karena dialah aku bisa membeli kapal-kapalan ini. Tanpa dia, aku takkan tahu di mana ada orang yang memiliki kapal dalam botol." "Nantilah — kalau kita berhasil menemukan harta itu, ia akan kita bagi sedikit," kata Jack bermurah hati. "Wah — kita akan mencari harta itu?" kata Lucy-Ann. "Tapi bagaimana dengan Bibi Allie? Apa yang akan dikatakannya nanti? Apakah Viking Star tidak keberatan jika kita pergi mencari harta karun?" "Aduh, kau ini," tukas Jack. "Bagaimana kita sudah mengatur apa-apa, selama kita belum mengetahui apa yang sebenarnya tertulis di peta ini? Kurasa Bibi Allie pasti akan ikut asyik, apabila mendengar tentang penemuan kita ini!". "Ah, kurasa tidak," kata Lucy-Ann. "Malah sebaliknya, ia akan jengkel sekali. Kita akan langsung diajak pulang! Aku tahu pasti, ia takkan mau mengizinkan kita sibuk kian kemari, mencari pulau dan harta kuno. ia sudah bosan dengan hal-hal begitu." "Kalau begitu jangan kita beri tahu saja dulu, sampai segala-galanya sudah jelas. Dan jika saat itu tiba, akan kita panggil Bill," kata Jack dengan tegas. Lucy-Ann langsung bersemangat kembali, ia bersedia menghadapi apa pun juga, asal Bill Cunningham ada bersama mereka. Keempat remaja itu duduk di tempat tidur. Mereka capek, setelah begitu asyik berunding. Mereka kepanasan. Untung di dalam ada kipas angin yang berputar menghembuskan hawa sejuk ke sekeliling ruangan. Tiba-tiba mereka terlonjak kaget, karena ada bunyi yang jauh lebih nyaring daripada bunyi kipas angin. "Itu Kiki! ia menirukan bunyi peluit kereta api cepat'" kata Jack. "Yuk, kita jemput dia, sebelum nakhoda sendiri datang memeriksa. Aduh — ia berteriak lagi! Rupanya ia sudah bosan, terkurung sendiri di kabin sebelah!" Keempat remaja itu bergegas masuk ke sana, karena ingin membungkam Kiki sebelum ada yang memprotes. Mereka melihat Kiki berdiri di atas meja rias, menghadap cermin, ia berteriak-teriak pada bayangannya sendiri. Burung kakaktua itu sebenarnya sudah sering melihat cermin. Tapi ia kadang-kadang masih suka marah apabila melihat ada kakaktua lain di depannya, yang tidak bisa dipatuk. "Berhenti, Kiki! Burung nakal!" seru Jack dari ambang pintu kabin. "Kuikat paruhmu nanti! Burung jahat, Polly nakal!" "Selamat ulang tahun!" oceh Kiki sambil memandang Philip. Jack sama sekali tidak diacuhkannya Kemudian ia menirukan bunyi sumbat botol ditarik ke luar, disusul bunyi cairan dituangkan. Menggeleguk-geleguk! "Ah, ia haus rupanya," kata Jack. "Maaf, ya — aku lupa bahwa kau pasti kepanasan di sini." Diambilnya gelas kumur lalu diisinya dengan air. Kiki minum dengan cepat Miki datang, lalu ikut minum. "Kita ini keterlaluan — asyik sendiri, sampai melupakan mereka berdua," kata Philip. "Kalau di kabin kita selalu ada air tersedia untuk mereka, tapi di kabin ini tidak! Kasihan Kiki! Miki yang malang!" "Tol-lol," kata Kiki dengan sopan, ia menirukan bunyi orang terceguk. "Maaf! Miki-Kiki, Miki- Kiki, Miki Ki —" "Sudah, sudah!" tukas Jack. "Tidak lucu! Kau ikut saja sekarang, berjalan-jalan di geladak, menghirup udara segar sebentar. Setelah itu tidur!" Anak-anak naik ke geladak bersama Miki dan Kiki. Para penumpang yang berpapasan tersenyum melihat mereka, karena senang pada anak-anak serta kedua binatang peliharaan mereka yang kocak-kocak. Setiap kali berpapasan dengan seseorang, Kiki selalu menirukan bunyi terceguk dan menyusulkannya dengan seruan, Bukan main! Maaf! Burung itu tahu bahwa orang-orang pasti tertawa mendengarnya. Dan Kiki memang suka pamer. Udara malam di luar terasa sejuk. Anak-anak tidak banyak berbicara. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Botol — kapal-kapalan — peta yang akan dijadikan empat potong— mencari keterangan tentang tulisan yang tertera di situ — lalu mencari... harta Andra! Malam itu mereka tidak bisa tidur dengan tenang. Semua merasa kepanasan. Mereka membalik-balik tubuh di tempat tidur. Miki dan Kiki bertengger di ambang tingkap, mencari hawa sejuk. Jendela itu kini selalu dibiarkan terbuka, karena kedua binatang itu tidak pernah menampakkan sikap hendak keluar lewat situ. Lucy-Ann berbaring dengan mata nyalang, ia merasa gelisah. Hatinya bergairah, tapi dicampur perasaan agak cemas, ia mengenal perasaan begitu — yang biasanya muncul setiap ada petualangan baru. ia memanggil-manggil Dinah sambil berbisik-bisik. "Ssst — kau sudah tidur, Dinah? He — mungkinkah kita ini akan memasuki petualangan baru lagi? Bilang tidak, ya!" "Kalau ternyata memang begitu, itu salah siapa?" balas Dinah. ia ternyata belum tidur pula. "Siapa yang membeli kapal-kapalan itu?" "Aku," kata Lucy-Ann. "Ya—jika kita terjerumus lagi ke dalam petualangan, kali ini sebabnya karena aku membeli kapal dalam botol. Ya — kapal petualangan!" Bab 9, RAHASIA KAPAL PETUALANGAN Keesokan harinya Jack dan Philip mulai menyadari kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi, jika mereka hendak menyelidiki makna peta kuno yang mereka temukan. Persoalannya ternyata tidak segampang anggapan mereka malam sebelumnya. Hal-hal yang semula mereka remehkan, seperti kemungkinan Bu Mannering akan berkeberatan, kini nampak merupakan penghalang yang sulit diatasi. Segala gagasan yang sudah disepakatkan tidak lagi terasa sangat baik. Bukan itu saja, tapi malah nampak mustahil. Benar-benar mengecewakan! Tapi ketika peta dikeluarkan lagi, timbul kembali semangat yang malam sebelumnya terasa sangat menggelora. Sebelum tidur, Philip memasukkan peta itu ke dalam sampul lalu diselipkannya di bawah bantal. Dan setelah menghadapinya lagi, anak-anak segera mencapai kata sepakat. Mereka harus berusaha mengetahui apakah peta itu tidak palsu, begitu pula apa makna tulisan-tulisan yang tertera di situ. Setelah itu — segala kemungkinan bisa saja terjadi! Keempat remaja itu mengatur rencana. Pertama-tama, peta harus dipotong menjadi empat bagian. Tiap-tiap potongan ditaruh di dalam sampul kecil, yang kemudian dimasukkan ke dalam sampul yang lebih besar. Masing-masing anak harus menyimpan potongan peta yang merupakan bagiannya baik-baik. Bisa selalu dibawa-bawa, atau ditaruh di tempat aman di dalam kabin. Itu yang pertama-tama harus dilakukan. Kemudian salah seorang dari mereka menunjukkan potongan petanya kepada Pak Eppy, untuk menanyakan pendapatnya. Tapi yang ditunjukkan tentu saja bukan potongan yang ada tulisan nama 'Andra', melainkan yang lain! "Dan Lucy-Ann nanti tidak boleh ikut, saat kita pergi menanyakan," kata Philip menentukan. "Sebab jika Pak Eppy bertanya dari mana kita mendapat peta itu, kita bisa dengan jujur mengatakan tidak tahu! Tapi Lucy-Ann tidak bisa — karena mukanya pasti akan memerah atau begitu, sehingga kita akan langsung ketahuan." "Aku takkan begitu!" kata Lucy-Ann membantah, ia tidak ingin tersingkir dari hal-hal yang mungkin akan menarik. "Ah, pasti! Kau terlalu jujur," kata Philip. "Jangan memandang begitu dong, Lucy-Ann — itu kan malah sifat yang sangat baik — dan kami tidak ingin kau berubah sedikit pun. Cuma urusan sekarang ini penting sekali artinya bagi kita. Aku khawatir segala-galanya akan kacau, jika kau ikut datang." "Baiklah kalau begitu," kata Lucy-Ann sambil mendesah. "Mungkin kau benar. Aku ingin Pak Eppy itu sekali-sekali mau melepaskan kaca mata gelapnya! Aku tidak bisa tahu pasti bagaimana orangnya, jika tidak bisa melihat matanya." "Kurasa orangnya baik, cuma agak cepat marah," kata Jack. "ia bersikap baik terhadap istrinya, sedang pada Bibi Allie selalu sopan sekali. Kalau pada Lucian memang galak — tapi jika si Kelinci malang itu keponakan kita, kurasa kita pun akan bersikap begitu pula." "Sekarang pun kita sudah begitu," kata Lucy-Ann. "Misalnya, kita selalu mendesak-desaknya agar mau berenang di kolam kapal. Padahal kita tahu, ia takut air." "Itu kan cuma untuk melihat alasan apa lagi yang akan diajukannya," kata Jack. "Anak itu pintar sekali mencari-cari alasan." "Yah, kembali pada peta ini — kapan enaknya kita membawanya pada Pak Eppy?" tanya Philip. "Lalu kalau ia kemudian mengatakan bahwa peta ini asli, kemudian bagaimana selanjutnya? Adakah orang lain di kapal ini yang bisa kita tanyakan tentang potongan peta yang berikut?" "Ada — pelayan geladak, ia orang Yunani," kata Dinah. "Kurasa ia pasti bisa membaca tulisan-tulisan itu. Lalu masih ada pula wanita Yunani penjaga toko di geladak tempat berjalan-jalan. Mestinya ia pun bisa membantu kita!" "Nah, kita sudah agak maju sekarang," kata Philip senang. "Bagaimana kalau kita sekarang mulai saja memotong peta kita menjadi empat bagian?" "Aku punya gunting yang tajam sekali," kata Lucy-Ann. "Sebentar, kuambilkan dulu ke sebelah — sambil melihat apa yang sedang dilakukan Miki dan Kiki di sana. Pasti iseng lagi!" "Tapi jangan bawa kemari selama kita sibuk dengan peta," kata Jack. "Aku khawatir, jangan-jangan Miki nanti menyambar lalu membuangnya ke luar lewat lubang tingkapan. Kemarin ia sudah berbuat begitu. Kartu pos yang baru selesai kutulis, dibuangnya dengan begitu saja ke air!" "Uhh, amit-amit," kata Dinah, sambil membayangkan peta mereka yang berharga itu melayang terbang, ia bergegas menutup Ungkapan. "Untuk berjaga-jaga," katanya. Jack dan Philip tertawa. Agak lama juga Lucy-Ann pergi. Anak-anak yang lain sudah tidak sabar lagi menunggu. "Apa sih, yang dilakukannya di sana. Lama sekali!" Ketika Lucy-Ann kembali, ia membawa Kiki. "Terpaksa," katanya, " ia tadi memojokkan Miki di sudut kabin sambil menandak-nandak. Seperti biasa, kalau Kiki sedang marah, ia juga menggeram-geram, menirukan suara anjing galak. Kasihan Miki, ia meringkuk ketakutan. Karena itu agak lama tadi, karena harus membujuk-bujuknya sebentar." "Maksudmu, kau tadi bermain-main dulu dengan mereka berdua," kata Jack menggerutu. "Kami yang sudah tidak sabar lagi menunggu di sini! Mana guntingnya?" "Sialan — sampai lupa," kata Lucy-Ann. Ia bergegas ke sebelah lagi dengan muka bersemu merah. Tapi kali ini ia kembali dengan segera, membawa gunting. Kiki sementara itu sudah bertengger dengan puas di bahu Jack. Ia bernyanyi-nyanyi pelan. Sikapnya tenang sekali. Burung kakaktua itu tahu bahwa ia tadi nakal. Jack mengambil gunting dari tangan Lucy-Ann. Dengan hati-hati diguntingnya peta menjadi dua bagian yang sama besar. Anak-anak memperhatikan dengan napas tertahan. Kertas usang itu berkeretak kena gunting. Potongan yang sudah separuh digunting lagi menjadi dua bagian. Peta yang semula utuh kini sudah menjadi empat bagian, terletak di bufet kabin. Empat bagian dari suatu dokumen yang menarik — jika dugaan anak-anak ternyata memang benar! "Sekarang kita masukkan ke dalam empat sampul kecil, yang kemudian masuk lagi ke sampul yang lebih besar," kata Dinah. Ia mencari-cari sebentar di dalam map kertas tulis Jack dan Philip, lalu mengeluarkan empat sampul kecil. Masing-masing potongan peta dimasukkan ke dalam sebuah sampul. Setelah itu diambil lagi empat sampul yang lebih besar, dan empat sampul kecil tadi dimasukkannya ke dalamnya. Beres! Langkah pertama sudah dilakukan. "Nanti kalau maknanya sudah kita ketahui semuanya, potongan-potongan ini bisa kita sambungkan lagi dengan lem," kata Philip. "Sekarang — kapan enaknya kita mendatangi Pak Eppy? Dan dengan cara bagaimana kita membuka percakapan?" "Kalau waktunya, kurasa sekarang pun bisa," kata Jack. "Biasanya ia ada di kursi geladaknya yang biasa — dan mungkin tidak sedang tidur, karena baru saja sarapan pagi!" "Eh — bagaimana, perlukah kita bercerita pada Lucian tentang urusan ini?" tanya Lucy-Ann. "Kau ini bagaimana sih? Tentu saja tidak!" tukas Jack. "Lucian sama sekali tidak bisa diandalkan. Dibentak pamannya sedikit saja, ia pasti akan membeberkan segala-gala yang diketahuinya — ditambah dengan banyak lagi yang merupakan khayalannya sendiri!" Akhirnya diambil keputusan bahwa potongan peta yang dipegang Jack-lah yang akan ditunjukkan pada Pak Eppy. Nama 'Andra' tidak tertera di situ. Begitu pula nama pulau yang tergambar. Ini menurut dugaan anak-anak. Soalnya karena pada salah satu bagian gambar pulau tertera sejumlah hiroglif. "Hiro — hiro — apa itu, Jack?" tanya Lucy-Ann, ketika abangnya menyebut kata itu. "Kedengarannya seperti nama obat!" "Hiroglif? Ini — tanda-tanda aneh ini, yang tidak kita ketahui maknanya," kata Jack. "Tanda- tanda yang melambangkan kata-kata. Mungkin juga lambang-lambang rahasia." "Lambang rahasia? Wah — asyik!" kata Lucy-Ann. "Di mana ya enaknya, aku menyimpan bagianku?" "Yang jelas tidak di dalam map kertas surat atau. tempat lain yang sama menyoloknya, Lucy- Ann," kata Philip. "Kalau aku, aku sudah tahu di mana akan kusembunyikan sampul bagianku." "Di mana?" tanya anak-anak yang lain. Mereka memperhatikan dengan penuh minat, sementara Philip pergi ke bufetnya. Bufet itu disekrupkan ke dinding. Semua perabot yang ada di dalam kabin disekrupkan ke dinding atau lantai, supaya jangan tergelincir saat kapal sedang oleng. Antara dinding dan bufet itu ada celah sempit. Philip membungkuk, lalu menyelipkan sampulnya ke dalam celah itu. "Beres!" katanya dengan puas. "Celah itu takkan pernah dibersihkan, karena terlalu sempit. Sampulmu akan kausimpan di mana, Jack?" "Akan kubawa-bawa terus," kata Jack. "Celana pendekku dilapisi kain tipis. Aku akan meminta tolong pada Lucy-Ann untuk membedah jahitan sebelah atasnya sedikit, supaya sampulku bisa kuselipkan ke situ. Kalau sudah ada di dalam, akan kupenitikan Tapi sekarang belum, karena masih harus kutunjukkan dulu pada Pak Eppy." Tempat penyembunyian yang dipilih Dinah benar-benar hebat. Anak-anak diajaknya ke kabinnya. Di belakang kipas angin ada papan tempat alat itu terpasang. Dinah menyelipkan sampulnya ke celah yang ada antara papan dengan dinding kabin. Sebelumnya, ia tentu saja harus mematikan kipas angin dulu. Setelah sampul masuk, dihidupkan kembali. Anak-anak sependapat bahwa tempat penyembunyian itu benar-benar sempurna. Takkan ada yang akan mencari sesuatu di belakang kipas angin yang berputar terus siang-malam! "Bagus!" kata Jack. "Kau memilih tempat mana, Lucy-Ann?" "Cari tempat yang tidak bisa dicapai oleh Miki," kata Philip memperingatkan. "Awas, ia memperhatikan! ia tidak bisa mengambil sampul yang disimpan Dinah, karena takut kena kipas angin, ia takkan berani merogoh-rogoh ke belakang situ!" "Bagaimana kalau kuselipkan di bawah karpet?" kata Lucy-Ann. “Wah, jangan!" kata Jack. "Nanti terasa oleh pelayan kabin saat membersihkan, lalu diambil." "Nanti dulu — kurasa aku tahu tempat yang baik! Bagaimana kalau di belakang laci?" kata Lucy-Ann. Ditariknya salah satu laci bufetnya, lalu diletakkan di lantai, ia mengambil sebuah paku payung dari kotak penanya. Dengan paku itu ditempelkannya sampul yang harus disimpannya ke punggung laci tadi. "Nah, sekarang takkan mungkin ada orang bisa melihatnya, kecuali jika laci ini ditarik ke luar sama sekali," katanya. "Dan untuk apa orang melakukannya?" “Ya, tempat itu cukup baik," kata Jack. Dinah dan Philip juga setuju. "Miki takkan bisa menariknya, karena tidak cukup kuat! Sekarang bagaimana jika kita mendatangi Pak Eppy?" "Setuju! Lucy-Ann, kau kini pergi ke tempat bermain tenis! Ajak Lucian ke sana, sementara kami berbicara dengan pamannya," kata Philip. "Dengan begitu kalian berdua tidak mengganggu!" Lucy-Ann mendatangi Lucian. Anak itu sedang melamun seorang diri ia senang sekali ketika Lucy-Ann datang mengajaknya main tenis, ia langsung setuju. Lucian paling menyukai Lucy-Ann di antara keempat kawan barunya itu. Mungkin karena ia merasa bahwa anak itu tidak begitu suka mempermainkan dirinya, seperti ketiga anak lainnya. "Nah—sekarang mereka tidak bisa merepotkan kita lagi," kata Jack sambil memperhatikan kedua anak itu menaiki tangga, menuju ke geladak tempat berolahraga. "Yuk, sekarang kita ke geladak tempat duduk-duduk. Ayo, Kiki — kau mau bertengger di bahu sebelah mana sih? Kalau bolak-balik begitu, merepotkan aku saja!" "Coba kau yang menggendong Miki selama satu-dua jam," keluh Philip. "Leherku sudah kepanasan, karena ia menempel terus!" Para penumpang lainnya memandang ketiga anak itu lewat dengan kakaktua serta monyet kecil mereka. Orang-orang itu sudah terbiasa sekarang, dan geli melihat tingkah laku kedua binatang peliharaan yang kocak itu. "Aku sudah heran saja, kenapa kalian lama sekali tidak kelihatan," kata Bu Mannering, ketika anak-anak datang menghampiri. "Mana Lucy-Ann?" "Sedang bermain-main dengan Lucian," kata Jack, lalu duduk di tepi kursi Bu Mannering. Bu Eppy dan suaminya menempati kursi-kursi sebelah sana. "Aku punya barang aneh," kata Jack dengan suara lantang. "Menurutku, ini pasti dokumen yang sudah tua sekali. Menurut Bibi, mungkinkah Pak Eppy bersedia menilainya untukku?" "Kenapa tidak kautanyakan saja sendiri? kata Bu Mannering. " ia kan ada di sini." Bab 10, PAK EPPY BERSIKAP ANEH Philip dan Dinah duduk satu kursi, di sebelah tempat Bu Mannering, sementara Jack bertengger di ujung kursinya, ia memegang potongan petanya. Ketiga remaja itu bersikap polos, seakan-akan tidak ada apa-apa. "Aku tidak mau mengganggu Pak Eppy sekarang, karena kelihatannya sedang asyik membaca," kata Jack. Bu Eppy mendengar ucapannya itu, lalu menepuk lengan suaminya. "Paul," katanya, "Ini —Jack ingin menanyakan sesuatu padamu." Sebenarnya Pak Eppy juga sudah tahu, tapi pura-pura tidak mendengar. "Boleh saja," jawabnya sambil menoleh dengan sikap enggan. "Ada apa?" "Bukan apa-apa — kami cuma menemukan secarik kertas kuno," kata Philip menyela. "Kemungkinannya sama sekali tidak berarti. Kami tidak memahami tulisan yang tertera." "Dan mungkin juga bukan kertas kuno," kata Jack sambil menjentik-jentikkan potongan petanya dengan ibu jari. "Kalau kelihatannya, memang kuno," kata Bu Mannering. ia mulai tertarik. "Di mana kalian menemukannya?" "Wah — sudah lupa! Di salah satu pulau yang pernah kita singgahi," kata Jack. "Kau tahu di mana tepatnya, Dinah?" "Tidak," jawab Dinah dengan jujur. "Aku tidak tahu." "Aku juga tidak," kata Philip. "Mana — coba kulihat sebentar," kata Pak Eppy dengan sikap enggan. Istrinya menyodorkan potongan peta itu padanya. Pak Eppy menerimanya lalu memperhatikan secara sambil lalu. Maksudnya akan langsung dikembalikan lagi, dengan iringan komentar meremehkan. Anak- anak ini tahu apa, tentang benda-benda kuno? Tidak tahu apa-apa! Mungkin yang hendak mereka tunjukkan itu sepotong surat yang diterbangkan angin ke jalan, lalu dipungut anak-anak. Atau bisa juga kertas itu bekas pembungkus sesuatu yang mereka beli. Pak Eppy memandang kertas yang ada di tangannya. Mulutnya sudah terbuka, hendak mengatakan sesuatu yang bernada meremehkan. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa, walau mulutnya tetap ternganga. Matanya terus menatap kertas usang yang dipegang. Akhirnya Pak Eppy membuka kaca mata gelapnya, supaya bisa melihat lebih jelas. "Eh — memang benar-benar kuno, Pak?" Akhirnya Jack bertanya, karena tidak sabar lagi menunggu lebih lama. Pak Eppy tidak menjawab, ia merogoh kantungnya. Diambilnya sebuah kotak kecil berwarna hitam, lalu dibukanya. Di dalam kotak itu ada semacam kaca pembesar, seperti yang biasa dipakai tukang jam saat sedang membetulkan arloji. Pak Eppy menjepitkan alat pembesar itu ke cekungan matanya, lalu menunduk lagi. Ditelitinya potongan kertas kuno itu. Lama sekali ia meneliti, sementara anak-anak menunggu terus dengan tegang. Kenapa Pak Eppy begitu lama tidak menjawab? Akhirnya orang itu melepaskan kaca pembesar-nya, lalu menoleh ke arah anak-anak. Mereka kaget, karena baru saat itu melihatnya tanpa kaca mata gelap. Matanya aneh — tidak enak dilihat. Satunya biru, tapi yang satunya lagi coklat tua. Bulu tengkuk Dinah meremang. Mau tidak mau ditatapnya terus orang itu, memperhatikan kedua bola matanya secara ganti- berganti. Mula-mula yang biru tua. Lalu yang coklat tua. Jangan-jangan salah satu mata itu palsu! Ah — mana mungkin — kalau Pak Eppy memakai mata palsu, tentunya ia memilih warna yang sama dengan yang asli! "Yah —" kata Pak Eppy. ia berhenti sejenak, seakan-akan agak sulit menemukan kata yang cocok, ia meneruskan, "Yah — memang menarik. Eh..." "Betul-betul kuno atau tidak, Pak?" desak Jack. "Itulah yang ingin kami ketahui." "Kertas dokumen ini tidak lengkap," kata Pak Eppy. ia memandang anak-anak silih berganti. "Ini cuma sepotong! Dan kalau dilihat dari tepi-tepinya, potongan ini kelihatannya baru-baru ini saja digunting. Aneh!" Anak-anak sama sekali tidak menduga bahwa Pak Eppy akan berkata begitu. Jack menjawab dengan segera, karena merasa bahwa jika tidak begitu. Pak Eppy pasti akan tambah curiga. "Wah — aneh sekali! Rupanya kami cuma menemukan potongan saja ya, Pak? Yah — siapa ya, yang memegang sisanya?" “Ya, kemungkinannya siapa?" kata Pak Eppy. ia menatap Jack sambil menimang-nimang kaca pembesarnya di ujung jari. "Aku kepingin sekali mengetahuinya." "Kenapa begitu, Pak?" tanya Philip dengan air muka seperti tidak tahu apa-apa. Dinah sampai kagum melihat sikap abangnya yang pandai berpura-pura. "Dari potongan ini saja, tidak banyak kesimpulan yang bisa kuambil," kata Pak Eppy. "Kalau selebihnya juga ada, itu lain soal!" "Kalau dari yang ini saja, kesimpulan apa yang dapat Anda katakan?" tanya Dinah. Pak Eppy memandang anak itu dengan matanya yang aneh. "Sejauh yang bisa kulihat, ini merupakan bagian dari denah sebuah pulau," katanya. "Pulau yang menarik — dengan suatu rahasia di situ. Jika sisa lembaran dokumen ini juga bisa kulihat, mungkin bisa kukatakan rahasia apa itu." "Sayang tidak ada ya, Pak," kata Jack. ia mengulurkan tangannya, hendak mengambil potongan petanya kembali. "Di mana katamu tadi, kalian menemukan ini?" Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dilontarkan Pak Eppy, sehingga anak-anak kaget dibuatnya. "Kami tidak mengatakannya sama sekali, Pak— karena kami tidak tahu," jawab Jack dengan cepat. Kening Pak Eppy berkerut, lalu memasang kaca mata gelapnya lagi. Kini wajahnya kembali seperti biasa, menjadi Pak Eppy yang sulit ditebak wataknya. Matanya yang aneh tidak kelihatan lagi. "Kusimpan saja dulu dokumen ini untuk sementara," kata orang itu sambil mengeluarkan dompetnya. "Wah — jangan, Pak," kata Jack. "Saya ingin membawanya pulang! Anu — untuk museum sekolah kami, jika ternyata memang benar merupakan naskah kuno." "Ya, ini memang kuno," kata Pak Eppy dengan suara datar. "Aku mau membelinya! Kalian tahu kan, aku tertarik pada barang-barang kuno." "Tapi kami tidak bermaksud menjualnya, Pak Eppy!" kata Jack. Ia mulai cemas. "Lagi pula, rasanya takkan ada harganya sama sekali. Kami ingin menyimpannya sebagai kenang- kenangan saja." "Baiklah kalau begitu — tapi aku ingin meminjamnya selama beberapa waktu," kata Pak Eppy. Dengan tenang diselipkannya potongan peta itu ke dalam dompetnya yang kemudian dimasukkan ke dalam kantungnya. Setelah itu ia mulai membaca bukunya lagi. Jack menatap anak-anak yang lain dengan kecut ia merasa marah bercampur kecewa. Tapi apalah yang bisa dilakukannya saat itu! Kan tidak bisa ia merampas dompet Pak Eppy, lalu i mengambil potongan peta tadi. Lagi pula jika ia ribut-ribut Bu Mannering pasti akan marah. Sedang Pak Eppy akan curiga — jika perasaan itu belum timbul saat itu! Philip dan Dinah terpana. Seenaknya saja orang itu, merampas milik orang lain! Akan dikembalikannya lagi atau tidak nanti? Anak-anak menyesal, kenapa tadi tidak lebih dulu menyalin dokumen itu? Sekarang mereka mungkin tidak akan memperoleh kembali potongan peta yang sebetulnya hendak dijaga baik-baik! Anak-anak meninggalkan tempat itu, karena hendak berembuk. Pak Eppy sama sekali tidak mengacuhkan kepergian mereka. Jack memandang paman Lucian itu dengan mata mendelik karena marah. Tapi ia tidak berani mengatakan apa-apa. Anak-anak kembali ke kabin. "Orang jahat!" kata Jack dengan ketus. "Perengut! Seenaknya saja dia mengantungi barang orang!" "Moga-moga saja kita bisa memperolehnya kembali," kata Dinah dengan lesu. “Tapi satu hal sudah kita ketahui sekarang, yaitu bahwa peta itu kuno — dan asli — serta mengandung sesuatu yang menarik perhatian Pak Eppy," kata Philip, ia merasa agak gembira lagi. "Itu kini kita ketahui dengan pasti. Pak Eppy tadi kaget sekali begitu melihat potongan peta itu. Bahkan sampai mengambil kaca pembesar untuk meneliti. Kurasa ia tahu bahwa itu mungkin bagian dari suatu peta tempat harta karun." "Kalau kupikir-pikir sekarang, kita sebenarnya salah, menunjukkannya pada Pak Eppy," kata Dinah. "Mungkin saja di situ ada tanda-tanda yang banyak memberi keterangan pada orang seperti dia — yang banyak pengetahuannya tentang benda-benda kuno." "Mudah-mudahan ia tidak tahu bahwa sisa peta ada pada kita," kata Jack. "Kurasa itu sudah diduga olehnya," kata Philip. Saat itu Lucy-Ann masuk ke dalam. "Nah, bagaimana hasilnya?" kata anak itu bersemangat. "Kami terpaksa berhenti bermain, karena Lucian dipanggil pamannya yang dengan tiba-tiba muncul, lalu diajak pergi." "O ya?" kata Jack. "Kalau begitu ia pasti akan ditanyai, apa saja yang diketahuinya tentang soal ini. Untung saja ia tidak tahu apa-apa!" "Apa sih, yang terjadi tadi?" tanya Lucy-Ann. "Tampang kalian begitu kuyu kelihatannya. Apakah peta kita ternyata sama sekali tidak kuno?” "Kuno sih kuno—tapi kemudian dikantungi Pak Eppy," kata Jack. "Aku berani bertaruh, ia pasti takkan mengembalikannya lagi!" Lucy-Ann kaget sekali mendengar kabar itu. "Kenapa kau biarkan saja, Tolol?!" "Lalu — apa yang harus kulakukan? Menerjang Pak Eppy untuk merampas lalu membawa lari dompetnya — begitu, ya?" tukas Jack. Ia menirukan gerak menubruk sambil merenggut sesuatu. Kiki kaget, lalu menghambur ke udara sambil berkuak-kuak ketakutan. Tapi Jack tidak mempedulikannya. Anak-anak itu menyesal sekali tampaknya — setelah begitu rapi mengatur rencana! "Yah—sekarang kita hanya bisa berharap saja," kata Philip. "Dan kalau potongan peta kita itu dikembalikan nanti — itu berarti Pak Eppy sudah menyalinnya dengan rapi." "Kita harus menyelidiki, apa saja katanya pada Lucian," kata Jack. "Mungkin anak itu disuruhnya memancing-mancing keterangan dari kita tentang sisa peta — apakah ada pada kita, dari mana kita memperolehnya, begitu pula kapan!" "Kalau begitu kita karang saja cerita yang asyik," kata Dinah. Matanya bersinar bandel. "Yuk — kita mulai saja! Jika Pak Eppy hendak main siasat, kita juga bisa! Nah — apa yang akan kita katakan pada Lucian, jika ia nanti memancing-mancing?" "Kita kan sudah mengatakan tidak tahu apa-apa! Jadi sebaiknya kita berpura-pura, seolah-olah Lucy-Ann yang tahu segala-galanya," kata Jack. Air mukanya sudah cerah lagi, sementara ia memikirkan gagasan untuk memperdayai Lucian — dan mungkin sekaligus juga Pak Eppy. "Aduh," kata Lucy-Ann cemas, "mestikah aku bercerita macam-macam pada Lucian?" "Tidak, kami yang akan melakukannya," kata Jack sambil nyengir. "Sekarang kita mengatur cerita saja dulu! Apa kata kita nanti, tentang bagaimana naskah kuno itu bisa ada di tangan Lucy-Ann?" "Begini," kata Dinah memulai, "Lucy-Ann saat itu sedang berada di geladak tempat berolah raga, asyik memberi makan pada kawanan burung camar yang banyak di sekitar pulau-pulau sini." "Ya, lalu seekor camar besar datang, ia menggondol sesuatu," sambung Philip. "Burung itu terbang mengitari kepala Lucy-Ann, lalu..." "Lalu menjatuhkan barang yang digondolnya itu, ketika menyambar sepotong roti yang dilemparkan. Barang itu jatuh ke geladak, dekat kaki Lucy-Ann. Setelah diamat-amati, ternyata secarik kertas. Lucy-Ann memungutnya, lalu menunjukkannya pada kita," kata Jack meneruskan karangan mereka. "Kita langsung teringat pada Pak Eppy! Cuma orang sepintar dia yang bisa mengetahui apa dokumen aneh yang digondol burung camar itu...." "Dan sebab itulah kita menunjukkan padanya," kata Dinah mengakhiri cerita, ia tercekikik geli. "Konyol sekali! Lucian takkan mau percaya!" "Kalau dia, kurasa percaya — tapi pamannya, tidak!" kata Philip sambil nyengir. "Tapi biar saja! Dikiranya Lucian akan bisa memancing rahasia kita — tidak tahunya semua cuma omong kosong belaka!" "Tapi jangan suruh aku yang bercerita," kata Lucy-Ann, "nanti mukaku merah padam terus!" "Eh — itu kan suara Lucian? ia kemari!" kata Jack. "Kau keluar saja sekarang, Lucy-Ann! Nih, bawa buku ini! Katakan, kau disuruh Bibi Allie mengambilkan. Sana, cepat! Itu jelas Lucian— aku kenal sekali caranya bernyanyi-nyanyi konyol seperti itu!" Lucy-Ann cepat-cepat mengambil buku yang disodorkan, lalu bergegas hendak keluar. Pintu kabin terbuka saat ia sampai di situ. Lucian menjengukkan kepalanya ke dalam. "Halo, halo!" sapanya. "Bolehkah aku masuk?" "Tentu saja," jawab Lucy-Ann sambil menyelip ke luar. "Aku hendak mengantarkan buku ini dulu, untuk Bibi Allie. Tapi anak-anak ada di dalam!" Bab 11, LUCIAN MENGALAMI MUSIBAH "Hai, Lucian! Ayo, masuklah," sapa Jack. "Kau mau kue kering?" "Wah, terima kasih!" kata Lucian sambil duduk di tempat tidur. Diambilnya sepotong kue kacang dari kaleng yang disodorkan Jack padanya. "Ini enak!" "Kita bermain tenis yuk?" kata Philip mengajak. "Eh — anu — aku sebetulnya cuma senang main kalau dengan Lucy-Ann," jawab Lucian. Permainannya begitu payah, sehingga bahkan Lucy-Ann saja pun bisa menang dengan gampang. "Kalau lawan kalian, tidak seimbang! Bukan main — pamanku tadi berbicara tentang peta yang kalian tunjukkan padanya." "O ya? Lalu, apa katanya?" kata Jack. "Katanya, dokumen itu kelihatannya asli — tapi ia tidak bisa memastikan tanpa melihat bagian selebihnya," kata Lucian sambil mengunyah-ngunyah. "Wah — coba lihat monyet itu! Bukan main — ia mengambil kue kacang yang besar sekali!" "Ya, hampir sebesar yang kauambil!" kata Dinah yang sempat memperhatikan bahwa Lucian selalu memilih kue yang paling besar. "Bukan main — betul, ya?" kata Lucian. "Aku harus tahu diri sedikit, ah! Bukan main. Ngomong-ngomong, kalian tidak pernah bercerita apa-apa tentang temuan kalian. Kenapa tidak? Aku kan juga kepingin melihatnya." "Ya — kertas yang begitu sepele," kata Philip pura-pura tidak peduli. "Maksudku — kami tidak mengira bahwa kau juga berminat terhadap hal-hal seperti itu." "Siapa bilang tidak? Aku berminat pada apa saja!" kata Lucian sambil menggigit kuenya. Miki juga sibuk mengunyah-ngunyah. Kiki memperhatikan monyet itu dengan sebal, ia sendiri tidak suka kue kacang. Tapi ia tidak senang melihat Miki begitu nikmat makannya. Lucian berbicara lagi. "Kalian cerita dong — di mana kalian menemukan kertas kuno itu, dan sebagainya." "Pamanmu tidak mengatakan, di mana kami menemukannya?" kata Dinah secara sambil lalu. Lucian menoleh ke arahnya dengan sikap heran. "Tidak,” katanya. "Jadi kalian sudah mengatakan padanya? Kalau begitu kenapa aku disuruhnya menyelidiki?" Sekarang ia sudah ketahuan! Anak-anak saling berpandangan sambil mengedipkan mata. "Ah, mungkin juga tidak kami katakan," kata Jack dengan tampang bersungguh-sungguh. "Kita ceritakan atau tidak, ya?" "Tidak ya, tidak ya," oceh Kiki mencari perhatian. Tapi tidak ada yang mengacuhkan dirinya. "Tidak enak rasanya, jika Lucian yang baik ini tidak diberi tahu," kata Dinah dengan suara ramah. Wajah Lucian langsung berseri-seri. "Ya, memang — dia kan kawan kita," kata Philip. Lucian tersedak, ia terharu mendengar kata-kata Philip. Kiki ikut-ikut tersedak. Burung iseng itu paling pintar menirukan bunyi-bunyi seperti itu. Jack memukul-mukul punggung Lucian. Melihat itu, Miki langsung menirukan. Ditepuk-tepuknya punggung Kiki. Anak-anak tertawa geli. Tapi Kiki marah, ia mengejar-ngejar Miki. Tentu saja monyet kecil itu ribut, karena takut dipatuk, ia meloncat kian kemari, berusaha melindungi diri. "Aduh," kata Dinah sambil mengusap air matanya. "Bisa mati aku tertawa melihat kelakuan kedua binatang ini! Eh — kita tadi sedang bicara tentang apa?" "Kalian mengatakan bahwa aku kawan kalian, dan karenanya sepantasnya diceritakan tentang dokumen yang kalian temukan," kata Lucian dengan cepat. "Eh—aku boleh minta satu lagi, ya? Terima kasih!" ia meraih kue kacang, tapi sekali ini bukan yang paling besar. "Ya, betul," kata Jack. "Kita tadi mengatakan, tidak enak jika Lucian tidak diceritakan. Nah — yang mengalami sebetulnya Lucy-Ann. Bagaimana ya, kejadiannya...." "ia sedang berdiri di geladak, memberi makan pada burung-burung camar yang datang dari pulau-pulau," kata Jack. Lucian mengangguk, ia sering melihat Lucy-Ann melakukannya. "Nah — tiba-tiba datang seekor burung camar yang besar sekali, menggondol sesuatu," kata Philip meneruskan cerita. "Betul begitu kan, Jack?" "Ya, betul," kata Jack dengan tampang disetel serius. "Eh, tahu-tahu — ketika burung besar itu hinggap di geladak untuk memungut roti, barang yang dibawanya tadi jatuh," kata Dinah menyambung. "Jatuhnya dekat sekali ke kaki Lucy- Ann! Barang itu ternyata dokumen kuno! Bayangkan, Lucian! Kan betul begitu, Jack?" "Tepat sekali," ujar Jack dengan suara yakin. Lucian melongo. "Bukan main!" katanya tercengang. "Luar biasa! Maksudku — siapa yang akan mengira?" Anak-anak diam saja, karena mereka bukan saja bisa mengira, tapi bahkan tahu pasti bahwa itu akan terjadi! Soalnya, mereka sendiri yang mengarang kejadian itu! Dinah cepat-cepat membuang muka, karena takut kalau nanti cekikikan jika lama-lama melihat tampang Lucian. Anak itu nampak sangat terkesan. Giginya yang seperti kelinci nampak jelas tersembul ke depan. "Ck-ck-ck — seperti dongeng saja," katanya sambil menggeleng-geleng kagum. "Bayangkan, burung camar itu menjatuhkan naskah kuno di dekat, kaki Lucy-Ann!" Anak-anak sependapat. Kedengarannya memang seperti dongeng. Karena memang dongeng karangan mereka! "Luar biasa," kata Lucian sambil berdiri. Ditelannya sisa kue yang sudah dikunyah. "Nah — aku harus pergi sekarang. Terima kasih, bahwa kalian mau menceritakannya! Eh, ngomong- ngomong — apa yang terjadi dengan botol tempat kapal-kapalan? Kulihat tinggal kapalnya saja!" "Ya, botolnya dipecahkan Kiki dan Miki," kata Jack. "Habis, selalu iseng sih! Tapi tanpa botol pun tidak apa, karena kapal-kapalan ini saja sudah cukup bagus!" Ketika Lucian sudah pergi, anak-anak saling berpandang-pandangan sambil tertawa nyengir. Aduh — gampangnya anak itu dipermainkan! "Bisa kubayangkan ia mengoceh pada pamannya yang tidak mau percaya," kata Jack. "Yuk kita keluar. Panas sekali rasanya di sini. Kita menyusul Lucy-Ann, lalu bermain-main di geladak. Tapi yang tenang saja. Kalau main tenis, terlalu panas!" Siangnya mereka pergi ke ruang makan. Mereka sudah lapar sekali, karena sepagi asyik bermain di geladak atas. Mereka heran, karena Lucian ternyata tidak muncul. Jangan-jangan sakit, kata mereka dalam hati. Bu Mannering bertanya pada bibi Lucian tentang dia. "ia berbaring di kabinnya," jawab Bu Eppy. "Tidak — bukan karena sakit! Mungkin tersengat cahaya matahari!" "Yuk, kita menyenguknya sebentar," kata Jack sehabis makan. "Aneh—selama ini ia tidak pernah apa-apa kalau agak lama kena sinar matahari!" Anak-anak pergi ke kabin Lucian, lalu mengetuk pintu dengan pelan. Mereka tidak mendengar jawaban. Jack membuka pintu lalu masuk. Lucian berbaring di tempat tidur. Mukanya dibenamkan ke bantal. "Kau tidur, Lucian?" kata Jack dengan suara lirih. Tiba-tiba Lucian berpaling. "Ah, kau rupanya!" kata anak itu. Jack melihat bahwa Lucian habis menangis. Mukanya bengap. "Kau kenapa?" tanya Jack. "Eh, anak-anak yang lain boleh masuk tidak? Mereka ada di luar." "Silakan, kalau mau," kata Lucian. ia sebenarnya tidak ingin didatangi orang. Tapi tidak enak kalau harus mengatakannya terus terang. Dengan segera keempat remaja temannya sudah masuk ke dalam kabin. Lucy-Ann merasa kasihan melihat muka Lucian yang bengap. "Parah juga kau tersengat matahari," katanya. "Bukan tersengat matahari," kata Lucian. Anak-anak kaget sekali ketika melihat matanya mulai basah lagi. "Ini perbuatan pamanku. Orang jahat!" ia membenamkan mukanya ke bantal lagi, untuk menyembunyikan air mata yang mengalir. "Kenapa dia?" tanya Jack ketus, ia tidak suka melihat anak-anak laki sebesar Lucian masih menangis. "Aku dikata-katainya," kata Lucian. ia duduk lagi. "Aku dikatakannya tolol — goblok —" "Blok!" kata Kiki menirukan. "Tol-lol!" "Kau jangan ikut-ikut," kata Lucian pada burung kakaktua itu. "Katanya aku ini dasarnya memang dungu, konyol —" "Kenapa dia begitu?" tanya Lucy-Ann heran. "Aku bercerita padanya, bagaimana Lucy-Ann memperoleh peta konyol itu," kata Lucian. "Itu — seperti yang kalian ceritakan padaku tadi pagi. Kusangka ia pasti senang, karena aku berhasil melakukan penyelidikan seperti yang disuruh. Eh — ternyata tidak!" "Tidak senang? Sayang," kata Philip. "Kukatakan padanya, 'Seekor burung camar membawa kertas itu lalu menjatuhkannya ke dekat kaki Lucy-Ann,'" kata Lucian dengan serius sekali. "Lalu pamanku mengatakan, 'Apa?' — jadi kuceritakan sekali lagi!" "Lalu apa katanya?" tanya Jack sambil menahan tawa. "Itu tadi, yang sudah kukatakan, ia menghina sekali," kata Lucian. "Padahal ia mau mempercayai ceritaku yang selebihnya. Aneh — kenapa yang itu ia tidak percaya!" "Cerita selebihnya yang mana?" tanya Jack dengan segera. "Ah, itu — ia ingin tahu apakah aku pernah berbelanja bersama salah seorang dari kalian. Kalau ya, di mana dan kapan. Aku bercerita bahwa aku cuma sekali saja mengantar Lucy-Ann berbelanja — yaitu ketika kami kemudian menemukan botol yang ada kapal-kapalan di dalamnya. Lalu ia mengatakan, 'Ah—tentu saja — Andra! Andra yang itu!' Cuma itu saja. Sungguh — pamanku itu aneh sekali!" Anak-anak mendengarkan penuturannya sambil membisu. Mereka sadar, Pak Eppy dengan sengaja memancing keponakannya, ia tahu bahwa anak-anak membeli kapal dalam botol, dan di mana botol itu dibeli, ia masih ingat pernah melihat nama 'Andra', ketika anak-anak datang menanyakan padanya. Mungkin ia kini sudah bisa menduga bahwa kertas kuno itu ditemukan di dalam kapal-kapalan itu, karena Lucian konyol itu pasti menceritakan bahwa botol itu pecah. "Kauceritakan tadi bahwa botol berisi kapal-kapalan pecah?" tanya Jack pada Lucian. "Eh — kurasa ya," kata Lucian. "Aku kan tidak melakukan sesuatu yang keliru? Maksudku — kalian kan tidak marah, bahwa aku bercerita begitu pada pamanku?" "Kalau soal burung camar, sama sekali tidak," kata Philip secara terus terang. "Sayang pamanmu tidak mau percaya, ia tidak boleh mengata-ngatai dirimu seperti tadi itu." "Ya — tidak boleh, kan?" kata Lucian dengan suara memelas, ia merasa kasihan-pada dirinya sendiri, "ia tidak berhak berbuat begitu. Dan kalian pun dikata-katainya pula!" "Jangan ceritakan!" tukas Jack dengan cepat. "Kau ini harus belajar menyimpan rahasia, Lucian! Maksudku — kita tidak boleh seenaknya saja menceritakan hal-hal yang dikatakan orang, karena mungkin itu rahasia." "Nah, sekarang kalian marah juga padaku!" keluh Lucian lalu menangis lagi. Jack cepat-cepat bangun, ia merasa sebal menghadapi tingkah laku secengeng itu. Hanya Lucy-Ann saja yang merasa kasihan pada Lucian. Tapi ia pun kesal melihat anak itu gampang menangis. Keempat remaja itu keluar, meninggalkan Lucian dalam keadaan sedih, bingung, dan jengkel — serta sangat lapar! "Yuk, ke kabin kita sebentar," ajak Jack. "Kita perlu berembuk tentang kejadian ini. Pak Eppy kelihatannya cepat sekali bisa menarik kesimpulan. Lucian sialan! Kenapa si Konyol itu mengoceh tentang kapal-kapalan kita? Sebaiknya kita taruh saja barang itu di tempat yang aman, untuk berjaga-jaga jangan sampai dipinjam pula oleh Pak Eppy!" Mereka masuk ke kabin Jack dan Philip. Begitu berada di dalam, Philip berteriak sehingga mengejutkan anak-anak yang lain, "Kapal-kapalanku tidak ada lagi!" Bab 12, POTONGAN PETA YANG KEDUA Benarlah — kapal-kapalan indah itu tidak ada lagi di atas rak. Lenyap! Anak-anak saling berpandangan dengan perasaan jengkel. Mereka kesal sekali pada Pak Eppy! Seenaknya saja dia 'meminjam'. Jangan-jangan tidak dikembalikan lagi! "Untuk apa sih, ia meminjamnya?" kata Dinah dengan perasaan heran. "Katakanlah, ia menduga bahwa kita menemukan dokumen itu di dalamnya. Kalau begitu keadaannya pun, aku belum melihat alasan untuk apa ia mengambil kapal itu. Peta kan sudah ada di tangannya?!" "Tapi cuma sepotong — dan itu diketahuinya," kata Jack membetulkan. "Mungkin ia menyangka sisanya masih ada di dalam kapal-kapalan itu — dan kita tidak melihatnya, atau membiarkannya di situ. Karena itulah ia meminjamnya, untuk melihat sendiri." "Meminjam? Mencuri, maksudmu!" kata Lucy-Ann dengan nada mengejek. "Orang jahat! Aku tidak suka padanya!" "Kudatangi saja dia sekarang!" tukas Philip, ia marah sekali. Anak-anak yang lain kelihatannya tidak begitu setuju. "Tapi bagaimana jika bukan dia yang mengambil?" kata Jack. "Kan tidak enak, kalau kita langsung menuduh!" "Siapa lagi kalau bukan dia?" tanya Philip sengit "Orang lain tidak mungkin!" "Begini sajalah — kita berenang-renang sebentar di kolam untuk melonggarkan pikiran," kata Dinah. "Nanti jika kau ternyata masih tetap ingin melabraknya, pergilah! Kebetulan hawa panas sekali saat ini! Aku ingin berendam dalam air." "Baiklah," kata Philip segan-segan. "Tapi ada kemungkinan nanti aku sudah agak malas mendatangi Pak Eppy." Tapi ternyata tekadnya masih belum berkurang sedikit pun sehabis berenang. Mau tidak mau, anak-anak yang lain merasa kagum terhadapnya. Menurut mereka, Philip benar-benar tabah, berani melabrak Pak Eppy secara langsung, menuduh orang itu 'meminjam' kapal- kapalannya! Philip pergi mencari Pak Eppy. Di kabinnya, tidak ada. Di kursi malas yang biasa ditempati — juga tidak! Ke mana orang itu? Philip mondar-mandir mencari ke seluruh kapal, ia harus menemukan Pak Eppy! Akhirnya ia melihat orang itu keluar dari bilik radio. " Pak Eppy," sapa Philip sambi! mendatangi, "Anda kemanakan kapal kami?" Pak Eppy berhenti. Philip ingin sekali orang itu tidak memakai kaca mata gelapnya, ia tidak bisa melihat apakah paman Lucian itu kaget, marah, atau bagaimana. Hal itu dengan segera sudah diketahuinya. "Apa maksudmu?" tukas Pak Eppy dengan galak. "Kapal yang mana?" "Kapal-kapalan yang kami tunjukkan pada Anda waktu itu — yang ada di dalam botol — yang namanya 'Andra'," kata Philip. Sekali lagi ia ingin melihat mata Pak Eppy, supaya bisa mengetahui reaksinya. "Anda apakan?" "Kurasa kau sudah sinting," kata Pak Eppy dengan ketus. "Benar-benar sinting! Sesinting Lucian yang datang dengan ocehan tentang anak perempuan, burung camar, dan potongan dokumen itu. Semuanya omong kosong! Sekarang kau lagi mengoceh tentang kapal-kapalan! Kausangka aku mengambilnya untuk bermain-main dengannya dalam bak mandi, ya?!" "Anda mengambilnya, Pak Eppy?" desak Philip. "Tidak!" kata Pak Eppy dengan suara mengguntur. "Jangan menghina ya, dengan cerita serta pertanyaan sintingmu!" Setelah itu ia pergi. Mulutnya terkatup rapat. Philip agak kecut. Yah — ternyata tidak ia tidak berhasil memaksa Pak Eppy mengaku. Itu sudah jelas. Sialan orang itu! Philip tetap yakin bahwa dialah yang mengambil kapal-kapalannya. Ia kembali mendatangi anak-anak yang menunggu di dalam kabin. "Tidak berhasil," kata Philip, begitu masuk ke dalam kabin. "Katanya bukan dia yang mengambil. Tapi aku tahu benar, pasti dia. Aku punya firasat begitu!" "Kalau begitu firasatmu keliru," kata Jack, lalu menunjuk ke arah rak di seberang kabin. "Lihat saja sendiri!" Philip melongo. Kapal itu sudah kembali di tempatnya semula! "Eh, kenapa sudah ada lagi di situ?" katanya. "Aduh, tidak enak rasanya sekarang, karena tadi menuduh Pak Eppy. Di mana selama ini?" "Entah, kami juga tidak tahu," kata Dinah. "Kami masuk kemari beberapa menit yang lalu, setelah kita berpisah tadi dan kau mencari Pak Eppy untuk melabraknya! Begitu masuk, kami melihatnya sudah ada di situ!" "Ya — di tempat yang sama seperti waktu kita tinggalkan tadi pagi," kata Lucy-Ann. "Siapa yang menaruh di situ?" tanya Philip. "Kalau itu kita ketahui, kita juga tahu siapa yang mengambil," kata Jack. "Aku masih tetap merasa bahwa Pak Eppy pelakunya. Ingat saja, ia masuk ke ruang makan sesudah kita. Jadi ia bisa saja menyelinap kemari untuk mengambilnya. Mengembalikannya lagi juga gampang, yaitu saat kita sedang berenang-renang di kolam. Jika ia tadi melihat kita di sana — dan kemungkinan itu besar sekali — ia tentunya tahu bahwa banyak waktu baginya untuk masuk kemari dan mengembalikan kapal ke tempat semula." "Kenop ini longgar," kata Dinah sambil meraba-raba benda itu. "Kurasa ia berhasil mengetahui cara membuka sisi yang ini, lalu memeriksa bagian sebelah dalam dengan seksama." "Ya — dan ketika ternyata tidak ada apa-apa di situ, dengan murah hati dikembalikannya lagi kemari!" kata Philip. "Orang itu berbahaya! Pasti ia akan menggeledah kabin-kabin kita untuk mencari sisa peta selebihnya, jika kita tidak berjaga-jaga!" Lucy-Ann langsung cemas mendengarnya. "Aduh —jangan-jangan ia berhasil menemukan potongan-potongan yang kita sembunyikan," katanya. "Kemungkinan itu ada saja," kata Philip. "Menurut kita, tempat-tempat yang kita pilih sudah baik sekali. Tapi bisa saja dengan gampang ditemukan olehnya." "Eh — masihkah kita akan minta tolong orang membacakan tulisan-tulisan itu?" kata Dinah dengan tiba-tiba. "Kita kan berniat hendak menanyakannya pada wanita Yunani penjaga toko di sini, serta pada pelayan dek. Tapi bagaimana kalau Pak Eppy nanti mendengar bahwa kita menunjukkan potongan-potongan peta lagi pada orang — apakah ia tidak lantas semakin giat berusaha mengambilnya dari kita?" "Betul juga katamu itu," kata Jack. "Tapi jika kita tidak minta dibacakan, penyelidikan kita tidak bisa maju. Apa gunanya harta karun, jika tidak diketahui di mana tempatnya disembunyikan! Kita saat ini bahkan tidak tahu apakah dokumen itu memang benar menunjukkan tempat harta yang tersembunyi. Kita cuma tahu bahwa naskah itu benar-benar kuno — dan Pak Eppy sangat berminat terhadapnya." "Kurasa wanita penjaga toko bisa diandalkan, bahwa ia tidak akan bercerita pada siapa- siapa," kata Lucy-Ann. "Orangnya baik hati, dan ia suka pada kita. Kalau kita katakan bahwa apa yang akan kita tanyakan merupakan rahasia, tidakkah dengan begitu ia takkan menceritakan pada orang lain? Mau tidak mau, kita terpaksa bertanya pada seseorang!" Keempat remaja itu berdebat sebentar, apakah wanita itu bisa diandalkan untuk menyimpan rahasia, atau tidak. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa wanita itu bisa dipercaya. "Katanya, kapan-kapan ia akan menunjukkan foto anak-anaknya padaku," kata Lucy-Ann memberi alasan. "Anaknya ada tiga. Mereka tinggal di salah satu pulau, bersama nenek mereka. Bagaimana jika kita mendatanginya untuk melihat foto-foto itu? Lalu pada kesempatan itu kita bertanya tentang arti tulisan-tulisan pada peta kita!" "Kalau soal mengenai riwayat hidup orang, serahkan saja pada Lucy-Ann!" kata Philip sambil nyengir. "Aku heran, bisa-bisanya! ia tahu nama anak-anak Perwira Dua, dan ia juga tahu segala-galanya tentang ibu pelayan wanita yang selalu membersihkan kabin-kabin kita — sakit apa saja yang diderita — dan entah apa lagi! Lucy-Ann bahkan mengetahui jumlah anjing yang pernah dipelihara Pak Nakhoda!" "Siapa bilang aku tahu!" kata Lucy-Ann tersinggung. "Mana berani aku bertanya-tanya begitu padanya! Lagi pula, ia tidak bisa memelihara anjing di kapal." "Aku cuma main-main saja, Lucy-Ann," kata Philip. "Tapi terus terang, idemu itu bagus sekali. Kita datang untuk melihat foto-foto wanita itu, kemudian secara sambil lalu bertanya tentang makna tulisan pada potongan peta kita." "Kalau begitu sekarang saja kita ke sana!" kata Lucy-Ann sambil memandang jam. "Saat begini para penumpang biasanya tidur siang! Jadi besar kemungkinannya wanita itu sendiri saja di tokonya." Anak-anak pergi beramai-ramai. Philip berangkat dulu seorang diri. Katanya hendak melihat di mana Pak Eppy saat itu. Jangan sampai ia mengintip-intip tanpa ketahuan! Tidak lama kemudian Philip sudah kembali lagi. "ia tidur di kursi malasnya, di atas dek," katanya melaporkan. "Kulihat kepalanya direbahkan ke belakang. Tangannya tidak memegang buku." "Dari mana kau bisa tahu bahwa ia tidur?" tanya Jack. "Kan tidak bisa kaulihat apakah matanya terbuka atau terpejam, karena ia selalu memakai kaca mata gelapnya." "Memang — tapi ia kelihatannya seperti sedang tidur," kata Philip. "Sikap tubuhnya santai sekali! Tapi sudahlah, kita ke wanita Yunani itu saja sekarang." Wanita itu tersenyum lebar, ketika melihat anak-anak menghampiri tokonya. Nampak sederet giginya yang putih bersih, ia senang didatangi anak-anak, apalagi karena membawa Kiki dan Miki. "Nah, Kiki dan Miki — apa lagi keisengan kalian kali ini?" katanya sambil menggelitik Miki dan mengetuk-ngetuk dada Kiki. "Satu, dua, tiga —" "DOR!" teriak Kiki, menirukan letusan pistol. Memang bunyi itulah yang dipancing wanita tadi. ia sudah kenal sekali kebiasaan Kiki. ia pasti terpingkal-pingkal, jika burung kakaktua itu terceguk-ceguk, batuk, atau bersin. "Suruh dia bersin," katanya. "Aku paling suka kalau ia bersin!" Kiki langsung menurut, ia menirukan berbagai bunyi orang bersin, sampai Miki tercengang melihatnya. Setelah itu wanita tadi mengeluarkan foto anak-anaknya, lalu bercerita tentang ketiga anak perempuan itu. Menurut Dinah, pasti di dunia ini tidak ada anak lain seperti mereka bertiga. Manis, patuh, baik-baik, cantik — dan membosankan! Tapi tentu saja itu tidak dikatakannya keras-keras, melainkan hanya dipikir saja! Jack merasa, kini tiba giliran mereka berbicara, ia menyenggol Philip, yang dengan segera mengeluarkan potongan petanya. "Anu, Bu — tahukah Anda arti tulisan-tulisan ini?" katanya pada wanita Yunani itu. "Kami menemukannya di salah satu tempat Bisakah Anda mengatakan gambar apa ini — dan apa arti tulisan-tulisan ini?" Wanita Yunani itu mengamat-amati potongan peta itu dengan cermat. "Ini gambar denah," katanya. "Tapi cuma sepotong saja. Sayang! Yang ada pada potongan kertas ini sebagian dari pulau bernama Thamis — atau mungkin juga Themis — aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Ini — ini tulisannya, dalam aksara Yunani! Kalian tentu saja tidak bisa membacanya, karena kalian memakai aksara Latin! Ya — ini bagian dari sebuah pulau. Tapi aku tidak tahu di mana letaknya." "Ada lagi yang masih bisa Anda katakan tentang peta itu?" tanya Dinah. "Ada sesuatu yang penting di pulau itu," kata wanita tadi. "Barangkali sebuah kuil? — Aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Di sini ada tanda sebuah bangunan — atau bisa juga berarti kota. Aku juga tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Coba seluruh peta ada, aku akan bisa mengatakan lebih banyak." Anak-anak begitu asyik, sehingga tidak mendengar orang yang datang menghampiri dengan langkah menyelinap. Tiba-tiba mereka menoleh dengan kaget, ketika nampak bayangan orang menggelapi. Napas Lucy-Ann tersentak. Orang itu Pak Eppy, seperti biasa dengan kaca mata gelap. "Ah! Ada sesuatu yang menarik — coba kulihat sebentar," katanya dengan santai. Sebelum ada yang sempat berbuat apa-apa untuk mencegah, ia sudah menyambar potongan kertas dari tangan wanita Yunani itu lalu mengamat-amatinya. Philip berusaha merebut kembali, tapi Pak Eppy lebih waspada, ia pura-pura bercanda. Dipegangnya kertas itu tinggi-tinggi. "Eh, anak nakal! Pak Eppy tidak boleh melihat!" "Anak nakal!" oceh Kiki dengan segera. Miki mengira bahwa orang itu mengajak main rebut-rebutan. Tiba-tiba monyet kecil itu meloncat tinggi-tinggi, menyambar kertas tadi lalu kembali ke bahu Philip. Tapi hanya sekejap saja, karena setelah itu ia meloncat lagi ke bubungan toko. ia menongkrong di situ dengan potongan kertas di tangan, sambil ribut berceloteh. Pak Eppy tahu bahwa untuk saat itu ia kalah. "Monyet kocak!" katanya dengan nada ramah, tapi yang sekaligus terdengar marah. "Yah — lain kali saja kita melihatnya!" Setelah itu ia bergegas pergi ke geladak, meninggalkan anak-anak yang masih tetap melongo. Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com Bab 13, SELAMAT BERPISAH, PAK EPPY! Dinah yang paling dulu pulih dari rasa kagetnya. "Eh, nekat!" tukasnya. "He, Philip! Tidak mungkin ia tidur tadi, sewaktu kau melihatnya duduk santai di kursi malas! Rupanya ia melihatmu memandang ke arahnya, lalu langsung menduga bahwa kau hendak melakukan sesuatu! Begitu kau pergi, ia langsung mencari kita!" "Sialan," gumam Philip dengan jengkel. "Sekarang sudah dua potongan dilihatnya, ia kini tahu pulau mana yang tergambar, karena namanya tertulis pada potongan yang kedua tadi. Dasar kita sedang sial!" Keempat remaja itu meninggalkan wanita Yunani yang masih terheran-heran. Dengan sebal mereka menuju ke haluan kapal. Enak rasanya kena angin yang membelai muka di situ. Miki sudah turun lagi begitu Pak Eppy pergi. Potongan peta yang dirampasnya diambil oleh Philip, lalu disimpan. Tapi hal yang hendak dicegah sudah terjadi. Pak Eppy sudah melihatnya! "Kalau dugaan kita tentang harta ada benarnya, Pak Eppy sekarang bisa beraksi karena sudah cukup banyak yang dilihatnya," kata Jack. Suaranya murung. "Selama ini tindakan kita tidak bisa dibilang cerdik. Bahkan sebaliknya!" "Begitu saja kita membiarkan rahasia kita diketahui orang lain," kata Dinah mengeluh. "Kemampuan kita mundur!" "Tapi bagaimana juga, aku tidak melihat apa yang bisa kita lakukan, seandainya harta karun itu benar-benar ada," kata Lucy-Ann dengan tiba-tiba. "Maksudku — katakanlah, kita mengetahui dengan pasti di mana harta itu — kita tetap saja tidak bisa pergi mencarinya! Jadi lebih baik kita mengalah saja. Jika Pak Eppy ingin mencarinya, biar saja!" "Wah! Kau ini benar-benar bermurah hati, melepaskan harta yang mungkin bisa menjadi milik kita — dan mengatakan Pak Eppy boleh mengambilnya kalau mau!" kata Jack dengan kesal. "Padahal itu cuma karena kau tidak mau lagi terlibat ke dalam petualangan!" "Bukan main!" teriak Kiki saat itu. Anak-anak langsung berhenti berbicara, karena teriakan tadi merupakan isyarat bahwa Lucian datang. Anak itu muncul di haluan sambil tersenyum ramah, ia kelihatannya sudah lupa pada perjumpaannya yang terakhir dengan anak-anak di kabinnya, ketika ia sedang menangis. Mukanya masih agak bengap. Tapi sikapnya sudah riang kembali. "Halo!" sapanya. "Ke mana saja kalian selama setengah jam yang lalu? Aku mencari ke mana-mana! He, mau lihat — ini, aku diberi Paman!" ia menunjukkan sejumlah uang Yunani. "Kurasa ia menyesal karena mendamprat aku tadi," katanya. "Pokoknya, ia sekarang ramah sekali terhadapku. Bibi sampai bingung melihatnya." Keempat temannya dapat memahami kenapa Pak Eppy begitu gembira sekarang. Mereka saling berpandang-pandangan sambil tersenyum kecut. Pak Eppy sudah berhasil memperoleh apa yang diingini — atau setidak-tidaknya, sebagian lagi! Karena itulah ia merasa senang. Saat itu terpikir oleh Jack, kemungkinan orang itu selalu mendapat apa yang diingininya — masa bodoh dengan jalan yang bagaimana! Jack agak gelisah memikirkan kemungkinan itu. Ia merasa lebih baik jika dicari tempat penyembunyian yang lebih baik daripada di dalam kabin mereka, untuk menaruh potongan-potongan peta yang selebihnya. Tapi untuk apa repot-repot? Mereka pasti tidak bisa berbuat apa-apa tentang harta karun itu. Mana mungkin? Ia tahu pasti, Bu Mannering takkan mengizinkan. Untuk itu harus ada orang dewasa yang mengawasi. Jack menyesali tidak ikutnya Bill dalam perjalanan itu. Tiba-tiba ia mendapat gagasan baru. "Aku ada perlu sebentar," katanya. "Sebentar saja!" Ia tidak menunggu lagi, tapi cepat-cepat pergi bersama Kiki. ia bermaksud hendak mencari pulau yang bernama Thamis atau Themis di peta besar. Barangkali saja ada di situ! Kan menarik, jika ternyata memang ada — apalagi jika letaknya dekat alur pelayaran kapal Viking Start. Jack pergi ke perpustakaan kapal, untuk menanyakan apakah di situ ada peta kepulauan Aegea. Pustakawan yang menjaga di situ menyerahkan sebuah atlas, sambil memandang Kiki dengan sikap tidak senang, ia tidak suka jika ada kakaktua yang berisik di perpustakaannya yang selalu tenang. "Buang ingusmu!" oceh Kiki padanya. "Bersihkan kaki! Sudah berapa kali kukatakan tutup pintu? Puh! Hahh!" Pustakawan itu diam saja. Tapi dari sikapnya nampak bahwa ia tersinggung. Belum pernah ada orang yang berani berbicara begitu terhadapnya. Apalagi burung kakaktua! "Satu, dua, tiga —!" Kiki mengakhiri seruan itu dengan tiruan bunyi pistol meletus, sampai pustakawan tadi terlonjak dari tempat duduknya. "Maaf, Pak," kata Jack cepat-cepat, karena takut disuruh keluar. Ditepuknya paruh Kiki. "Mana sopan santunmu, Kiki! Keterlaluan!" "— Laluan!" oceh Kiki menirukan dengan suara sedih, lalu menyedot-nyedot hidung, menirukan gaya pustakawan itu. Sementara itu Jack sudah sibuk menghadapi peta. Kiki tidak diacuhkannya lagi. Agak lama juga ia mencari-cari tulisan ‘Thamis'. Akhirnya ditemukan —tepat di bawah hidungnya! Pulau itu ternyata tidak besar, dan ada tanda di situ yang menunjukkan kota. Letaknya di pantai. Kecuali itu masih ada beberapa tanda kecil. Itu mestinya desa-desa. Tapi di pulau itu hanya ada sebuah kota. Ke situlah rupanya armada kapal harta itu pergi — ribuan tahun yang lalu! Mereka masuk ke pelabuhan saat malam buta, lalu berlabuh di dekat kota. Bagaimana cara mereka membongkar harta yang diangkut? Adakah orang lain yang terlibat dalam rahasia itu? Lalu di manakah harta itu disembunyikan? Pasti disembunyikan dengan baik sekali, kalau melihat kenyataan bahwa tidak seorang pun berhasil menemukannya kembali! Jack membiarkan khayalannya melayang, sementara ia asyik menekuni peta kepulauan itu. Akhirnya ia mendesah. Bunyinya langsung ditirukan oleh Kiki. Jack ingin sekali bisa mendatangi Thamis — ke kota yang terletak di pinggir laut. Asal bisa melihat saja — ia pasti sudah puas! Tapi pasti Pak Eppy yang akan bisa melakukannya, ia mengenal baik setiap pulau, ia juga yang mampu menyewa kapal, untuk mendatanginya satu per satu. Jack menutup atlas sambil mendesah. Disingkirkannya khayalan tadi jauh-jauh. Hanya orang dewasa saja yang bisa melakukan ekspedisi mencari harta karun. Akal sehatnya mengatakan bahwa segala rencananya bersama anak-anak yang lain hanya impian belaka. Impian indah— tapi tetap impian! Dengan langkah lambat ia pergi dari perpustakaan, kembali ke geladak atas. Saat itu kapal sudah menghampiri sebuah pulau lagi. Nanti akan melintas dekat sekali, supaya para penumpang bisa melihat pemandangan pantai yang romantik. Tapi mereka tidak singgah di situ. Setidak-tidaknya begitulah sangkaan Jack. Tapi ketika pulau sudah dekat, ia melihat kesibukan yang menyebabkan ia mengira tadi salah sangka. Kalau kapal itu sudah singgah, maka kemungkinannya akan ada orang turun. ia menduga demikian, karena melihat ada perahu motor meluncur dari pantai ke arah kapal. Saat itu mesin kapal dihentikan. Jack bersandar di pagar tepi geladak, memperhatikan perahu motor yang merapat. Perahu itu berdampingan dengan Viking Star, bergerak naik-turun dengan pelan mengikuti gerak laut. Tangga tali diulurkan dari sisi Viking Star. Seseorang menuruninya. Orang itu melambai ke arah geladak, sambil menyerukan sesuatu dalam bahasa asing. Jack terkejut ketika menyadari bahwa orang itu Pak Eppy! ia tadi berseru, mengucapkan selamat tinggal pada istri serta keponakannya. Setelah itu ia meloncat masuk dengan tangkas ke perahu motor. Kopornya yang besar diturunkan dengan tali. Setelah menerima kopor itu, Pak Eppy mendongak lalu melambai-lambai lagi ke atas. Kaca mata gelapnya kemilau, memantulkan sinar matahari. Jack memandang ke bawah sambil cemberut ia merasa tahu apa sebabnya Pak Eppy turun dari kapal. Orang itu pasti sudah cukup banyak mengetahui, sehingga bisa mempersiapkan diri untuk mengadakan pencarian harta karun Andra. Pak Eppy hendak pergi ke Thamis, untuk mencari harta kuno yang secara kebetulan ditemukan jejaknya oleh Jack serta anak- anak yang lain. Harta itu akan menjadi miliknya! Sedang Jack kemungkinannya tidak akan pernah tahu apa yang kemudian terjadi. Apakah harta itu ditemukan, dan terdiri dari apa saja. Rasanya seperti membaca buku yang sangat mengasyikkan — tapi baru dibaca setengahnya, buku itu diambil orang! Perahu motor mulai bergerak, meninggalkan kapal. Pak Eppy tidak kelihatan lagi. Jack meninggalkan pinggiran kapal, pergi mencari anak-anak yang lain. ia ingin mengetahui apakah mereka juga tahu bahwa Pak Eppy pergi. Ketiga anak itu ditemukannya di dalam kabin. Mereka sedang sibuk mengurus Miki. Monyet kecil itu rupanya memakan sesuatu yang tidak baik untuknya. Anak-anak begitu cemas melihat Miki menderita, sampai tidak menyadari bahwa mesin kapal berhenti, dan kini sudah dihidupkan lagi. "Nah, sekarang dia sudah sehat kembali," kata Dinah, saat Jack masuk ke dalam kabin. "Lain kali jangan rakus, Miki!" Anak-anak kaget sekali melihat tampang Jack. Begitu murung kelihatannya! "Ada apa?" tanya Philip dengan segera. "Huuhh — habis perkara," desah Jack sambil menghenyakkan diri di tempat tidur terdekat. "Mau tahu, siapa yang baru saja meninggalkan kapal dengan perahu motor?" "Siapa?" tanya anak-anak. "Pak Eppy!" kata Jack. " ia bergegas pergi, hendak mencari harta karun itu! ia berangkat untuk mengadakan persiapan untuk itu! Pulau ini dikenal baik olehnya, dan ia menduga bahwa harta karun Andra mestinya ada di situ. Pasti ia sekarang ke sana, untuk mencarinya!" "Wah, payah!" keluh Philip. "Cepat sekali ia bertindak, kalau begitu! Rencana kita buyar, karena kecerobohan kita sendiri." "Kita lupakan saja segala rencana kita yang muluk-muluk," kata Dinah. "Aduh, sayang ya! Padahal aku sudah bersemangat sekali!" "Pasti sewaktu aku melihatnya keluar dari bilik radio, ia baru saja mengirim berita ke darat, minta dijemput dengan perahu motor," kata Philip. "Dan itu dilakukannya ketika baru melihat potongan peta yang pertama. Setelah melihat yang kedua, kini ia pasti benar-benar yakin!" "Kita memang sedang sial," kata Lucy-Ann. "Biasanya kita tidak seceroboh ini! Eh — siapa itu?" Saat itu terdengar langkah orang berjalan di gang, menghampiri kabin. "Bukan main!" kata Kiki dengan segera. Dan benarlah—pintu kabin terbuka, dan Lucian masuk sambil mengucapkan kata-kata yang biasa. "Bukan main! Mau tahu, apa yang baru saja terjadi?" "Kau bebas dari omelan pamanmu," kata Dinah dengan cepat. Lucian tertawa lebar. "Betul, Paman sudah turun! Katanya ia tidak bisa lebih lama lagi ikut pesiar, karena ada pesan penting untuknya yang meminta ia datang dengan segera. Lega perasaanku sekarang, karena ia tidak ada lagi di sini." "Ya, pamanmu itu memang bukan orang yang menyenangkan," kata Jack. "Untung saja dia bukan pamanku. Tingkah lakunya ada yang tidak bisa dibilang simpatik." "Memang," kata Lucian. ia kini merasa bebas berbicara seenaknya. "Bayangkan — ia menyuruh aku mengambilkan kapal-kapalan kalian, tanpa mengatakan apa-apa pada kalian! Bayangkan! Bagaimana pendapat kalian tentang perbuatan begitu?" "Brengsek!" kata Jack tegas. "Lalu kauambil?" "Tentu saja tidak!" kata Lucian dengan segera. Nada suaranya begitu tersinggung, sehingga anak-anak merasa bahwa anak itu mengatakan yang sebenarnya. "Kalian sangka aku ini apa?" sambung Lucian. Anak-anak tidak mengatakan anggapan mereka mengenai dirinya. Mereka tidak ingin merusak kegembiraannya saat itu. "Sekarang kita bisa bersenang-senang, karena pamanku tidak ada lagi," kata Lucian dengan gembira, ia memandang berkeliling dengan wajah berseri-seri. "Apakah pamanmu itu ada atau tidak, bagi kami sama sekali tidak ada bedanya," kata Jack. "Sudahlah, aku tidak ingin berbicara lebih panjang tentang dia! Orang seperti itu — untuk apa dibicarakan. Menyebalkan! Nah — itu bunyi gong, memanggil kita makan, Lucian. Cepat, ganti pakaian! Siang tadi kau kan tidak makan, jadi pasti sekarang sudah lapar sekali." "Memang," kata Lucian, lalu bergegas pergi dengan gembira. Tapi anak-anak yang tinggal di dalam kabin nampak sebaliknya. Tampang mereka lesu sekali. "Yah — kelihatannya petualangan kita sekali ini sudah berakhir sebelum benar-benar terjadi," kata Philip sambil mengeluh Bab 14 , KABAR DARI BILL Tapi keesokan harinya terjadi sesuatu yang sama sekali tidak terduga sebelumnya. Saat itu kapal sedang mengarungi perairan berwarna biru lembayung. Dan seperti hari-hari sebelumnya, matahari bersinar cerah di tengah langit yang dihiasi awan putih berarak. Burung camar terbang mengelilingi sambil berteriak-teriak. Bermacam-macam burung laut mengambang terapung-apung di atas permukaan air, atau membubung tinggi di atas kapal. Para penumpang bersantai-santai di kursi malas, asyik membaca atau tidur-tiduran, menunggu minuman dingin yang akan diantar pelayan. Bahkan anak-anak pun ikut bermalas-malas di kursi masing-masing, capek setelah bermain tenis sepanjang pagi. Kiki bertengger di punggung kursi malas yang diduduki Jack. Matanya terpejam, ia capek, sehabis asyik terbang mengikuti burung-burung camar sambil berteriak-teriak menirukan suara mereka, sehingga burung-burung itu kebingungan dibuatnya. Sedang Miki sudah tidur nyenyak, meringkuk di bawah naungan sekoci. Saat itu muncul remaja pelayan kapal yang biasanya bertugas mengantarkan pesan, ia membawa sampul panjang yang terletak di atas baki. Sambil berjalan, ia berseru-seru. "Telegram untuk Bu Mannering! Ada telegram untuk Bu Mannering!" Philip menyentuh ibunya, sambil melambai memanggil pelayan itu. Bu Mannering menoleh, ia heran mendengar namanya dipanggil-panggil. Pelayan tadi datang menghampiri, lalu menyodorkan sampul yang di atas baki padanya. Bu Mannering membukanya dengan cepat. Ia heran, kenapa tiba-tiba ada telegram untuknya. Kemudian ia membacakan telegram itu dengan suara nyaring, supaya anak-anak bisa ikut mengetahui isinya. "Bibi sakit titik minta kau datang titik harap pulang dengan segera koma kugantikan menjaga anak-anak titik kirim telegram balasan titik Bill titik" Sesaat semuanya terdiam, karena agak kaget. "Aduh — kenapa harus terjadi hal seperti ini saat kita sedang berlayar," keluh Bu Mannering. "Bagaimana sekarang? Pulang dengan segera itu dari mana? Naik apa? Lagi pula, bagaimana dengan kalian nanti jika aku tidak ada?" "Sudahlah — tenang saja, Bu," kata Philip. "Biar aku saja yang menguruskan. Akan kutanyakan pada Perwira Dua, apa yang sebaiknya dilakukan. Aku kenal baik padanya." "Sedang tentang kami, Bibi Allie tidak usah khawatir," kata. Jack. "Kan tidak bisa terjadi apa- apa, karena kami di kapal terus! Bibi kan tidak menghendaki kami ikut pulang." "Tentu saja tidak! Apalagi pesiar ini kan tidak murah," kata Bu Mannering. Wajahnya masih tetap nampak gelisah. "Ah, aku paling tidak suka jika ada kejadian tiba-tiba seperti ini! Sungguh!" "Tenang sajalah dulu, Bu," kata Dinah. "Ibu kan bisa pulang dengan pesawat terbang dari tempat persinggahan berikut, jika di situ ada lapangan terbang. Besok Ibu akan sudah sampai di Inggris. Dan menurut Bill, ia akan menggantikan Ibu menjaga kami di sini. Mungkin ia akan menjemput Ibu di Croydon, apabila pesawat yang Ibu tumpangi mendarat di sana. Ibu akan diantarkannya dulu ke stasiun, lalu setelah itu ia berangkat menyusul kami, naik pesawat terbang pula. Ia pasti akan menyukai pesiar ini. Dan Ibu mungkin pula akan kembali lagi kemari." "Wah, kurasa tidak — jika Bibi Polly ternyata cukup gawat sakitnya," kata Bu Mannering. " ia kan selalu baik terhadapku — pada kalian juga —jadi aku harus menungguinya sampai ia sudah betul-betul sembuh kembali. Ah — tapi tidak enak rasanya meninggalkan kalian sendiri." Bu Eppy yang duduk bersebelahan dengan Bu Mannering ikut mendengar pembicaraan itu "Saya bisa membantu mengawasi keempat anak ini sampai kenalan Anda itu tiba," katanya mencampuri. "Saya kan sudah biasa menjaga, dan Lucian sebaya dengan mereka. Bagi saya, itu bukan apa-apa." "Anda baik hati," kata Bu Mannering. ia bangkit dari kursi malasnya, dibantu Philip. "Kurasa aku sebenarnya tidak perlu cemas memikirkan mereka — karena mereka sudah cukup besar! Tapi di pihak lain, keempat anak ini gampang sekali terlibat dalam hal-hal yang tidak enak!" Setelah itu ia pergi bersama Philip, mendatangi Perwira Dua. Dengan bantuan petugas kapal itu, segera sudah, tersusun rencana kepulangan Bu Mannering ke Inggris. Kapal akan mengubah alur pelayarannya sedikit dan singgah di sebuah pulau yang ada lapangan udaranya. Saat itu juga akan dikirim telegram ke sana, agar dipersiapkan pesawat terbang yang akan membawa Bu Mannering. "Kita bisa menunggu di pulau itu sampai kenalan Anda tiba," kata Perwira Satu, setelah mendatangi nakhoda kapal sebentar untuk berunding. "Kami hanya perlu mengubah rencana sedikit saja — yang memang tidak begitu ketat — seperti Anda ketahui pula. Nah — sekarang bagaimana jika kita mengirim telegram pada Pak Cunningham, supaya ia tahu kapan harus menjemput Anda di Croydon?" Ternyata segala urusan itu bisa diatur dengan cepat dan mudah. "Aku tadi sama sekali tidak perlu merasa cemas dan bingung," kata Bu Mannering pada anak- anak. "Untung ada Philip — sekarang semua urusan sudah beres! Aku akan berangkat besok — dan malam hari itu juga Bill mungkin sudah sampai. Syukurlah!" Dinah dan Lucy-Ann membantunya berkemas, sementara Viking Star meluncur menuju sebuah pulau besar, di mana ada pelabuhan udara. Anak-anak melihat pesawat-pesawat terbang turun dan naik, karena pelabuhan udara itu terletak di dekat pantai. Sebuah perahu motor datang menjemput Bu Mannering. "Jangan nakal-nakal, ya," katanya saat hendak turun. "Jaga diri kalian baik-baik, jangan sampai mengalami bahaya atau kesulitan. Kalau Bill sudah datang, tolong katakan padanya bahwa aku takkan bisa memaafkannya jika nanti terjadi lagi sesuatu yang membahayakan keselamatan kalian!" Anak-anak melambai-lambai dari atas kapal, sementara perahu motor meluncur kembali ke pelabuhan. Mereka mengikutinya dengan bantuan teropong. Mereka melihat Bu Mannering naik ke dermaga, sementara kopor-kopornya dibawakan tukang angkut barang. "Sekarang ia masuk ke taksi," kata Jack. "Ia menuju ke pelabuhan udara. Sebentar lagi pasti sudah ada di udara!" Setengah jam kemudian nampak sebuah pesawat terbang tinggal landas, lalu membelok ke arah kapal yang dikitarinya dua kali. Kemudian pesawat itu mengarah ke barat. "Itu pesawat yang ditumpangi Ibu," kata Philip. "Kurasa aku melihatnya tadi, melambai-lambai. Moga-moga ia sampai ke tujuan dengan selamat. Sekarang kita tinggal menunggu Bill datang." Setelah itu semuanya membungkam. Mereka memikirkan hal yang sama, tapi semua segan mengatakannya secara terang-terangan. Jack mendeham beberapa kali. "Eh — anu — karena keadaan sekarang sudah begini — eh..." ia tertegun. Anak-anak yang lain bersikap menunggu. "Ya, bagaimana?" pancing Dinah. "Anu — aku tadi berpikir-pikir," kata Jack terbata-bata, "begini—yah — karena Bill sebentar lagi datang..." ia berhenti lagi. Dinah tercekikik. "Biar aku saja yang mengatakan," katanya. "Aku tahu, karena kurasa kita semua berpikiran sama saat ini. Bill sebentar lagi datang! Jadi kita bisa bercerita padanya tentang peta kuno dan harta karun Andra itu — dan juga tentang Pak Eppy! Barangkali saja—barangkali, kataku—barangkali Bill bisa melakukan sesuatu mengenainya!" "Ya, betul!" kata Jack. "Aku tadi agak sulit mengatakannya, tanpa terdengar seperti bersikap tak acuh terhadap urusan yang sedang dihadapi Bibi Allie! Tapi keadaannya kan sudah berubah sekarang. Bisa saja Bill berpendapat bahwa sudah sepantasnya jika kita melakukan sesuatu." "Ya — asyik!" kata Philip sambil menarik napas panjang. "Tepat saat kita sudah putus harapan!" "Memang — kalau Ibu, kita tidak bisa ikut melibatkannya dalam petualangan," kata Dinah. "Tapi Bill kan lain! Maksudku — aku tahu, ia pun tidak menghendaki kita terjerumus ke dalam petualangan — tapi kan mungkin saja ia berpendapat bahwa kita di pihak lain tidak boleh diam saja." "Dan setidak-tidaknya kita kini bisa tahu lagi bagaimana perkembangan selanjutnya!" kata Jack puas. "Nanti kita bisa asyik, menunjukkan kapal-kapalan serta peta itu pada Bill — sambil menceritakan segala-galanya!" Saat itu Lucian datang menghampiri. Tampangnya serius sekali. "Bukan main — aku ikut prihatin jadinya! Moga-moga ibumu selamat sampai ke tujuan, Philip, dan bibinya bisa sembuh kembali. Moga-moga kejadian ini tidak merusak kesenangan kalian selama sisa pelayaran ini. Sungguh, aku benar-benar ikut prihatin!" 'Terima kasih," kata Philip. "Tapi kami sudah biasa begini!" "Eh — ngomong-ngomong, aku sampai lupa menyampaikan ini," sambung Lucian. "Maaf deh! Pamanku menyerahkan ini padaku sebelum ia turun kapal. Katanya, harus kuberikan pada kalian. Aku tidak tahu apa isinya." Jack menerima sampul yang diserahkan Lucian padanya. Sebelum membukanya pun ia sudah bisa menebak isinya. Dan ternyata Jack benar. Sampul itu berisi peta yang 'dipinjam' Pak Eppy, beserta surat singkat. "Ini, kukembalikan lagi. Terima kasih! Ternyata tidak begitu menarik. P. Eppy." Jack tertawa hambar. "Tidak begitu menarik, tulisnya di sini. Hahh! Pasti ia sudah menyalinnya dengan rapi. Kita lihat saja nanti bagaimana hasilnya!" Peta itu ditaruhnya di tempat yang aman, yaitu diselipkan di balik lapisan celana pendeknya. Jack mengucap syukur bahwa Pak Eppy belum melihat bagian peta yang setengah lagi. Tapi mungkin juga ia sama sekali tidak perlu melihatnya! Mungkin sekarang saja ia sudah bisa menduga tempat harta karun itu — jika ia benar-benar hapal pulau itu! Kalau begitu halnya, takkan lama lagi harta karun Andra masih ada di tempat yang sekarang. Waktu terasa seperti merambat hari itu. Bu Eppy agak mengesalkan, karena ia melaksanakan janjinya dengan serius, yaitu menjaga anak-anak. Begitu saat makan siang tiba, ia langsung sibuk mencari anak-anak. ia bahkan memesan pada pelayan agar keempat remaja itu didudukkan semeja dengannya. Tapi Jack langsung protes. "Terima kasih, Bu Eppy — tapi kami menunggu kedatangan teman kami, Bill Cunningham," katanya dengan sopan tapi tegas. "Mungkin malam ini ia akan sudah tiba — atau paling lambat besok pagi. Jadi kami tetap saja di meja kami, supaya bisa makan bersama Bill jika ia sudah tiba. Terima kasih, Bu!" Lucian kecewa, lalu merajuk, ia bahkan tidak tersenyum geli ketika terjadi pertengkaran antara Kiki dan Miki. Keduanya berebut pisang, yang akhirnya terenggut menjadi dua potong. Sehabis makan malam anak-anak pergi ke geladak, mengharapkan kedatangan Bill. Menurut Perwira Dua, tidak ada pesan apa-apa. Jadi kemungkinannya besar bahwa Bill datang. "Kalau datangnya baru besok, tentunya ia sudah mengirim telegram" kata petugas kapal itu. "ia tahu bahwa kita menunggunya di sini. Tapi jika aku jadi kalian, lebih baik tidur dulu — karena ada kemungkinan baru tengah malam nanti dia datang!" Tapi anak-anak tidak mau. Mereka duduk-duduk di geladak, sambil memperhatikan matahari terbenam. Awan yang putih berubah warna, menjadi merah Jingga. Dengan lambat tapi pasti langit menjadi gelap di sebelah timur. Air laut makin lama makin gelap, dan akhirnya sewarna dengan langit malam. Bintang-bintang mulai bermunculan. Lucy-Ann sudah hampir tertidur di kursi malas, ketika Jack tiba-tiba menyenggolnya. "He, bangun! Ada pesawat datang — mungkin itu Bill!" Dengan segera Lucy-Ann bangun, lalu pergi ke pagar kapal bersama anak-anak yang lain. Pesawat yang datang itu nampak turun, mendekati landas pendaratan di pelabuhan udara pulau. Pasti itu Bill! Dan setengah jam kemudian terdengar bunyi mesin perahu motor dihidupkan di pelabuhan. "Itu Bill datang!" seru Lucy-Ann bersemangat Perahu motor itu semakin mendekat dan akhirnya berhenti di sisi kapal. Dari kapal dilemparkan tangga tali ke bawah. Lucy-Ann sudah tidak bisa menahan diri lagi. "Bill!" Teriaknya dari atas. "Andakah itu, Bill? Bill!" "Ahoy, kalian yang di atas!" seru seseorang dari perahu motor. Anak-anak sudah hapal sekali suara itu. "Ya, di sini Bill!" Bill memanjat tangga tali. Begitu sampai di geladak, anak-anak berhamburan menyongsong lalu mengerumuninya, ia dirangkul, dipeluk, dan dimacam-macamkan lagi. "Halo, Bill! Wah, Bill — senang rasanya Anda ada di sini! Sekarang semuanya pasti beres." "Ya — segala-galanya beres!" kata Bill Cunningham, sambil menjunjung Lucy-Ann tinggi- tinggi. "Aku juga senang, bertemu kembali dengan kalian. Kita akan bersenang-senang sekarang!" Bab 15, ANAK-ANAK BERCERITA Bill haus dan lapar sekali. Anak-anak mengiringinya ke ruang duduk. Mereka senang dan bersemangat Ketika sudah duduk, Bill memesan roti dengan isi ayam dan ham serta segelas minuman dingin. Anak-anak juga dipesankan roti. "Tapi sebetulnya tidak baik jika kalian selarut ini masih makan lagi, sebab nanti mimpi yang bukan-bukan karena kekenyangan," kata Bill memperingatkan. "Jadi jangan salahkan aku ya — jika kalian nanti dikejar-kejar beruang, jatuh dari pesawat terbang, atau kapal kalian terdampar nanti!" "Tidak mungkin,", kata Lucy-Ann. "Tapi kalau mimpi buruk nanti pun tidak apa. Kan sekarang Anda sudah ada, jadi pasti dalam mimpiku itu Anda kemudian muncul untuk menyelamatkan diriku!" Pelayan datang mengantarkan makanan yang dipesan, ia tersenyum ramah, ia juga membawa dua piring berisi pisang. Masing-masing satu, untuk Kiki dan Miki. Kiki kagum melihat pisangnya ditaruh di atas piring. Setiap kali sehabis mematuknya, pisang itu diletakkannya kembali. Anak-anak tertawa geli melihat tingkahnya. "Wah, Kiki sudah sopan sekali sekarang," kata Bill sambil menggigit roti sandwich-nya. "Hmm, sedap! Sudah berapa jam perutku tidak terisi! Nah — bagaimana kabarnya, Anak- anak?" "Banyak sekali yang hendak kami ceritakan, Bill," kata Jack. "Menarik, deh! Kami secara kebetulan mengetahui suatu hal yang sangat asyik!" "Ya, ya, aku tidak heran," kata Bill. "Tapi jangan sangka kalian bisa menyeret aku ke dalam petualangan gila-gilaan lagi kali ini! Sudah cukup sering aku ikut terlibat dalam urusan kalian yang aneh-aneh! Aku kemari ini, ingin menikmati pesiar yang tenang dan santai!" Tiba-tiba ia dikagetkan oleh suara jeritan Kiki. "Miki! Kau merampas pisang Kiki!" kata Jack. "Pukul dia, Philip. Kalau tidak, sebentar lagi pasti akan pecah perang di antara mereka berdua. Ya, Kiki — nantilah, kupesankan pisang lagi untukmu. Kasihan! Itulah, kalau sok sopan. Sudah bagus-bagus kau meletakkan pisangmu kembali ke piring setiap kali sudah menyuap — eh, si Miki Bandel datang merampas!" "Lucu monyet kecil ini," kata Bill. Digelitiknya Miki di bawah dagu. "Tentunya punyamu ya, Philip! Aku tidak bisa mengerti, kenapa selalu ada saja binatang yang ikut denganmu, ke mana pun kau pergi. Coba kuingat-ingat sebentar — kau pernah memelihara anak ajak — kadal — cecak ular — anak kambing berbulu putih mulus — dua ekor burung puffin — tikus putih — dan sekarang monyet! Yah, aku tidak berkeberatan — selama yang kaupelihara bukan kuda Nil atau sekawanan singa!" Anak-anak sebenarnya ingin cepat-cepat bercerita tentang peta harta karun. Tapi mereka merasa lebih baik Bill diberi kesempatan makan dulu. Sambil makan Bill bercerita bahwa ia masih sempat menjemput Bu Mannering di pelabuhan udara di Inggris, lalu mengantarnya sampai stasiun. Setelah itu Bill berangkat naik pesawat terbang pribadinya. "Seorang diri?" tanya Jack. “Tidak, dengan teman — Tim Curling! Kurasa kalian belum kenal dengan dia," kata Bill. "Kau tidak mau lagi rotimu itu, Lucy-Ann? Baiklah, kalau begitu biar aku saja yang menghabiskannya. Hmm — ya, Tim juga ikut, dan tadi kutinggal untuk mengurus pesawat terbang, ia bermaksud hendak menyewa perahu motor, lalu berkeliling-keliling di sini." "Ah — aku juga kepingin," kata Dinah. "O ya?" Bill tercengang. "Kusangka kalian senang berada di kapal besar yang nyaman ini. Kalian kan sudah sering naik sampan, perahu layar, dan perahu motor — jadi sekali-sekali enak juga naik kapal sebesar ini." "Memang, tapi — Bill, Anda mau tahu kabar kami?" kata Jack bersemangat Bill mengunyah potongan roti yang penghabisan, lalu meneguk minumannya sampai habis, ia menguap lebar-lebar, yang langsung ditirukan Kiki. "Apakah itu tidak bisa besok saja?" katanya, ia tertawa ketika melihat tampang anak-anak yang kecewa, lalu menyambung. "Ya, baiklah! Ceritakan saja!" "Ambil kapal-kapalan kita, Lucy-Ann," kata Jack. "Cepat! Keempat potong peta sudah ada padaku. Kalau kau sudah kembali, baru kita mulai." Lucy-Ann bergegas pergi. Tidak lama kemudian ia sudah kembali, dengan napas terengah-engah, ia memegang kapal-kapalan. Bill mengambil benda itu, lalu mengamat-amatinya. "Ini barang berharga," katanya. "Bagus sekali buatannya. Di mana kalian memperolehnya?" Dengan segera keluarlah cerita tentang Lucy-Ann yang bersama Lucian menemukan botol berisi kapal-kapalan, lalu membelinya untuk hadiah bagi Philip pada hari ulang tahunnya. Sambil berbisik-bisik supaya tidak terdengar orang lain, anak-anak bercerita tentang botol yang pecah, lalu tentang bagaimana mereka menemukan kertas tergulung di dalam kapal- kapalan itu. Kemudian Jack mengeluarkan kertas yang ternyata peta itu, yang masih berupa empat potongan terpisah. Bill memandangnya sebentar dengan penuh minat. Kemudian ia berdiri. "Kita ke kabinku," katanya. "Kurasa lebih baik di sana saja kita meneruskan pembicaraan. Ini benar-benar luar biasa." Anak-anak sangat bergembira melihat tanggapan Bill terhadap kisah mereka. Mereka berbondong-bondong menuruni tangga yang menuju ke kabin. Beramai-ramai mereka memasuki kabin Bu Mannering, yang kini ditempati Bill. Semuanya duduk di atas tempat tidur, bersesak-sesak. Bill duduk di tengah-tengah. "Tolong geserkan Miki sedikit," katanya. "Aku kepanasan, karena napasnya menghembus ke tengkukku. Nah — sekarang, mana peta tadi? Sekilas saja kulihat bahwa barang itu sudah tua sekali. Tapi kenapa terpotong empat?" Anak-anak menceritakan sebabnya. Mereka menceritakan hikayat kuno tentang harta Andra yang hilang. Mereka bercerita tentang tingkah laku Pak Eppy yang aneh, lalu kepergian orang itu secara tiba-tiba — begitu pula tentang kekhawatiran mereka. Bill mendengarkan dengan tekun. Sekali-sekali ia mengajukan pertanyaan singkat Ketika anak-anak sudah selesai dengan cerita mereka, Bill mengambil pipanya lalu mengisinya lambat-lambat Anak-anak menunggu. Mereka tahu bahwa Bill sedang sibuk berpikir. Dengan harap-harap cemas mereka menunggu komentarnya. Bagaimana pendapat Bill tentang kisah mereka tadi? Akan seriuskah tanggapannya? Dan — apakah ia akan melakukan sesuatu mengenainya? "Yah," kata Bill sambil menyelipkan tangkai pipanya ke mulut lalu mencari-cari korek api sebentar. "Yah — kelihatannya kalian memang menemukan sesuatu yang menarik. Tapi pendapatku ini kudasarkan pada sikap Pak Eppy — bukan pada peta kalian. Soalnya, aku tidak begitu memahami aksara Yunani, jadi tidak tahu tepat apa arti tulisan yang ada di situ. Kalian sudah bertindak dengan cerdik ketika minta tolong dibacakan — dan kalian juga berhasil menghubung-hubungkan fakta dengan baik — misalnya saja menemukan tulisan yang berbunyi 'Andra' di sisi kapal-kapalan ini; lalu kemudian melihatnya lagi pada peta." "Ya — itu kebetulan sekali," kata Jack. "Tapi bagaimana, Bill, aslikah peta ini? Maksudku — adakah kemungkinan di sini benar-benar digambarkan tempat harta kuno itu disembunyikan?" "Wah, kalau itu aku tidak tahu," kata Bill sambil menghembuskan asap pipanya. "Sungguh, aku belum bisa mengatakan apa-apa mengenainya! Peta ini harus kuperlihatkan dulu pada ahli yang bisa menguraikan maknanya dengan tepat. Kecuali itu aku juga perlu menyelidiki apa saja yang bisa diketahui tentang hikayat Andra itu — karena kan bisa saja hanya merupakan dongeng semata-mata! Aku juga perlu melihat apakah benar-benar ada pulau bernama Thamis, dan seperti apa wujudnya." "Pulau itu memang ada," kata Jack dengan bangga. "Aku sudah menemukannya di atlas." Tiba-tiba Bill tertawa. "Aneh — kenapa kalian ini kelihatannya selalu saja seakan-akan secara kebetulan mengalami kejadian yang luar biasa," katanya. "Kusangka kita akan bersama-sama menikmati pesiar yang tenang dan indah. Eh — tahu-tahu aku sekarang harus mencari orang yang ahli tentang dokumen kuno untuk ku mintai tolong menerjemahkan teks berbahasa Yunani. Mana bahasanya sudah begitu kuno, sehingga mungkin tidak bisa ditafsirkan dengan tepat. Dan kalau teks itu ternyata ada apa-apanya, kurasa setelah itu kita harus mendatangi pulau itu — apa namanya — o ya, Thamis!" "Wah, Bill! Anda benar-benar mau?" seru Jack dengan gembira, sementara Philip melonjak- lonjak di tempat tidur sehingga semua nyaris saja terjatuh ke lantai. Dinah berangkulan dengan Lucy-Ann. Mata mereka bersinar-sinar. Keempat remaja itu senang sekali, karena Bill ternyata tidak meremehkan cerita mereka. "Sekarang kita tidur saja dulu," kata Bill. "Hari sudah larut malam. Besok pagi kita akan berembuk lagi. Tapi jangan terburu bergembira, karena saat ini yang bisa kita lakukan bani menunjukkan peta ini pada salah seorang ahli. Lalu setelah itu melihat-lihat sebentar ke Thamis, jika letaknya tidak terlalu jauh. Bagaimanapun, kita sekarang kan sedang pesiar dengan kapal." Anak-anak berdiri, walau dengan enggan. Bill mengantar mereka ke kabin masing-masing. "Aku ke geladak sebentar, menghabiskan pipaku," katanya sambil melangkah pergi. "Selamat tidur!" Keesokan harinya pagi-pagi sekali Jack dan Philip tiba-tiba bangun, lalu cepat-cepat duduk, Cahaya matahari masuk samar-samar lewat lubang tingkap yang tertutup tirai. Jauh di bawah mereka terdengar bunyi aneh. "Itu mesin kapal," kata Jack dengan lega. "Aku sudah takut saja tadi, karena tidak tahu bunyi apa itu! Tapi kenapa aneh bunyinya? Ada apa?" "Nah — sekarang berhenti," kata Philip setelah mendengarkan sebentar. "Sekarang terdengar lagi — itu, duk, duk, duk! Bunyinya lain daripada biasanya — tidak halus! Asal jangan rusak saja!" "Sekarang berhenti lagi," kata Jack. "Yah — apabila ada bahaya, pasti sirene kapal akan dibunyikan, dan pelayan kabin akan datang menggedor-gedor pintu." "Ya — dan jaket pelampung kita ada di dalam lemari, jadi tak ada yang perlu kita cemaskan," kata Philip, ia masih mengantuk. "Yuk, kita tidur lagi. Kurasa tidak ada apa-apa." Tapi ketika mereka bangun lagi, mesin kapal ternyata belum terdengar kembali. Kapal berhenti di tengah laut yang biru gelap, terangguk-angguk sedikit Pulau yang ada pelabuhan udaranya belum jauh ditinggalkan. Baru sekitar satu sampai dua mil. "Aneh!" kata Jack, lalu cepat-cepat berpakaian, ia menggedor pintu kabin anak-anak perempuan ketika ia lewat bersama Philip. Kemudian keduanya cepat-cepat lari ke atas, menuju geladak. Di sana ada teman mereka, Perwira Dua. "Ada apa?" tanya mereka padanya. "Apa sebabnya kita berhenti?" "Mac agak mengalami kesulitan dengan mesinnya," kata perwira itu. "Tapi sebentar lagi pasti sudah beres." Saat itu anak-anak melihat Bill datang menghampiri, ia sudah agak lama juga bangun, dan saat itu sedang berjalan mengelilingi geladak untuk berolahraga, ia menyambut dengan senyum lebar ketika kedua remaja itu bergegas mendatangi. "Nah, kalian sudah siap untuk sarapan? Aku lapar sekali! Halo, Miki! Halo, Kiki!" "Miki-Kiki-Miki-Kiki, Miki-Ki..." Kiki mulai mengoceh, tapi terhenti karena paruhnya dijentik Jack. "Sudah, cukup! Sana, kau juga perlu berolahraga sedikit. Kejar burung-burung camar itu!" Tapi Kiki malas, karena bosan mengganggu burung camar terus-menerus. Kecuali itu ia pun ingin sarapan pagi. Baginya sarapan di kapal itu sedap sekali, karena selalu tersedia buah jeruk besar. Kiki suka sekali makan buah itu, apalagi buah ceri yang diletakkan di atasnya. Selesai sarapan, anak-anak mengantar Bill melihat-lihat kapal. Mereka tidak diperbolehkan masuk ke ruang mesin, karena ada kerusakan. Mac marah-marah terus. Sepanjang malam ia sibuk membetulkan, tapi belum beres juga. Pagi itu juga pada papan pengumuman dipasang maklumat. "Karena ada gangguan pada mesin kapal, Viking Star terpaksa kembali ke pelabuhan. Pemberitahuan selanjutnya pukul enam petang ini." Teriring bunyi mesin yang berdentang-dentang, Viking Star berlayar kembali dengan pelan menuju pulau yang ada pelabuhan udaranya. Perahu motor berduyun-duyun mendatangi, karena ingin tahu apa yang terjadi. Satu di antaranya dikemudikan teman Bill. Tidak lama kemudian ia sudah berada di atas kapal. Bill memperkenalkan temannya itu pada anak-anak. "Tim, ini dia keempat remaja yang kuceritakan itu. Hati-hati menghadapi mereka, kalau tidak ingin ikut terseret ke dalam petualangan yang berbahaya! Remaja yang begitulah mereka ini. Kautaruh mereka di tengah gunung es yang sunyi dan terpencil, mereka pasti masih juga bisa menemukan petualangan!" Anak-anak langsung suka pada Tim Curling. Orangnya lebih muda dari Bill. Rambutnya tebal dan ikal acak-acakan dipermainkan angin. Matanya hijau, seperti mata Lucy-Ann. Mukanya juga banyak bintiknya, seperti muka Jack dan Lucy-Ann. Sedang tertawanya kocak sekali. Mau tidak mau orang juga tertawa mendengarnya. "Kalau begitu lebih baik kalian ikut saja denganku," katanya pada Bill. "Kita kembali ke pulau. Tempat itu menarik!" "Baiklah — kita melancong sehari bersama-sama," kata Bill. ia menoleh ke arah anak-anak. "Ayo cepat — kita turun ! Bab 16, BILL MENGADAKAN PENYELIDIKAN Asyik juga mereka melancong di pulau. Mereka berkeliling-keliling naik mobil yang disewa oleh Tim. Siangnya mereka makan di kota yang letaknya di tengah pulau. Kota itu lumayan besarnya, dengan toko-toko, bis kota, serta gedung-gedung bioskop. Sehabis makan Bill mengatakan hendak pergi sebentar. "Aku tadi mendengar bahwa di sini ada seorang tua yang benar-benar ahli tentang naskah kuno,'' katanya pada anak-anak. "Salah seorang yang paling ahli. Kita sedang mujur rupanya! Aku hendak ke tempatnya sekarang. Keempat potongan peta itu kaubawa kan, Jack?" Jack mengangguk. Anak-anak berpendapat bahwa lebih baik barang berharga itu dibawa saja, daripada ditinggal di kapal. Jack menyerahkan keempat potong peta dalam sampul itu pada Bill. "Mudah-mudahan saja ahli itu akan mengatakan bahwa peta ini asli," katanya bersungguh-sungguh. "O ya — Tim perlu kita beri tahu atau lebih baik jangan?" "Bilang saja," kata Bill. "Tim bisa dipercaya! Tapi apakah ia mau percaya pada cerita kalian, itu lain perkara!" Ketika Bill sudah pergi, anak-anak menceritakan rahasia mereka pada Tim Curling. Mulanya orang itu nyengir-nyengir. Kelihatannya ia cenderung menganggap hikayat yang diceritakan itu dongeng belaka. Tapi melihat wajah anak-anak yang begitu serius, akhirnya ia lantas berusaha bersikap serius, ia menyadari bahwa anak-anak sangat meyakininya. "Menarik sekali," katanya ketika anak-anak selesai bercerita. "Ketika aku dulu masih sebesar kalian, aku pun percaya sekali pada segala cerita tentang harta karun. Bill baik hati, mau mengusahakan penjelasan tentang peta kalian itu." Anak-anak melihat bahwa Tim tidak memberikan tanggapan serius. Karenanya mereka menghentikan percakapan tentang soal itu. Mereka agak kecewa. Lucy-Ann mulai agak sangsi. Jangan-jangan kisah tentang harta Andra itu memang dongeng belaka! Tapi tidak mungkin — karena kalau soal itu hanya kisah karangan orang saja, Pak Eppy takkan bersikap begitu aneh. Lama sekali Bill pergi, sampai anak-anak merasa bosan menunggu, ia baru kembali ketika Tim baru saja hendak mengajak mereka pergi dengan mobil ke sebuah bukit berbentuk aneh yang nampak di kejauhan. "Maaf, jika aku terlalu lama," kata Bill. "Aku berhasil menemukan orang itu. Orangnya sudah tua sekali, seakan-akan berasal dari abad kelima belas. Dan lambannya bukan main! Aku sampai kesal melihat gerak-geriknya yang serba pelan. Tapi ia memang benar-benar ahli." "Lalu apa katanya?" tanya Jack. Mukanya merah karena memendam rasa ingin tahu. "Asli! Itu sudah pasti," kata Bill. Anak-anak menghembuskan napas lega. "ia tidak bisa mengatakan apakah merupakan salinan peta yang lebih tua lagi, atau buatan seabad yang lalu — kemungkinannya campuran, katanya tadi. Pulau itu memang Thamis. Tertulis jelas pada peta! Tapi kalau tidak tertulis pun, masih bisa dikenali dari bentuknya yang satu ujungnya aneh." "Ya, aku juga melihatnya," kata Philip. "Lalu?" "Naskah kalian terdiri dari dua bagian yang berbeda," sambung Bill. "Yang satu menunjukkan pulau, dengan tanda yang mungkin kota atau pelabuhan. Orang tadi tidak bisa memastikan, karena belum pernah ke sana. Sedang bagian yang satu lagi menunjukkan kota atau pelabuhan itu — dan kelihatannya merupakan petunjuk untuk menuju ke suatu tempat di situ, di mana terdapat sesuatu yang berharga, ia tidak bisa mengatakan apakah itu harta, atau mungkin juga bangunan seperti kuil atau bahkan mungkin juga makam, ia hanya tahu bahwa itu berharga bagi orang yang pertama-tama menggambar peta kalian." Anak-anak mendengarkan dengan penuh perhatian. Kabar itu benar-benar menggembirakan! "Tapi — apakah ia tidak mengatakan bahwa itu peta harta Andra?" tanya Jack. "Rupanya ia tidak begitu mengenal kisah kalian itu," jawab Bill. "Katanya, ada beratus-ratus hikayat tentang bajak laut, kapal harta, penculikan, dan macam-macam lagi — dan kebanyakan tidak ada dasar kebenarannya. Jadi tentang soal itu tidak banyak yang dapat dikatakan olehnya. Tapi ia cenderung mengatakan bahwa yang tertera di peta itu sebuah kuil." "Kalau aku, aku yakin bahwa itu harta Andra," kata Lucy-Ann. Matanya bersinar-sinar. "Kemudian aku minta pada orang tadi agar menyalinkan peta itu untuk kita, sedang tulisan yang beraksara Yunani diganti dengan tulisan kita," kata Bill meneruskan. "Bahasa Inggrisnya bagus sekali." Ia membentangkan selembar kertas yang putih bersih di atas pangkuannya. Pada kertas itu nampak garis-garis halus serta berbagai tulisan. Anak-anak mengamat-amati dengan kepala tertunduk. Mereka begitu asyik, sampai tidak ada yang berbicara selama beberapa saat. Ya — naskah kuno itu sudah disalin ke dalam bahasa Inggris — dan garis-garis pudar pada peta yang asli di sini nampak jelas sekali. Asyik! Bahkan Tim pun ikut tertarik melihatnya. Nampaknya ia sudah hampir percaya. Jack menyimak beberapa di antara tulisan-tulisan itu sambil berbisik-bisik, "Lorong Buta — Makam Bawah Tanah — Dua Jari — Dewi — Burung — Lonceng... wah, apa arti semuanya ini? Apakah di kota atau pelabuhan kuno itu ada lorong-lorong buta dan makam-makam bawah tanah? Apakah harta itu dibawa ke situ?" "Itu tidak kita ketahui. Kita hanya tahu bahwa di sini ditunjukkan jalan ke suatu tempat tertentu di kota itu, di mana bisa ditemukan benda berharga tertentu—jika tidak sudah ditemukan dan diambil orang, atau dimusnahkan," kata Bill. "Tapi kalian jangan lupa, peta ini yang asli umurnya sudah ribuan tahun — jadi jalan yang ditunjukkan di sini mungkin sudah tidak ada lagi sekarang. Kemungkinan itu bahkan besar sekali." "Begitu pendapat Anda, Bill?" tanya Dinah dengan nada menyesali. "Kalau aku harus jujur — ya, begitulah pendapatku," kata Bill. "Kurasa peta ini asli—tidak ada keraguan lagi tentang hal itu. Tapi di pihak lain, kejadiannya kan sudah begitu lama berlalu, jadi boleh dibilang tak ada harapan lagi akan bisa menemukan jalan rahasia yang digambarkan di sini. Kemungkinannya sudah dibongkar atau dilupakan orang, sehingga jalan masuk ke lorong buta atau makam bawah tanah itu kini tidak ada lagi." "Tapi — tapi Pak Eppy kelihatannya beranggapan bahwa masih ada harapan," kata Philip. "O ya, aku jadi ingat lagi — laki-laki tua yang kudatangi tadi, ia kenal pada Pak Eppy. Katanya Pak Eppy keranjingan sekali tentang soal-soal begini, dan macam-macam saja gagasannya yang aneh-aneh," kata Bill. "Kerjanya membeli pulau lalu menjualnya lagi, seperti orang lain membeli buku, permadani, atau lukisan! Laki-laki tua itu mengatakan pula bahwa Pak Eppy memang luas sekali pengetahuannya tentang pulau-pulau di sini, begitu pula tentang barang-barang antik yang ditemukan di situ. Tapi bahwa Pak Eppy mempercayai kebenaran suatu peta kuno, itu belum berarti ada sesuatu yang bisa diributkan. Kalau mendengar cerita orang tadi, duduk persoalannya malah sebaliknya! Karena Pak Eppy begitu keranjingan pada benda-benda kuno, ia langsung saja percaya pada apa yang tertera pada peta kalian!" "Sial!" kata Jack. "Jadi kemungkinannya kita ini ribut-ribut tanpa alasan." "Ya, kemungkinannya memang begitu," kata Bill sependapat. "Walau begitu kalau ada kesempatan — tapi kurasa tidak — aku sama sekali tidak berkeberatan menyewa perahu motor, lalu pergi melihat-lihat sebentar ke Pulau Thamis itu." "Ah, mudah-mudahan saja bisa," kata Lucy-Ann. "Aku ingin sekali melihatnya." "Bisa saja kalian kuantarkan ke sana," sela Tim secara tiba-tiba. "Itu jika letaknya tidak terlalu jauh dari sini." "Tidak ada waktu," kata Bill sambil melipat peta. "Kau tahu kan, pukul enam nanti kita sudah harus kembali ke kapal. Tapi walau begitu terima kasih, Tim. Nah — kurasa kita kembali saja sekarang, supaya jangan terlambat" Ketika mereka tiba kembali di Viking Star, hari sudah sore. Sudah pukul setengah enam. Kapal itu kini sudah disandarkan ke dermaga. Bagus sekali kelihatannya, putih mulus. Tapi tidak kelihatan kesibukan yang biasa nampak apabila kapal akan segera berangkat. Para penumpang berbondong-bondong naik lewat tangga kapal. Lucian ada di tengah mereka, bersama bibinya. Sehari penuh anak-anak tidak berjumpa dengannya. Paling-paling hanya nampak di kejauhan saja. Lucian melambai ke arah mereka sambil berseru-seru. "Bukan main — ke mana saja kalian sehari ini? Bibiku ingin mengajak kalian makan siang di tempat keluargaku di pulau ini." "Wah, sayang — tapi kami sudah punya rencana lain!" balas Jack sambil berseru pula. "Lain kali sajalah!" "Siapa dia?" tanya Bill. "Ah — pasti dia itulah A Lucian, keponakan Pak Eppy kalian. Dia merepotkan, ya?" "Ah, lumayan," kata Philip. "Lihat — di papan pengumuman tergantung kertas maklumat yang besar. Kita baca sebentar yuk!" Anak-anak membaca pengumuman itu dengan penuh perhatian. "Dengan sangat menyesal diberitahukan pada penumpang bahwa Viking Star terpaksa tinggal selama sehari-dua di pelabuhan ini, menunggu mesin selesai dibetulkan. Para penumpang dapat tetap tinggal di atas kapal jika mengingininya, atau tinggal di hotel yang disediakan perusahaan, atau memakai perahu-perahu motor yang disediakan oleh perusahaan bagi penumpang yang ingin menjelajahi daerah Laut Aegea yang romantik ini. (Ttd) L. Petersen, Nakhoda." Anak-anak secara serempak mendapat pikiran yang sama. Mereka berpandang-pandangan dengan mata bersinar-sinar. "Jadi kita bisa, kan?" kata Lucy-Ann. Anak-anak yang lain langsung mengerti. Jack mengangguk. Wajahnya berseri-seri. Kemudian ia menggandeng Bill. Bill menoleh ke arah anak-anak. Ia tersenyum lebar, lalu tertawa ketika melihat wajah empat remaja yang memandangnya dengan bergairah. Keempat wajah itu memancarkan pertanyaan yang serupa. "Dengan begitu kita bisa ke Thamis — itu kan yang ingin kalian ketahui," katanya. "Yah— kenapa tidak? Nampaknya kita akan berada di sini selama beberapa hari. Dan apabila perusahaan pelayaran yang memiliki kapal ini menyediakan perahu motor untuk kita, yah — kita terima saja tawaran mereka!" "Bill! Bill! Asyik!" seru anak-anak serempak. Jack dan Philip saling bertepuk-tepukan punggung, sedang anak-anak yang perempuan meremas lengan Bill sampai ia terpekik. Kiki dan Miki cepat-cepat lari mengamankan diri ke atas papan pengumuman. Mereka kaget melihat kelakuan anak-anak yang tiba-tiba saja berubah. "Sudah, sudah!" kata Bill. Ia masih tertawa melihat semangat anak-anak yang begitu menggelora. "Sekarang kita naik ke geladak atas, lalu mengatur rencana sebentar, sebelum kita berganti pakaian untuk makan malam." Mereka pergi ke sudut geladak tempat berjalan-jalan, di mana mereka paling sering duduk- duduk. "Tak kusangka nasib kita akan semujur ini," kata Jack dengan gembira. "Semula kita sudah putus asa, tapi kini tahu-tahu terjadi sesuatu — dan segala-galanya beres!" "Ya, memang! Dari semula kita sudah tahu bahwa kita tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Bill, dan selama ini ia tidak ada bersama kita," kata Lucy-Ann. "Tapi kini secara tiba-tiba saja ia datang." "Tapi setelah itu kita masih menyangka takkan bisa berbuat apa-apa, karena kita harus ikut pesiar terus dengan kapal," kata Dinah. "Tapi kini kapal terpaksa berhenti, jadi kita bisa pergi!" "Luar biasa, kenapa kalian selalu saja bisa mendapat apa yang kalian inginkan," kata Bill. "Sekarang urusan perahu motor. Menurut pendapatku, lebih baik kita menyewa sendiri. Soalnya jika kita memakai perahu yang disediakan perusahaan, kita nanti harus bersama penumpang-penumpang lain — dan belum tentu mereka ingin pergi ke Thamis." "Dan kita pun tidak ingin ada yang ikut dengan kita," kata Jack. "Tidak — lebih baik kita menyewa perahu motor sendiri. Tim juga ikut?" "Ia punya rencana lain," kata Bill. "Tapi kita tanyakan saja padanya, siapa tahu ia ingin ikut Yah — perjalanan itu pasti akan mengasyikkan. Malam ini aku perlu mencari keterangan dulu, di mana tepatnya letak Pulau Thamis. Akan kutanyakan sebentar pada Perwira Dua, apakah di kapal ini ada awak yang bisa memberi penjelasan mengenainya. Kita harus mengetahui arahnya yang tepat jika tidak ingin berputar-putar terus di perairan sini selama berminggu- minggu!" "Hmm, asyik!" kata Lucy-Ann dengan nada puas. "Aku tidak sabar lagi menunggu besok. Jack, Philip—akhirnya kita jadi juga pergi ke pulau harta itu. Kita benar-benar akan ke sana!" Bab 17, KE THAMIS Dengan segera Bill sudah memperoleh keterangan yang diperlukannya. "Itulah enaknya jadi orang dewasa," kata Dinah. "Orang dewasa kelihatannya selalu berhasil mengetahui apa saja, dan mengurus persoalannya dengan cepat." "Ya — Bill kini sudah tahu di mana letak Pulau Thamis — ia menemukan peta pelayaran ke sana, dan menemukan pula seorang pelaut Yunani yang memiliki perahu motor serta tahu jalan!" kata Jack kagum. "Bagaimana semuanya itu bisa dilakukannya dengan begitu cepat?" tanya Lucy-Ann. "ia mendatangi seorang kelasi Yunani yang bekerja di bawah, dan ternyata kelasi itu punya saudara yang menyewakan perahu motor," kata Philip. Anak-anak sudah selesai sarapan pagi. Pelayan meja makan yang baik hati membekali mereka dengan beberapa bungkus besar makanan. "Saya juga membekalkan sebuah jeruk besar, dua buah ceri, dan empat pisang untuk Tuan Miki dan Nona Kiki," kata pelayan itu dengan mata berkilat-kilat jenaka. Lucy-Ann tercekikik geli. "Nona Kiki — lucu sekali kedengarannya! Kau dengar tidak tadi, Kiki? Nona Kiki!" "Nonakiki, nonakiki!" oceh Kiki, lalu terkekeh-kekeh keras. Beberapa saat kemudian mereka menuruni tangga kapal, pergi ke dermaga. Ternyata Tim ada di bawah, ia sudah mendengar kabar kapal belum bisa berangkat. "Selamat pagi," katanya pada Bill. "Ada yang bisa kulakukan untuk kalian?" "Hari ini kami ingin ke Pulau Thamis, melihat-lihat di sana," kata Bill. "Aku sudah menyewa sebuah perahu motor dari seorang Yunani yang kelihatannya tahu jalan ke sana. Mau ikut?" “Yah—jika kalian sudah punya rencana sendiri, aku tidak ikut sajalah," kata Tim. "Ada orang yang ingin pesiar naik pesawat terbang. Bolehkah aku memakai pesawat terbang hari ini?" "Tentu saja boleh," jawab Bill. "Dan nanti jika terbang di atas Thamis, jangan lupa melambai," kata Jack. "Beres," kata Tim sambil nyengir. "Nanti akan kucari di peta, di mana letak pulau itu. Kalian tunggu saja — nanti kami pasti lewat!" Setelah Tim pergi, datang seorang laki-laki Yunani yang bertubuh kecil. Matanya berseri-seri, sedang senyumnya agak malu-malu. ia memberi hormat, lalu berbicara dalam bahasa Inggris yang patah-patah. "Aku Andros, Pak! Saudaraku, dia bilang Anda mau pakai kapalku. Itu dia, Pak." "Ya, betul. Terima kasih, Andros," kata Bill. Diperhatikannya perahu motor yang ditambatkan di sisi dermaga. "Kapalmu bagus sekali. Nah — kau katanya tahu jalan ke Thamis. Betul?" "Thamis? Tahu, Pak. Tapi di Thamis tidak ada apa-apa. Andros bawa ke pulau lain saja, lebih bagus." "Terima kasih, tapi kami ingin ke Thamis," kata Bill tegas. Andros nampaknya heran, kenapa mereka begitu berkeras ingin pergi ke Thamis. "Thamis pulau miskin," katanya sekali lagi. "Wisatawan tidak ke sana, Pak. Kubawa ke tempat lain — lebih bagus." "Kau ini tahu tidak, jalan ke Thamis?" kata Bill. "Aku mendapat kesan bahwa kau tidak tahu." Andros mengangguk-angguk beberapa kali. "Ah —jadi kau tahu. Kalau begitu kita ke Thamis—dan jangan tunggu lama-lama lagi!" "Thamis, Pak," kata Andros. "Ya, ya, Thamis. Beres. Pulau kuno. Kuno sekali! Tapi sekarang tidak ada apa-apa lagi, Pak." ia memandang Kiki dan Miki dengan penuh minat "Mereka juga ikut?" "Tentu saja," kata Jack. Ia melangkah masuk ke perahu, lalu menolong Dinah dan Lucy-Ann. "Yuk, Bill, Pak!" "Bilpak, bilpak!" teriak Kiki. "Cul si kadal muncul! Dor, cul, hidup Ratu!" Andros menatap Kiki dengan mulut ternganga. Miki meloncat ke bahu orang itu lalu kembali ke bahu Jack, sambil ribut berceloteh, ia ikut bersemangat, ditulari anak-anak. Monyet kecil itu bahkan menarik ekor Kiki. Itu tindakan yang konyol, karena Kini Kiki pasti akan membalas. Dan ekor Miki panjang sekali. Asyik menarik-nariknya! Andros menghidupkan mesin. Perahu motor itu bergerak lambat-lambat keluar, meninggalkan pelabuhan tempat Viking Star tertambat di dermaga. Tidak lama kemudian mereka sudah berada di laut terbuka, meluncur sambil terangguk-angguk di atas air yang kadang-kadang memutih puncak ombaknya. Rambut Dinah dan Lucy-Ann tergerai lurus ke belakang dihembus angin. Mereka tertawa- tawa senang, merasakan wajah mereka seperti dibelai-belai. Sejuk rasanya, setelah tadi kepanasan di kapal. "Berapa jauh Thamis dari sini?" tanya Bill. Andros menoleh. "Empat jam, lima jam," jawabnya. "Kau sering ke sana?" tanya Bill lagi. "Tidak, Pak! Pulau miskin. Aku ke Janos, pulau satu lagi dekat situ, tempat tinggal kakakku," kata Andros. "Thamis pulau mati, Pak." "Apa maksudnya?" tanya Jack heran. "Pulau miskin yang mati. Kedengarannya sama sekali tidak menarik!" "Ah, mestinya di sana pasti ada pelabuhan atau kota," kata Philip. "Itu, yang tertera di dalam peta. Kalau melihat gambarnya, mestinya lumayan juga besarnya. Tentunya banyak juga penghuninya. Jadi ada toko dan yang lain-lainnya. Tidak bisa dibilang kota mati, kalau begitu." Perjalanan ke Thamis menyenangkan sekali. Laut agak berombak, tapi mengasyikkan. Perahu motor yang ditumpangi mereka meluncur, seakan-akan hidup. Tengah hari mereka makan di perahu. Semua memuji pelayan yang membekali mereka makanan yang begitu enak. "Roti sandwich lima macam — kue empat macam — biskuit manis yang lumayan banyaknya — roti bundar dengan mentega, keju, dan tomat— lalu jeruk besar, buah ceri, dan pisang untuk Kiki dan Miki," kata Jack. Lucy-Ann makan dengan nikmat, sementara angin yang berhembus seperti mengelus mukanya, ia kelihatan bahagia sekali. Anak-anak yang lain memandangnya sebentar, lalu saling sikut-menyikut Mereka menunggu, karena tahu apa yang akan dikatakan oleh Lucy-Ann. Ketika anak itu membuka mulut, mereka cepat-cepat mendului dengan serempak, "Makanan rasanya selalu lebih enak jika dimakan di luar rumah!" Lucy-Ann melongo. "Aneh — aku baru saja hendak mengatakan hal yang sama," ucapnya. Anak-anak tertawa geli. "Kami juga tahu," kata Philip. "Kau selalu bilang begitu, Lucy-Ann. Karena itu ketika kau membuka mulut kami saja yang mengatakannya!" "Anak-anak konyol," kata Lucy-Ann sambil tertawa. Andros ikut tertawa pula. Ia suka pada keempat remaja itu serta binatang peliharaan mereka yang kocak-kocak. Tapi ia menolak ketika diajak makan bersama-sama. Ia memakan bekalnya sendiri, berupa roti berwarna kekelabuan, keju yang baunya menusuk hidung, serta sejenis minuman di dalam kendi. Kiki dan Miki makan berdampingan. Miki tidak suka merasakan hembusan angin kencang yang membalik-balik bulu tubuhnya. Kiki sama saja! Keduanya duduk bersama-sama di tempat yang terlindung dari gangguan angin, berbagi jeruk besar, buah ceri, serta pisang. Miki mengupas pisang, lalu menyodorkannya pada Kiki. "Cara mengupasnya seperti kita," kata Lucy-Ann. "Ia cekatan sekali kalau urusan begitu!" "Cekatan," kata Andros sambil menuding Miki. "Pintar dan cekatan. Dan baik hati!" Sayangnya Miki kemudian merusak anggapan baik itu. Dengan seenaknya saja ia mencampakkan kulit pisang, sehingga jatuh kena kepala pelaut Yunani itu dan menutupi mata kanannya. Kiki terkekeh, ia hendak meniru perbuatan Miki. Tapi Jack cepat-cepat menyambar kulit pisang dari cakarnya. "Bilpak, bilpak, pak pollypak," kuak Kiki sambil berusaha merebut kulit pisang itu kembali. Perahu motor melaju terus, melewati pulau demi pulau. Ada juga di antaranya yang agak besar, tapi umumnya kecil-kecil. Akhirnya Andros mengangkat tangannya, menuding ke arah timur. "Thamis," katanya. "Itu Thamis, Pak!" Semua cepat-cepat memandang ke arah yang ditunjuk. Mereka melihat pulau kecil samar- samar di kejauhan. Thamis! Betulkah itu Thamis, pulau kuno yang tertera di peta harta? Anak-anak menjulurkan tubuh ke depan. Dengan penuh gairah mereka memperhatikan wujud pulau yang semakin nampak jelas, sementara perahu motor melaju terus ke arahnya. Lucy-Ann mulai melamun. Ke sanalah armada kapal harta datang dengan sembunyi-sembunyi saat malam hari, sekian ribu tahun yang lampau, pikirnya. Sebentar lagi akan bisa dilihat kota yang tertanda di peta — kota tempat harta karun! "Mungkin salah satu kapal itu bernama 'Andra', seperti nama kapal-kapalan itu," kata Lucy- Ann dalam hati. "Mungkin kapal itu berlayar menuju tempat yang akan kita datangi sekarang. Sebentar lagi kota tua itu akan kelihatan." "Adakah pelabuhan yang baik di sana?" tanya Bill pada Andros. Orang Yunani itu kelihatan agak heran. "Wah — tidak ada, Pak! Sekarang tidak ada lagi pelabuhan. Cuma ada dua tempat mendarat. Aku, Andros, tahu kedua tempat itu. Kita ke bekas pelabuhan kota kuno." "Bagus," pikir Jack. "Jadi sebentar lagi kita akan sudah sampai di sana — di kota tua yang tergambar di peta. Mudah-mudahan tidak sudah menjadi terlalu modem, seperti kebanyakan kota di pulau-pulau lainnya. Nah — kita sudah dekat sekali sekarang." Di depan haluan nampak pantai berbatu-batu. Ombak laut memecah ke situ. Anak-anak memandang ke arah daratan, mencari kota yang hendak dituju. Mereka melihat bangunan- bangunan, sampai ke batas air. Aneh — kenapa tidak kelihatan dermaga? Kota pelabuhan tanpa dermaga — benar-benar aneh! Perahu motor diperlambat jalannya. Andros mengemudikan dengan waspada, jangan sampai lunas membentur karang. Kelihatannya orang itu memang tahu jalan, ia menuju ke selat kecil, lewat mana pantai bisa didekati. Anak-anak terdiam ketika perahu semakin mendekati pulau. Mata mereka terpaku ke arah kota. Ada sesuatu yang aneh di sana, berlainan dengan kota biasa. Kelihatannya — yah, — kelihatannya mati, pikir Lucy-Ann. Saat itu Jack baru teringat pada teropongnya, lalu cepat-cepat merapatkan alat itu ke mata. "Wah!" serunya. "Siapa yang akan menyangka?" "Apa?" seru anak-anak yang lain dengan tidak sabar. "Bangunan-bangunan di sana sudah runtuh semua," kata Jack sambil menoleh. "Itu kota puing! Sama sekali tak kusangka!" "Andros kan sudah bilang," kata pelaut Yunani itu. "Kubilang ini pulau miskin, pulau mati! Mungkin tinggal satu atau dua tempat pertanian. Kota sudah mati. Tidak ada orang lagi di situ. Semua pindah ke pulau-pulau lain." Perahu meminggir ke pantai. Air di situ dalam dan tenang. "Kalian turun dan aku tunggu di sini?" tanya Andros. "Tidak banyak yang bisa dilihat Ini pulau mati. Betul, Pak. Kubawa nanti ke tempat lain, yang lebih bagus." "Ya, kami turun, Andros," kata Bill. "Bawa bekal makanan kita, Jack. Nanti kita piknik di sela reruntuhan, sambil melihat-lihat. Kelihatannya menarik juga tempat ini." Dengan perasaan agak bingung, anak-anak meloncat dari perahu ke semacam pinggiran yang terdapat di pantai. Dari situ mereka mendaki tangga batu yang sudah aus, sampai ke tempat terbuka yang memanjang. Mestinya itulah jalan raya kota yang sudah tinggal reruntuhannya itu. Jalan itu sulit dilalui, karena penuh ditumbuhi rumput dan belukar. Di mana-mana nampak reruntuhan bekas bangunan. Bill mengamat-amati beberapa di antaranya dengan penuh minat. "Bangunan-bangunan ini sudah ratusan tahun umurnya," katanya. "Aku ingin tahu apa yang menyebabkan penghuninya pergi dari sini. Mungkin karena pulau ini tidak cukup menghasilkan bahan pangan. Kelihatannya memang gersang sekali!" "Ada suasana aneh di sini — begitu lengang! Aku merasa seperti hidup ratusan tahun yang lalu," kata Lucy-Ann. "Coba kota ini secara tiba-tiba bisa hidup lagi — penuh dengan penghuni dari zaman dulu yang hilir-mudik sepanjang jalan, menjenguk ke luar dari ambang jendela dan pergi melihat kapal-kapal di pelabuhan yang dulu mestinya ada di sini!" "Ah — lebih baik jangan, ah," kata Dinah. "Aku pasti setengah mati ketakutan apabila kota tak berpenghuni ini tiba-tiba ramai kembali dengan penduduknya yang dulu, karena mereka itu pasti hantu! Sekarang pun perasaanku sudah tidak enak." Kota tua itu dibangun di lereng bukit terjal. Bangunan-bangunannya yang tinggal puing kelihatan seperti berjenjang-jenjang, satu di sebelah atas yang lain. Ada yang tinggal dinding, ada pula yang hanya berupa kerangka. Ada juga yang kelihatannya masih bisa didiami. Tapi ketika anak-anak menjengukkan kepala ke dalam untuk melihat — ternyata atap dan dinding bangunan itu sudah berlubang-lubang. Hampir di puncak bukit terdapat reruntuhan kuil kuno. Beberapa lengkungan berbentuk indah masih nampak utuh. Pilar-pilar besar yang sudah patah-patah berdiri berjajar. Bill mengais rumput yang tumbuh di lantai. Ternyata lantai itu berhiaskan batu tempelan yang indah- indah. Bill menunjukkannya pada anak-anak. "Adakah sesuatu di sini yang tertera pada peta kita, Bill?" tanya Jack. Segala-galanya di situ nampak lain sekali dengan yang dibayangkannya semula, sehingga ia sekarang sangat sangsi apakah di tempat itu benar-benar tersembunyi harta karun. Bill mengeluarkan salinan peta yang baru dibuat satu hari sebelumnya. "Ini, lihat! — Mestinya di sinilah kita turun dari perahu tadi," kata Philip sambil menunjuk. "Di sini tertulis, Teluk Kecil'. Terusan tadi kan bisa juga disebut begitu, ya? Nah — dan awal jalan menuju harta itu letaknya di dekat sungai kecil itu?" “Yuk, Bill — kalau begitu kita kembali saja ke tempat tadi dan memulai pencarian dari situ," kata Dinah. Bill tertawa. "Kita ini benar-benar sudah sinting," katanya. "Tapi baiklah. Kita kembali ke sana — kebetulan searah dengan tempat perahu kita." "Sebentar! Kita ke puncak dulu, yuk!" ajak Jack. "Dari situ kita bisa memandang seluruh pulau. Kelihatannya tidak begitu besar." "Boleh juga," kata Bill. Mereka mendaki sampai ke puncak bukit. Dari sana mereka bisa memandang jauh sekali, sampai ke pantai di balik pulau. Laut di depannya nampak berombak. Buihnya kelihatan seperti berkejar-kejaran. Pulau itu gersang, berbatu-batu. Tapi di sana-sini masih nampak bidang-bidang berwarna hijau serta beberapa bangunan kecil. "Mestinya itulah tempat-tempat pertanian yang diceritakan Andros tadi," kata Bill. " ia memang benar — pulau ini miskin dan mati! Bukan begini pulau harta dalam bayanganku!" Mereka berpaling, lalu kembali ke arah kota. Mereka melangkah dengan hati-hati, jangan sampai tersandung batu. Ketika sudah setengah jalan, tiba-tiba Lucy-Ann tertegun, ia menelengkan kepala. "Aku mendengar sesuatu," katanya. "Aku juga," kata Dinah. "Bunyi genta!" Bab 18, KEJADIAN TAK TERDUGA Semua kaget mendengarnya. Aneh — tiba-tiba ada bunyi genta di tengah kota sunyi yang sudah lama tidak ada penghuninya lagi! Sementara itu bunyi tadi kian mendekat. “Teng-teng- teng." Kiki merapatkan diri ke pipi Jack. Rupanya ia agak takut. Sedang Miki berceloteh lirih. "Teng- teng-teng." "Datangnya dari balik sudut itu," kata Jack. Dan sesaat kemudian muncul penyebab bunyi itu. Ternyata seekor keledai! Keledai kecil berbulu kelabu, dengan genta besar tergantung di lehernya. Keledai itu membawa dua buah keranjang besar yang digantungkan pada kedua sisinya dan ditutupi kain putih. Penunggangnya anak laki-laki bertampang bandel. "Astaga!" desah Dinah. Ia terduduk di atas sebuah batu besar. Lega sekali hatinya setelah tahu bahwa yang mengejutkan mereka tadi ternyata hanya genta yang tergantung di leher seekor keledai. "Aku tidak tahu apa yang kusangka akan muncul!" "Kurasa anak kecil ini datang dari salah satu pertanian yang kita lihat dari atas tadi," kata Bill. ia agak bingung. "Tapi kenapa ia datang kemari? Di sini kan tidak ada siapa-siapa, kecuali kita sekarang ini." Kejadian yang menyusul kemudian lebih mengherankan lagi. Anak laki-laki itu tersenyum lebar, ketika melihat kelima orang yang sedang memperhatikan dirinya, ia meloncat turun dari punggung keledai, menuding keranjang-keranjang sambil meneriakkan kata-kata yang kedengarannya kacau-balau. Pasti itu bahasa penduduk setempat, kata anak-anak dalam hati. Kemudian anak tadi menuntun keledainya menghampiri mereka, lalu menyingkapkan kain putih yang menutupi barang-barang yang ada di dalam kedua keranjang. "Isinya makanan," kata Bill tercengang. "Roti — keju — dan daging. Eh, kenapa semuanya malah dikeluarkan?" Anak kecil itu mengeluarkan semua bawaannya sambil mengoceh terus. Kelihatannya ia tidak mengerti kenapa tidak ada yang membantunya, karena ia berbicara dengan nada tajam pada Jack dan Philip. Tapi tentu saja keduanya tidak memahami maksud anak itu. "He, untuk apa ini semua?" tanya Bill sambil menunjuk makanan yang ditumpukkan di tanah. Anak itu berbicara lagi dalam bahasanya. Ia menuding-nuding Bill, lalu menunjuk makanan yang dibawanya. "Aku tidak mengerti," kata Bill kesal. "Seolah-olah ia memang mengantar segalanya ini untuk kita." Sementara itu anak tadi naik ke punggung keledainya, lalu menyodorkan telapak tangannya ke arah Bill. Artinya jelas sekali — ia minta uang! "Sekarang aku benar-benar bingung," kata Bill. "Ini sambutan yang hebat atas kedatangan kita di Thamis — tapi sambutan yang tak disangka-sangka. Kami tidak memerlukan makanan ini, Nak! TIDAK PERLU! BAWA KEMBALI!" Anak laki-laki itu tetap saja belum mengerti, walau Bill sudah berteriak-teriak menjelaskan. Akhirnya anak itu marah. Ditepuknya telapak tangannya untuk menegaskan bahwa ia menagih pembayaran. Akhirnya Bill menyerah, ia merogoh kantungnya, lalu meletakkan sejumput uang kecil ke telapak tangan anak itu. Anak itu menghitungnya dengan seksama, mengangguk sambil nyengir lebar, lalu — meludah ke arah Miki! Miki membalas ludahannya, sedang Kiki menggeram-geram seperti anjing. Keledai yang ditunggangi anak itu cepat-cepat mundur sambil menguak dengan suaranya yang jelek. "I-aa, i-aa!" Kiki kaget—tapi hanya sebentar saja. Kemudian ditirunya suara keledai itu, bunyinya persis sekali. Anak laki-laki itu terpekik karena kaget. Dihentakkannya tumit ke perut binatang tunggangannya. Keledai itu langsung lari lalu membelok di sudut jalan, teriring bunyi genta berdentang- dentang. "Tengtengteng!" Bill duduk sambil menggaruk-garuk kepala. "Nah — apa kata kalian tentang kejadian ini?" katanya. "Ada hadiah makanan setempat yang enak, dari seseorang yang tidak kita ketahui siapa, dan yang sebenarnya tidak mungkin tahu kita ada di sini!" "Memang — agak aneh," kata Jack. "Tapi aku mau makan roti yang bundar itu. Kelihatannya enak!" Ternyata memang enak. Semua asyik makan, sambil saling bertanya-tanya tentang anak laki- laki yang secara tiba-tiba saja muncul tadi. "Apa yang akan kita perbuat dengan makanan sebanyak ini?" kata Philip. "Kalau dibiarkan di sini, pasti akan basi kena hawa panas. Sayang kalau makanan seenak ini dibiarkan berjamur." "Memang," kata Bill. "Yah — satu-satunya yang bisa kita lakukan ialah menyimpannya di tempat sejuk. Mudah-mudahan saja anak tadi datang lagi!" Makanan yang banyak itu mereka bawa masuk ke sebuah bangunan yang ada di dekat situ. Di lantai bangunan itu ada lubang yang tidak kena sinar matahari, karena dinaungi dinding yang sudah runtuh setengahnya. Segala makanan tadi ditumpukkan ke dalam lubang itu. "Sekarang kita kembali saja ke terusan yang di peta disebut Teluk Kecil'. Kita periksa di situ, apakah ada jalan masuk yang ditunjukkan di peta," kata Bill. ia mengeluarkan peta itu lalu mempelajarinya bersama anak-anak. "Tapi jangan terlalu berharap, karena kurasa kita takkan bisa menemukannya." Dalam hati ia beranggapan bahwa takkan ada apa-apa yang bisa ditemukan di pulau yang nampak miskin dan mati itu. Mereka melangkah di antara batu-batu yang berserakan di jalan yang sudah penuh belukar, sampai ke sungai kecil yang bertepi batu. Perahu motor mereka masih ada di situ, terangguk- angguk di atas air. Andros tidur pulas di tempat teduh. Bill berjalan menyusur tepi bersama anak-anak, menuju ke arah perahu. Kemudian mereka berpaling, memandang ke arah darat. Tiba-tiba Bill berseru, "Ah, tentu saja! Itu dia!" "Apa, Bill?" kata anak-anak serempak. "Di peta kan ada tulisan, 'Dua Jari', yang tidak jelas artinya. Tapi ahli yang ku tanyai berkeras bahwa arti tulisan Yunaninya memang begitu. Karenanya kusangka itu julukan bagi seseorang. Sekarang aku baru tahu arti sebenarnya. Lihatlah ke atas sana!" Anak-anak memandang ke arah yang dituding oleh Bill. Agak jauh dari tempat mereka, di atas bukit, nampak batu berbentuk aneh. Seperti tangan tergenggam—dengan dua jari diacungkan ke atas! Ya — betul, pasti itulah Dua Jari'! "Yuk, kita ke sana," kata Bill. "Itu merupakan salah satu petunjuk yang ada di dalam peta." Mereka mendaki, sampai di tempat batu aneh itu. Di belakangnya ternyata ada lubang yang lumayan besarnya. Orang bisa dengan mudah masuk ke dalamnya. Bill mengambil senternya, lalu dinyalakan. "Mungkin di dalam situ ada lorong," katanya sambil menyorotkan senter ke dalam lubang. 'Ya, betul! Ini benar-benar luar biasa! Jack, kurasa sebaiknya kau kembali sebentar ke perahu. Periksa apakah ada lentera minyak di situ. Kalau ada, bawa kemari. Senterku sudah tidak terang lagi." Jack bergegas ke perahu. Dilihatnya Andros masih tetap tidur nyenyak. Di dalam perahu ternyata ada dua buah lentera. Jack membawanya dengan hati-hati ke atas, ke batu yang mencuat seperti tangan dengan dua jari teracung. Lentera-lentera itu diserahkannya pada Bill yang datang menyongsong. "Bagus," kata Bill. "Sekarang kita nyalakan dulu. Satu untukku, dan yang satu lagi kau yang memegangnya, Jack. Jadi senterku bisa kuhemat untuk nanti, kalau perlu!" Dengan kedua lentera tadi mereka menerangi bagian dalam lubang. Ukurannya tidak begitu besar. Belum bisa disebut gua. Hanya lubang biasa, di belakang batu yang berbentuk aneh. Tapi di sisi belakang lubang itu nampak semacam lorong yang menjorok ke dalam bukit. Mungkinkah itu jalan masuk yang digambarkan pada peta? "Mungkinkah itu, Bill?" tanya Lucy-Ann bersemangat. "Kurasa bukan," jawab Bill sambil meneliti lorong batu itu. "Lorong ini tentunya diketahui setiap orang di kota ini, ketika masih ada penduduknya dulu. Kurasa ini hanya kebetulan saja." Tapi anak-anak berlainan pendapat dengannya. Hati mereka berdebar-debar ketika berjalan menyusuri lorong gelap itu bersama Bill. Panjangnya sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh meter, masuk ke dalam bukit, dan berujung di suatu ruangan yang agak lapang. Bill mengangkat lenteranya tinggi-tinggi. Sinarnya menerangi dinding batu. Tapi apa itu yang ada di belakang? Dinding di sebelah situ lain kelihatannya. Bill pergi ke sana dengan lentera. Cahayanya menerangi sebongkah batu besar berbentuk seperti pintu. "Kenapa ditaruh di sini, ya?" kata Bill heran, ia mengarahkan lentera berkeliling, menerangi gua itu. Dindingnya batu yang licin mengkilat dan rata sekali. Tidak ada satu celah atau retakan yang nampak. Satu-satunya lubang ialah lorong yang mereka lewati tadi. "Batu besar ini rupanya ditaruh untuk menutupi lubang," kata Bill menarik kesimpulan. "Seperti kalian lihat sendiri, penghalang ini sangat kokoh, terdiri dari batu-batu besar. Tidak ada yang bisa melewati penghalang ini. Menggesernya pun tidak mungkin!" Anak-anak kecewa mendengarnya. "Mungkinkah batu-batu itu menutupi jalan masuk yang tergambar di dalam peta, Bill?" tanya Jack. "Ya, kurasa begitu," kata Bill. "Penghalang ini sudah sejak lama ada di sini — seperti bisa kalian lihat sendiri. Kenapa lubang yang ada di belakang ditutup — entahlah! Yang jelas di sini ada penghalang yang tidak bisa dilewati! Kita tertahan di awal jalan masuk. Jika ini jalan yang digambarkan di peta galian, yang menuju ke tempat harta yang entah di mana disembunyikan — sekarang jelas bahwa jalan ini tidak bisa dimasuki. Mustahil!" "Aduh, sayang!" keluh Lucy-Ann. ia kecewa sekali. "Masa tidak ada jalan lain?" "Kita suruh saja Miki menyelidiki," kata Bill. "Kalau di sini ada lubang lain, Miki pasti akan bisa menemukannya, biar betapa kecil sekalipun! Monyet kesenangannya menyusup ke mana- mana. Suruh dia mencari, Philip!" "Ayo — cari lubang, Miki!" kata Philip. Miki memandang tuannya dengan sikap ragu. Ia tidak suka menyusup-nyusup ke dalam lorong gelap. Tapi Miki patuh pada Philip, ia meloncat turun dari bahu remaja itu, lalu pergi mencari lubang. Kiki memperhatikannya sejenak, lalu terbang ke sisi atas pintu batu yang besar dan hinggap di situ. "Panggilkan dokter," ocehnya dengan suara murung. "Polly pilek. Panggilkan dokter." Miki meloncat ke tempat Kiki, lalu mondar-mandir di situ sambil merogoh-rogoh ke dalam berbagai celah kecil yang di atas. Tapi ia rupanya tidak berhasil menemukan lubang, karena kemudian ia meloncat kembali ke bahu Philip lalu meringkuk di situ. “Tidak ada," kata Bill sambil meletakkan lentera ke tanah. Maksudnya hendak menyimpan peta yang tadi dipegang. Saat Bill sedang melipat peta, tiba-tiba Lucy-Ann berteriak. Kedengarannya seperti kaget. "Ada apa?" seru Jack. "Lihatlah—itu, di sebelah sana! Di lantai! Itu kan — itu kan — ya, betul — itu kan baterai senter!" Philip melihat benda yang dimaksudkan oleh Lucy-Ann. Ia pergi memungut benda itu lalu membawanya ke tempat mereka. “Ya, ini memang baterai," katanya sambil mengamat-amati. "Baterai senter seperti kepunyaan Bill. He, Bill! Baterai Anda ada yang jatuh, barangkali?" "Mana mungkin!" kata Bill. “Ya, ini memang baterai tua. Rupanya ada yang membuang ketika senternya tidak mau menyala lagi, dan menggantikannya dengan baterai baru. Rupanya bukan kita saja yang mengetahui tempat ini!" Lucy-Ann bergidik, ia menyesal, kenapa tadi melihat baterai itu. Ia merasa aneh. Siapakah yang masuk sebelum mereka ke dalam gua di tengah batu itu. "Yuk kita keluar lagi, Bill," katanya. "Di sini kita tidak bisa berbuat apa-apa, karena di mana- mana cuma ada dinding batu yang tidak bisa ditembus. Kita kembali saja sekarang ke perahu. Aku merasa tidak enak di sini." "Baiklah, kita kembali saja," kata Bill. "Kurasa memang sudah waktunya. Kita sudah lama di pulau ini, dan sebelum malam kita harus sudah kembali di kapal. Yuk!" Mereka meninggalkan gua itu, menyusuri lorong ke lubang yang terdapat di belakang batu besar yang mencuat seperti dua jari teracung ke atas. Dari situ mereka menuruni bukit, menuju ke tempat perahu motor. Tiba-tiba mereka kaget Perahu motor itu tidak ada lagi. Mereka memandang dengan mata melotot, seakan tidak mempercayai mata mereka sendiri. "Mana perahu kita?" tanya Dinah dengan lemas. Semua celingukan. Tapi perahu motor itu tetap tidak kelihatan. Aneh! Tiba-tiba Jack berteriak sambil menuding-nuding ke tengah laut. "Itu kan perahu kita? Itu — di sana!" Semua memperhatikan dengan mata terpicing. Akhirnya Bill mengangguk. Wajahnya keras. "Ya — nampaknya itu memang perahu kita," katanya. "Kenapa Andros pergi begitu saja? Macam-macam!" "Ketika aku kemari mengambil lentera tadi, kulihat ia tidur pulas," kata Jack. "Sedikit pun tidak bergerak-gerak. Waktu itu segala-galanya kelihatan beres." "Aku tidak mengerti," kata Bill. Nampaknya ia bingung. "Padahal orang itu kelihatannya bisa diandalkan. Aku bahkan belum membayarnya! Kenapa tindakannya tahu-tahu jadi begini?" "Laju sekali lari perahu itu," kata Philip. "Sekarang sudah hampir tidak kelihatan lagi! Yah — jelas bahwa kita terdampar di pulau harta ini!" Lucy-Ann cemas sekali. Dipegangnya tangan Bill. "Apakah yang akan kita lakukan sekarang, Bill?" tanyanya. "Apakah kita akan tetap di sini?" "Jangan suka konyol, Lucy-Ann," kata Jack sebelum Bill sempat menjawab. "Mau ke mana kita, jika tidak tetap di sini? Atau barangkali kau punya pesawat terbang yang kausimpan di sini, siap untuk dipakai dalam keadaan seperti sekarang ini?" "Sudah, diam!" kata Bill pada anak itu. ia merangkul bahu Lucy-Ann. "Jangan cemas, Lucy-Ann — kita pasti selamat. Ini kan hanya petualangan, seperti yang biasa kita hadapi!" Bab 19, BERBAGAI KEJUTAN Selama beberapa saat mereka masih tetap berdiri di tempat itu, tanpa tahu pasti apa yang harus dilakukan selanjutnya. Kejadian itu datang dengan begitu tiba-tiba. Kemudian Bil! nyengir, lalu memandang anak-anak yang berdiri mengelilinginya. "Yah — kelihatannya kita terpaksa menginap di sini semalam," katanya. "Untung masih ada bekal makanan, yang diantarkan anak laki-laki aneh tadi. Sedang sisa bekal kita dari kapal juga masih ada!" "O ya, betul juga — aku sampai lupa," kata Dinah dengan lega. ia sudah khawatir saja, kalau- kalau mereka terpaksa tidak makan. "Kita makan saja dulu sekarang," kata Bill. "Kalau tidur — itu soal gampang! Kita bisa tidur di mana saja, karena hawa tidak dingin. Aku tidak ingin mendatangi salah satu pertanian yang kita lihat dari atas tadi siang, karena siapa tahu, barangkali saja Andros dengan tiba-tiba kembali kemari. Sudah sinting rupanya orang itu!" Mereka makan dulu sampai kenyang. Setelah mengembalikan bekal ke dalam lubang tempat penyimpanan semula, mereka berkeliaran di bekas kota yang kini sudah berubah menjadi reruntuhan. Lucy-Ann senang sekali ketika menemukan sebuah pot tua yang sudah patah lehernya. Jack menemukan semacam garpu yang giginya hilang dua. Sementara itu Bill mencari-cari tempat untuk tidur. Tapi tidak ada yang dianggapnya memenuhi syarat. Akhirnya ia memilih suatu ruangan yang letaknya tidak jauh dari reruntuhan kuil. Tiga dinding ruangan itu masih tegak, sedang atapnya masih ada sedikit. Lantainya ditumbuhi rumput tebal. Jadi bisa dijadikan alas tidur. Matahari sudah rendah sekali di ufuk barat. Sebentar lagi terbenam. Menurut Bill, sebaiknya makanan dipindahkan ke ruangan itu, supaya gampang diambil jika ada yang lapar malam nanti. Bersama Jack dan Philip diambilnya bekal makanan, lalu ditimbuni dengan rumput lembab supaya dingin. Untung di situ banyak rumput! Saat matahari terbenam, semua sudah capek. Lucy-Ann tidak henti-hentinya menguap, begitu pula Kiki. Miki sudah memeriksa keadaan ruangan itu dengan cermat. Rupanya semua dianggapnya beres, karena kemudian ia meringkuk di atas perut Philip, ketika anak itu sudah selesai membuat pembaringan dari rumput yang ditumpuk-tumpuk. Dengan segera keempat remaja itu sudah pulas. Kiki bertengger di pinggang Jack, begitu ia tahu bahwa anak itu sudah tidur. Sebelumnya ia sudah beberapa kali disuruh pergi. Tapi sekali itu Jack tidak terbangun. Jadi Kiki tidur sambil bertengger di pinggang anak itu. Kepalanya diselipkan di bawah sayap. Bill berbaring sambil tengadah, ia memandang bintang-bintang yang nampak kemerlip lewat lubang yang menganga di atap. Ia jengkel pada dirinya sendiri, karena membawa anak-anak ke Thamis. Kini mereka kembali terlibat dalam kesulitan. Dan semuanya hanya karena harta karun yang sudah berabad-abad hilang — itu pun kalau memang benar-benar ada! Ia masih bingung memikirkan anak laki-laki yang datang mengantarkan makanan naik keledai, ia juga bingung memikirkan jalan masuk yang dihalangi batu besar, serta baterai yang ditemukan Lucy-Ann. Tapi ia paling bingung memikirkan Andros yang dengan tiba-tiba saja pergi meninggalkan mereka. Ketika hampir terlelap, tiba-tiba ia mendengar bunyi sesuatu. Rupanya Miki juga mendengarnya, karena monyet itu nampak bergerak sedikit, lalu memandang berkeliling ruangan. Bill tetap berbaring, ia berusaha mendengar, sambil menahan napas. Bunyi apakah itu tadi? Mungkin juga ia yang salah dengar! Tapi kemudian dengan jelas didengarnya suara seseorang. Suara itu disusul suara lain, yang lebih berat. Nadanya seperti berkeluh-kesah. Suara siapakah itu? Bill menegakkan tubuh dengan hati-hati sekali, lalu mendengarkan lagi. Suara kedua orang tadi terdengar kembali. Kemudian Bill mendengar langkah orang berjalan. Bunyinya menuju ke arah ruangan itu! Bill merasa tidak enak. Siapakah yang berjalan malam-malam di tengah reruntuhan kota yang sudah lama tidak ada penghuninya lagi? Kiki juga mendengar suara-suara tadi. ia terbang ke luar, lalu bersembunyi di bawah pinggiran suatu gerbang, ia menunggu di situ. Bunyi langkah semakin mendekat, seiring dengan suara orang bercakap-cakap. Bill berdiri di balik jendela yang sudah rusak, ia mengintip. Malam itu gelap, karena hanya bintang-bintang yang ada di langit. Tapi mungkin ia masih bisa melihat sesuatu. Dua sosok gelap nampak di jalan. Sebentar-sebentar mereka berhenti. Seakan-akan mencari sesuatu di sela-sela reruntuhan. Mungkinkah mereka juga akan menjenguk ke dalam ruangan tempat anak-anak sedang tidur? Bill agak bimbang. Bagaimana jika ia keluar saja, lalu menyapa kedua orang itu? Siapa sebenarnya mereka? Akhirnya Bill memutuskan, lebih baik ia menunggu dulu di tempat persembunyiannya. Kedua orang itu sudah dekat sekali. Mereka masih bercakap-cakap. Tapi Bill tidak dapat memahami, karena keduanya berbicara dalam bahasa asing. Mungkin bahasa Yunani. Mereka jelas sedang mencari-cari sesuatu, kata Bill dalam hati. Dan tiba-tiba ia merasa tahu. Mungkin makanan itu, katanya dalam hati. Mungkin anak laki-laki tadi mengantarnya untuk mereka. Tapi mereka saat itu sedang tidak ada, sehingga kemudian diserahkan saja pada Bill. Dan kini kedua orang itu datang mencari, karena menduga anak laki-laki tadi pasti meninggalkannya di salah satu tempat. "Kalau begitu mereka pasti akan mencari kemari," pikir Bill. Kelihatannya memang begitu maksud mereka. Tapi ketika keduanya sampai di bawah gerbang yang sudah runtuh, dekat tempat Kiki bertengger, dengan tiba-tiba burung itu terbang. Terdengar jelas bunyi sayapnya, memecah kesunyian malam. Anak-anak langsung bangun, lalu duduk. Mereka diam saja, karena kaget sekali. Dan sebelum ada yang sempat membuka mulut, Bill sudah mendesis menyuruh mereka diam. Kedua laki-laki tadi ketakutan sekali. Bill melihat mereka saling berpegangan sambil berbicara dengan cepat. Rupanya mereka saling bertanya, bunyi apa yang terdengar tadi. Sementara itu Kiki memperhatikan keduanya, ia tidak suka melihat potongan mereka, lalu terkekeh-kekeh. Suaranya menyebabkan kedua laki-laki itu semakin ketakutan. Itu tidak mengherankan, karena kekehan Kiki menyeramkan sekali bunyinya. Apalagi terdengar saat malam buta, di tengah puing-puing kota tua! Kiki berhenti terkekeh. Tenggorokannya menggembung. Detik berikutnya terdengar bunyi peluit kereta api cepat yang sedang meluncur di dalam terowongan — makin lama makin nyaring. Kedua laki-laki itu ikut memekik, tapi karena ketakutan. Mereka lari pontang-panting. Menurut perkiraan mereka, pasti ada sesuatu yang menyeramkan menyerang mereka. Kiki menirukan bunyi tembakan, lalu terkekeh-kekeh lagi. "Kau ini benar-benar keterlaluan, Kiki,” kata Bill, ketika kedua orang tadi sudah tidak kelihatan lagi. "Siapa mereka itu tadi, Bill?" tanya Dinah. "Aku juga tidak tahu," jawab Bill. "Tapi kurasa mereka itulah sebenarnya yang berhak menerima makanan yang diantarkan anak laki-laki itu tadi siang. Tapi pokoknya mereka sekarang sudah lari.' "Kiki hebat, ya?" kata Jack. “Hebat, Kiki! Burung pintar!" Kiki menirukan bunyi cegukan keras. "Maaf! Panggilkan dokter! Cul si kadal muncul!" "Ya, ya, bagus — tapi sekarang sudah cukup," kata Jack. "Bill — menurut perkiraan Anda, siapa mereka itu tadi?" "Sudah kukatakan tadi — aku sama sekali tidak tahu,!” kata Bill. "Tempat ini memang aneh! Yuk, kita tidur saja lagi. Kurasa mereka takkan berani kembali lagi. Dan kalau ada orang lain datang, pasti Kiki bisa mengusir mereka!" Mereka merebahkan diri kembali. Bill masih bangun selama beberapa saat. Tapi kemudian ia pun terlelap. Baru keesokan paginya ia bangun. Anak-anak sudah bangun lebih dulu. Jack haus sekali, lalu pergi mencari air. Di tempat yang agak lebih ke bawah ia menemukan sumur, di samping sebuah rumah yang sudah miring. Dengan cepat ia sudah berhasil menemukan cara untuk menimba air ke atas. Air sumur itu ternyata jernih dan sejuk. ia mengikatkan tali pada pot yang ditemukan Lucy-Ann, lalu mengulurkannya ke dalam sumur. Air yang diambil tidak banyak, karena leher pot itu sudah patah. Tapi untuk minum saja cukuplah! Setelah itu semuanya sarapan sekedarnya, makan roti bundar dengan keju. Mudah-mudahan saja anak laki-laki yang kemarin itu muncul lagi hari ini, pikir mereka. "Coba kau ke bawah sebentar, Jack," kata Bill ketika semua sudah selesai sarapan. "Lihat; barangkali perahu kita muncul lagi." Jack pergi melihat ke bawah. Tidak lama kemudian ia datang lagi dengan laporan bahwa di bawah tidak ada apa-apa. Perahu motor mereka tidak kembali! "Yah — kalau begitu apa boleh buat, kita terpaksa menunggu," kata Bill. "Tapi jangan khawatir — tidak lama lagi pasti akan ada yang datang menjemput kita. Tim pasti heran, apa sebabnya kita belum kembali. Atau Andros sadar kembali, lalu kemari lagi." Sekitar pukul dua siang terdengar bunyi genta keledai. Anak laki-laki bertampang bandel yang kemarin muncul lagi dengan keledainya. Sekali itu anak-anak membantunya menurunkan bawaannya. Bill menyerahkan sejumlah uang, lalu anak itu pergi lagi dengan wajah berseri-seri. Nampaknya ia lebih puas terhadap sambutan yang diberikan. Bill dan anak-anak masih menatapnya terus, sampai ia membelok "Benar-benar aneh," kata Bill. "Yuk, kita sembunyikan bekal makanan ini cepat-cepat, sebelum orang yang seharusnya menerima kiriman datang. Kita makan saja sekaligus, karena aku masih lapar!" Bekal yang baru diantarkan itu dibawa ke ruangan tempat mereka tidur malam sebelumnya. Mereka makan dulu sebelum menyembunyikan bekal itu ke dalam lubang. Bill menimbang-nimbang dalam hati. Bagaimana jika ia mendatangi salah satu tempat pertanian, untuk mencari bantuan? Tapi bantuan seperti apa yang bisa diberikan? Belum lagi soal sambutan yang mungkin akan dihadapi! Di pulau sunyi seperti Thamis, apa pun bisa saja terjadi. Bisa saja ia dirampok lalu ditawan. Atau bahkan dibunuh! Jack meminta salinan peta pada Bill, untuk diteliti. "Hanya untuk iseng saja," kata Jack sambil nyengir. Bill menyodorkan peta itu. Jack pergi dengannya ke tempat di mana dulu ada kuil, lalu duduk di salah satu sudut Lucy-Ann menggabungkan diri. Kiki menyelipkan diri di antara mereka berdua. Burung itu menggumam-gumam dengan asyik, seperti sedang mengobrol. Kepala Jack dan Lucy-Ann tertunduk Mereka memperhatikan peta. "Banyak hal-hal yang tertera di sini yang tak kumengerti,” kata Jack. "Kalau 'Dua Jari', sekarang sudah kita ketahui maknanya! Tapi ini — agak jauh kemari — di sini tertulis, 'Lonceng'. Apa artinya? Apa saja yang punya lonceng? Keledai tadi misalnya — genta kan juga lonceng! Lalu sekolah — di sekolah juga ada lonceng — lalu..." "Tempat beribadah," kata Lucy-Ann. "Kurasa kuil ini dulunya juga punya lonceng. Di mana ya, tempatnya digantungkan dulu?" ia memandang berkeliling. Tapi ia tidak melihat tempat di mana dulu mungkin ada lonceng tergantung. Tiba-tiba Jack menatap adiknya. "Ya, tentu saja, Lucy-Ann — di kuil biasanya memang ada lonceng. Kuil ini mungkin merupakan salah satu petunjuk ke arah tempat harta karun itu." "O ya?" tanya Lucy-Ann agak sangsi. "Tapi — harta itu kan mestinya disembunyikan jauh di bawah tanah — dan bukan di kuil, di atas sini. Kita kan sudah tahu, jalan masuk ke tempat penyembunyian itu ada di bawah — sedikit di atas sungai kecil." "Atau mungkin disembunyikan di bawah kuil ini?" kata Jack menimbang-nimbang. "Atau di dekat-dekat sini? Mungkin di bawah sini ada ruangan. He — betul juga! Jika di bawah kuil itu dulu ada ruangan-ruangan, mestinya sekarang pun masih ada. Ruangan bawah tanah lebih awet daripada bangunan di atasnya, karena tidak begitu dipengaruhi keadaan cuaca. Ya, itu dia jawabannya — ruangan bawah tanah! Di bawah sini pasti ada ruangan. Yuk, kita cari!" Lucy-Ann masih agak sangsi. Tapi ia bangun, lalu menyusul Jack yang sementara itu sudah asyik mencari-cari di bekas pekarangan kuil. Tempat itu penuh ditumbuhi semak belukar. Jadi sulit sekali memeriksa apakah di situ ada jalan masuk ke bawah tanah. Kedua remaja itu beristirahat sebentar, sambil bersandar pada sebuah pilar besar yang sudah patah bagian atasnya. Pilar itu sudah tidak utuh lagi. Tidak begitu jauh di atas kepala Jack dan Lucy-Ann menganga sebuah lubang. Kiki hinggap di tepi lubang itu. Saat itu Miki berlari-lari memasuki pekarangan, diikuti oleh Bill serta anak-anak yang lain. Begitu melihat Kiki bertengger di tepi lubang, monyet kecil itu langsung menyusul dengan sekali loncatan saja. Kiki kaget dan marah ketika Miki dengan tiba-tiba muncul di sampingnya, karena ia sama sekali tidak menyangka. Dipatuknya monyet itu keras-keras. Miki kehilangan keseimbangan, lalu jatuh ke dalam lubang. Miki menjerit, sementara Kiki menjenguk ke dalam untuk melihat apa yang terjadi. "Hilang," kata Kiki dengan suara murung. "Habis! Tingtong bal!" "Kiki goblok!" seru Philip marah-marah. "Miki! Miki! Ayo, ke atas lagi!" Tapi Miki tidak muncul. Hanya suaranya saja yang terdengar di dalam pilar, merintih-rintih. "Miki cedera!" kata Philip dengan cemas. "Bantu aku naik, Jack! Aku hendak masuk ke dalam pilar untuk mengambilnya. Jatuhnya takkan terlalu dalam." Jack membantu Philip memanjat ke dalam lubang. Kaki Philip sudah dilangkahkan untuk masuk. Tapi tiba-tiba ia tertegun, lalu menjenguk ke dalam. "He, Bill!" serunya. "Boleh kupinjam senter Anda sebentar? Lebih baik kuperiksa dulu sebelum meloncat. Ada sesuatu yang aneh di sini!" Bill menyodorkan senternya padanya. Philip menyalakan senter itu, lalu menyorotkannya ke dalam, ke arah bawah. Setelah itu ia menoleh lagi. "Aneh — kelihatannya di bawah ada telundakan!" Bab 20, MENYUSURI JALAN HARTA Semua yang ada di luar tercengang mendengarnya. Ada telundakan? Ya — di dalam pilar itu ada telundakan batu yang mengarah ke bawah! Jack bersorak, "Pasti telundakan itu menuju ke ruang bawah tanah!" "Ruang bawah tanah yang mana?" tanya Dinah terheran-heran. Tapi Jack terlalu bergairah, sehingga tidak sempat menjelaskan. "Kita ke bawah, Bill! Ayo! Kita sudah menemukan jejak ke arah harta karun itu. Kan di peta tertera kata 'Lonceng'? Nah — di kuil ini dulunya pasti ada lonceng. Dan kurasa harta itu ada di salah satu tempat di bawahnya!" "Aku malah semakin bingung mendengarmu!" kata Bill. "Ayo turun, Philip! Jangan asal masuk saja tanpa membawa lentera dan sebelum aku memeriksa lebih dulu. Dengar tidak kataku?" "Ya—baiklah, Bill," kata Philip segan-segan, lalu meloncat ke tanah. "Miki ada di bawah pilar ini — rupanya ia tadi terjatuh ke telundakan, lalu terguling-guling ke bawah. Aku masih mendengar suaranya merintih-rintih." "Kurasa itu karena kaget," kata Bill. ia berpaling pada Jack dan Philip. "Sekarang kalian ambil dulu lentera, dan juga makanan kita. Kita akan masuk ke bawah tanah, jadi lebih baik bersiap sebaik-baiknya!" Miki ternyata sudah muncul lagi di luar, sebelum Jack dan Philip kembali. Monyet itu sangat ketakutan, dan juga merasa kasihan pada dirinya sendiri, ia mencari-cari Philip. Tapi tidak ada. Karena itu ia lantas pergi minta gendong pada Lucy-Ann, sambil tak henti-hentinya merintih. "Ya, ya — sudahlah, kau kan tidak benar-benar cedera," kata anak itu membujuknya sambil mengelus-elus. "Paling-paling cuma memar sedikit Ya, Kiki tadi memang nakal!" Kiki merasa malu. ia pergi ke sudut lalu menyelipkan kepalanya ke bawah sayap. Tapi tidak ada yang mengacuhkan. Tidak lama kemudian Jack dan Philip sudah kembali. Bill menyorotkan senternya ke dalam pilar, memeriksa keadaan di bawah, ia merasa heran, bagaimana orang-orang zaman dulu yang menggunakan pilar itu sebagai jalan masuk ke bawah tanah, bisa masuk ke dalam pilar itu. ia sama sekali tidak melihat jalan masuk — kecuali jika lewat lubang besar yang ada di pilar itu. "Yang di bawah itu tangga sempit, berbelit-belit," katanya. "Mungkin Jack benar. Mungkin tangga itu menuju ruang di bawah kuil — jalan rahasia yang mungkin hanya diketahui oleh pendeta utama. Ayo, Jack dan Philip — bantu adik-adik kalian naik. Aku yang turun dulu." Bill melompat turun dengan cekatan, ke telundakan paling atas. ia menyorotkan senternya ke bawah. Ya — tangga itu memang berputar-putar, seperti yang diduga olehnya. Tangga itu pasti sangat sempit, tapi nanti mungkin akan melebar. Bill harus setengah merangkak ketika menuruni dua belas telundakan teratas. Beberapa kali ia nyaris terpeleset, karena telundakan yang diinjak sempit sekali. Anak-anak perempuan menyusul setelah dia, dibantu oleh abang-abang mereka. Dinah agak kerepotan dengan lentera yang dipegang. Akhirnya terpaksa diserahkan pada Bill, karena ia memerlukan kedua tangannya saat menuruni deretan telundakan teratas. Setelah itu Lucy- Ann yang turun, diterangi lentera yang dipegang oleh Jack. Bungkusan makanan dilemparkan ke dalam. "Biarkan saja dulu di situ," seru Bill, yang sementara itu sudah lebih jauh masuk ke bawah tanah. "Nanti kalau kita perlukan, bisa kita ambil! Di situ pasti aman." Jadi bungkusan berisi makanan ditinggal di atas tangga, diletakkan pada suatu bagian yang menonjol. Sedang rombongan pencari jejak harta meneruskan langkah, menuruni tangga yang berbelit-belit Tepat seperti sangkaan Bill tadi, tidak lama kemudian tangga itu melebar, sehingga lebih mudah dilalui. Miki sudah bertengger lagi di bahu Philip. Kiki mengikuti Jack masuk ke dalam pilar. Burung itu tidak ribut-ribut lagi, sementara mereka turun terus. Akhirnya mereka sampai di ujung bawah tangga itu. Mereka berada di sebuah gua atau ruangan besar, yang menjorok jauh ke dalam bukit batu itu. Lentera-lentera yang dibawa hanya menerangi sebagian kecil dari ruangan itu saja. "Ya — ini memang ruangan kolong kuil tadi," kata Jack. "Jalan yang kita masuki tadi mestinya sangat dirahasiakan. Lihatlah, Bill — di sana ada jalan lain untuk naik! Itu, di sana — tangga lurus, tidak berbelit-belit seperti yang kita lewati tadi — dan terjal sekali ke atas." "Ya! Kurasa itu jalan yang biasa dilewati dulu untuk kemari," kata Bill. "Sedang jalan yang kita lalui, letaknya sangat tersembunyi. Lihat saja sendiri—dari sini saja sudah tidak nampak, karena tersembunyi di balik batu besar itu." Mereka menghampiri tangga lebar yang satu lagi. Bill mengangkat lentera tinggi-tinggi, menerangi tangga itu. "Aku naik sebentar ke atas, untuk melihat di mana akhirnya," katanya, lalu mulai naik. Anak- anak mendengar bunyi langkahnya makin lama makin tinggi, lalu terhenti. Bill turun lagi. “Terhalang ke langit-langit batu!" katanya. "Mungkin di situ sebenarnya ada lubang keluar yang ditutup lempeng batu besar. Tapi kini tidak bisa dipakai lagi, karena sebelah atasnya sudah ditumbuhi semak belukar. Kurasa memang itulah jalan untuk masuk kemari. Nah — dari sini kita harus ke mana?" "Kita periksa saja sebentar di peta," kata Jack. "Aku yakin, kita sekarang ini berada pada posisi yang ditandai dengan tulisan Lonceng. Karena di kuil ini dulu mestinya ada lonceng." Diterangi sinar senter, semua menyimak peta. Bill menelusuri jalan harta dengan jari. "Ini 'Dua Jari’," katanya sambil menuding. "Kita sudah masuk lewat situ, tapi kemudian terhalang pintu batu." "Betul — lalu posisi berikut ditandai dengan tulisan 'Dewi'," kata Philip membaca. "Apa maksudnya?" "Mungkin itu sesuatu yang ada di antara batu 'Dua Jari' dan tempat ini," kata Jack. "Nantilah kita lihat! Lalu ini — di sini tertulis Makam. Kurasa itu kuburan seseorang." "Ya — dan kurasa di dalam peti batu," kata Bill. "Setelah itu kita akan sampai di Burung. Ini agak aneh." "Dan setelah 'Burung', kita sampai di 'Lonceng'," kata Jack. "Dan itu kurasa di sini tempatnya!" "Ya, tapi harta karun bukan di situ tempatnya," kata Bill. "Lihatlah, kita masih harus terus lagi kemari — ke bagian yang ditandai dengan tulisan 'Lorong Buta'. Nah, itu agak sulit!" "Lorong buta? Apa itu?" tanya Lucy-Ann. "Itu lorong-lorong yang sengaja dibuat untuk menyesatkan orang. Berbelit-belit dan bercabang-cabang, tapi sebenarnya banyak yang buntu. Orang yang masuk ke situ, gampang sekali tersesat di dalamnya," kata Dinah. Lucy-Ann bergidik. "Ih — Lorong buta! Seram," katanya. "Lalu — sesudah itu?" “Makam Bawah Tanah'," kata Bill. "Dan menurut peta ini, di situlah harta karun disembunyikan!" "Yuk, kita cari sekarang!" kata Jack bersemangat ia melipat peta lalu mengantunginya lagi. "Ayo — daripada tidak ada yang dikerjakan! Enak juga di sini, ya — sejuk, tidak panas seperti di luar!" "Tapi —jalan mana yang harus kita ambil?" kata Bill. "Yang satu menuju ke 'Lorong Buta', sedang yang satu lagi ke 'Makam'. Di peta ada petunjuk arah untuk menggampangkan. Tapi di bawah sini kita tidak bisa melihat matahari, jadi tidak bisa tahu mana barat dan mana timur. Ada yang kebetulan membawa alat pedoman?" Ternyata tidak ada. "Yah — kalau begitu kita terpaksa main duga saja," kata Bill. "Pilihan kelihatannya hanya ada dua. Ke kiri, atau ke kanan. Kita ke kanan!" Mereka menuju ke arah kanan. Bill berjalan paling depan dengan senter, lalu Dinah dan Lucy-Ann yang saling berpegangan tangan, lalu Jack dan Philip yang masing-masing membawa lentera. Bayang-bayang mereka bergerak-gerak di dinding rongga luas itu. Gema langkah mereka aneh dan agak menyeramkan kedengarannya. Kiki dan Miki meringkuk di atas bahu Jack dan Philip. Mereka tidak begitu suka berada di tempat segelap itu. — Setelah beberapa saat berjalan, rombongan itu sampai di ujung gang yang cukup lebar. Gang itu melandai ke bawah. Lumayan juga panjangnya. Akhirnya terhenti di depan semacam pintu. Pintu itu kokoh, terbuat dari kayu. Kini pun masih tetap kokoh. Tapi salah satu engselnya sudah rusak. Anak-anak menarik dan mendorong-dorong, sampai akhirnya engsel yang satu lagi juga terlepas dan daun pintu tertarik. Hampir saja menimpa Bill! Untung ia cekatan, meloncat ke belakang. Bill menerangi daun pintu itu dengan senternya. Nampak ukiran burung yang besar di situ. "Nah — itu dia, 'Burung'," kata Jack puas. "Itu kan salah satu petunjuk ke arah harta, Bill!" ia mengamat-amati ukiran itu. "Burung garuda. Bagus sekali ukirannya!" "Sekarang kita tahu bahwa kita tadi keliru memilih arah," kata Bill. "Tapi kita terus saja dulu. Ini benar-benar menakjubkan!" Mereka melangkahi ambang pintu yang sudah dirobohkan. Setelah berjalan beberapa saat, mereka menoleh sebentar ke belakang. Ternyata gang yang mereka lewati itu bercabang dua, di dekat pintu. Cabang yang kanan menuju ke pintu yang dihiasi dengan ukiran garuda. Kini mereka menelusuri lorong yang sempit sekali. Arahnya condong ke bawah, seperti yang tadi juga. Dan berakhir di suatu ruangan sempit Pada satu sisinya ada semacam bangku dari batu. Sebenarnya lebih tepat dikatakan peti. Pada kedua ujungnya ada lempengan kayu berukir lambang-lambang. Mereka berhenti sebentar di situ sambil memperhatikan. "Ini pasti semacam makam," kata Bill. "Mungkin makam pendeta. Makam kuno seperti ini banyak di mana-mana." "Para pelaut yang mengangkut harta karun itu tentunya harus lewat ruang makam ini," kata Philip. "Mungkin mereka mengenal jalan ini, karena mereka biasa merampok makam kuno." Pada jalan masuk ke ruangan itu tidak ada pintu. Tapi ada ambang berbentuk pintu. Kemungkinannya di situ dulu ada daun pintu. Setelah ambang itu mereka menelusuri lorong sempit lagi, yang masih tetap mengarah ke bawah. Sekarang bahkan bertambah miring. "Sekarang tinggal 'Dewi' — petunjuk berikut setelah 'Dua Jari'," kata Jack. "Peta kuno ini ternyata petunjuk yang rapi ya, Bill? Jika kita bisa masuk lewat 'Dua Jari' — kita pasti akan sampai kemari, jika tidak terhalang batu besar itu!" "Hati-hati — di depan ada tangga," kata Bill. "Rupanya sengaja dibuat karena di sini dasar lorong mulai terjal sekali ke bawah." Mereka menuruni tangga itu dengan hati-hati sekali. Di ujungnya sebelah bawah ada gerbang yang indah sekali, terbuat dari sejenis batu pualam. Gerbang itu menghiasi sisi lorong yang juga melengkung. Di balik gerbang, dasar batu dilapisi lantai pualam. Lantai itu masih halus dan mengkilat, karena di situ tidak ada debu yang mengotori. Dinding di situ dihiasi ukiran-ukiran yang ditatah langsung pada batu bukit, berbentuk berbagai wujud dan lambang. Nampak ukiran burung garuda, merpati, ajak, dan serigala — serta berbagai pola yang nampak asing. Seluruh gua kecil itu penuh dengan ukiran. "Mestinya kata petunjuk 'Dewi' berarti tempat ini," kata Bill. "Tempat pemujaan salah satu dewi — tersembunyi di dalam tanah, dan hanya didatangi orang-orang tertentu saja." "Ya — mestinya begitulah," kata Philip sependapat. "Aneh, ya? Kurasa ukiran-ukiran ini pasti sudah ribuan tahun umurnya!" "Jadi tinggal petunjuk paling akhir — atau kita mulai dari awal, petunjuk pertama," kata Bill. "Dua Jari! Tapi itu sudah kita kenal. Kalau kita terus, pasti nanti sampai di sisi belakang penghalang yang berupa batu besar. Tapi kita lihat saja dulu. Wah — di sini lorong mulai terjal sekali! Mana tidak ada telundakan — hati-hati, Anak-anak!" Mereka menuruni lorong terjal itu dengan hati-hati. Dan tepat seperti sudah dikatakan oleh Bill sebelumnya, akhirnya mereka sampai di balik batu besar yang menghalangi ketika mereka masuk lewat lubang di belakang batu 'Dua Jari'. Mereka berhenti di situ, untuk berunding sebentar. "Jadi kita ternyata sudah berhasil menelusuri jalan ke harta karun," kata Bill. "Kini kita menyurutkan langkah. Mulai dari Dua Jari', melewati 'Dewi' dan 'Makam' serta 'Burung', sampai di 'Lonceng' — yaitu ruang kolong kuil." "Tapi setelah itu kita terus!" kata Jack bersemangat "Masuk ke 'lorong Buta' menuju 'Makam Bawah Tanah' — dan akhirnya sampai di harta!" Bab 21, PERJUMPAAN YANG TIDAK MENYENANGKAN Mereka kembali, melewati gua kecil berlantai pualam yang mestinya dulu merupakan kuil rahasia tempat pemujaan salah satu dewi, lalu makam tua serta pintu berukir burung garuda yang dirobohkan anak-anak — dan akhirnya sampai lagi di ruang kolong kuil. "Sekarang kita mengambil jalan ke kiri," kata Bill yang sementara itu sudah ikut bersemangat. "Yuk — lewat lorong ini. Angkat lenteramu agak tinggi, Philip. Senterku tidak cukup terang sinarnya." "Apakah gang ini nanti masuk ke lorong buta — di mana orang bisa tersesat?" tanya Lucy-Ann agak cemas. "Jangan-jangan kita juga tersesat nanti!" "Tidak — kita nanti mencari akal, supaya itu jangan terjadi," kata Bill. ia meneliti peta sebentar, bersama Jack. "Walau bagian ini ditandai dengan tulisan 'Lorong Buta' — tapi yang digambar hanya satu lorong saja. Dan pada jarak-jarak tertentu ada huruf 'K'. Kurasa ini berarti 'Kanan'. Nanti kira-kira enam kali kita harus mengambil simpangan yang ke kanan! Yuk, kita terus. Nih, kantungi lagi peta kita, Jack!" Ketika sudah agak jauh memasuki lorong rendah yang berkelok-kelok, tiba-tiba Jack kaget. "He — siapa yang membawa Kiki?" Rombongan berhenti. "Aku tidak," seru Lucy-Ann ke arah belakang. "Dan Dinah juga tidak." Bill mengatakan bahwa Kiki tidak ada padanya. Sedang Philip sudah memanggul Miki. "ia tadi terbang ketika kita masuk ke ruang kolong kuil," kata Jack mengingat-ingat. "Kiki! Kiki!" Tidak terdengar suara Kiki menjerit atau menguak. "Sialan — sekarang aku terpaksa kembali untuk mencarinya," kata Jack. "Kalian terus saja dulu, nanti kususul." ia bergegas kembali, sementara yang selebihnya meneruskan langkah. Jack membawa lentera, jadi nanti pasti dengan mudah bisa menyusul. Mereka sampai di suatu persimpangan. "Kita ambil yang kanan!" kata Bill. Lorong itu banyak sekali belokannya, berbelit-belit sehingga tidak bisa diketahui lagi ke mana arah yang dituju. Bisa saja mereka menuju ke arah yang berlawanan dengan yang semula dituju. "Kita tadi sudah membelok—satu—dua kali— jadi ini belokan ke kanan yang ketiga," kata Philip sebelum memasuki persimpangan berikut "Masih tiga persimpangan ke kanan lagi — lalu kita akan sampai di makam bawah tanah!" "Uhh — mudah-mudahan tidak jauh lagi," keluh Lucy-Ann. "Aku sudah mulai bosan, terus- menerus menyusuri lorong gelap. Yang ini banyak batunya — aku tersandung-sandung terus." "Kenapa Jack begitu lama?" kata Philip, yang berjalan paling belakang. "Setiap kali aku merasa mendengar langkahnya. Tapi kalau kutoleh, ternyata ia belum muncul juga di belakangku. Apakah tidak sebaiknya kita tunggu sebentar, Bill?" "Ya — sebaiknya begitu," kata Bill. Mereka menunggu di tempat itu. Tapi Jack tidak datang-datang juga. Ke mana anak itu? Lucy-Ann mulai gelisah. "Jack!" serunya. "Jack! Cepatlah sedikit— kami menunggu di sini!" "Lebih baik kita susul saja," kata Bill. ia agak bingung. "Mudah-mudahan saja ia tidak tersesat. Tapi ia tahu, setiap sampai di persimpangan, ia harus mengambil simpangan yang ke kanan." Mereka kembali. Tapi beberapa waktu kemudian Bill tertegun. "Jalan kita benar atau tidak?" katanya. "Rasa-rasanya kita tadi tidak lewat di sini — karena langit-langit di sini rendah sekali, sampai kepalaku terantuk. Sedang tadi aku bisa berjalan dengan leluasa!" "Aduh — masa kita salah jalan! Kan sebetulnya gampang — setiap ada persimpangan, ambil yang kiri," kata Dinah sambil mengeluh. "Tidak, Bill — kurasa kita sudah benar." Tapi Bill masih sangsi, karena tidak merasa tadi melewati lorong yang sisi atasnya begitu rendah, ia mengambil keputusan tegas. "Kita kembali," katanya. "Kurasa pada simpangan terakhir tadi kita salah masuk." Mereka menyurutkan langkah — tapi lorong yang dilalui ternyata buntu! Makin lama makin sempit, dan akhirnya tidak bisa dilewati lagi. Tidak mungkin mereka tadi lalu di situ! "Aduh, salah lagi!" kata Bill dengan nada tidak begitu peduli. Padahal dalam hati ia mulai cemas. Berapa luaskah bagian berlorong buta ini? Sampai seberapa jauh menjorok ke dalam bukit? Menurut peta, lintasan yang harus dilalui pendek saja! Tapi lorong butanya sendiri mungkin panjang sekali — bermil-mil, simpang-siur ke mana-mana! "Lorong-lorong ini benar-benar menyesatkan," katanya dalam hati. "Mungkin hanya ada satu atau dua jalan yang benar, selebihnya berakhir di tempat yang buntu. Dan kita tadi salah mengambil jalan. Aduh — akan berapa lama kita berkeliling-keliling terus di sini!" "Mana Jack?" kata Lucy-Ann dengan cemas, sementara mereka terus menelusuri lorong demi lorong, mencari jalan yang tadi. "Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu dengan dirinya." Di mana Jack saat itu? ia tadi kembali ke ruang kolong kuil. Sesampainya di sana didengarnya Kiki mengoceh sendiri dengan suara murung. Burung itu hinggap di tangga yang berbelit-belit yang menuju ke lubang dalam pilar besar di atas. Jack berseru memanggilnya, "Kiki! Kenapa kau di situ? Kenapa tidak ikut dengan kami, 'Konyol? Aku sampai terpaksa kembali, hanya untuk mencarimu!" Kiki sudah bosan begitu lama berada di bawah tanah, ia ingin ke atas lagi, ke tempat yang terang, ia juga haus. Tapi di tempat itu kelihatannya tidak ada air. "Ayo, Kiki! Aku harus menyusul yang lain-lain," desak Jack. "Panggilkan dokter," kata Kiki sambil mengirai-kan sayap. "Polly pilek. Panggilkan dokter!" "Ah, jangan rewel," kata Jack dengan sebal, ia menuju ke tempat Kiki. Burung bandel itu terbang beberapa telundakan ke atas, lalu hinggap lagi sambil memiringkan kepala ke arah Jack. Jack bisa melihatnya dengan jelas, karena ia membawa lentera. "Kelakuanmu jelek, Kiki!" katanya mengomel. "Ayo sini, hinggap di bahuku, Burung nakal!" "Polly nakal, panggilkan dokter," kata Kiki, lalu terbang sedikit ke atas lagi. Jack terpaksa ikut naik. ia mengomel-omel. Kenapa Kiki berbuat begitu sekarang, saat ia harus buru-buru menyusul yang lain-lainnya? Ketika ia sampai di tempat Kiki hinggap, burung itu cepat-cepat terbang lebih tinggi. Kini ia tidak kelihatan lagi. Jack berseru dengan marah sambil mendongak, "Awas, kalau kau sudah berhasil kutangkap nanti, Burung jahat! Ayo turun, Kiki! Kalau belum mau juga, tahu rasa nanti!" Didengarnya suara Kiki mengoceh di atas, seakan-akan mengejek. "Bersihkan kaki, buang ingus, cul dokter muncul!" Sekarang Jack sudah habis kesabarannya! ia bergegas menaiki tangga yang berbelit-belit itu, walau pada ujung atasnya ia terpaksa berhati-hati jangan sampai terpeleset Akhirnya ia berada di dalam pilar yang berongga sebelah dalamnya, ia kini dapat melihat dengan jelas, karena sinar matahari masuk lewat lubang yang ada di atas. Kiki hinggap di tepi lubang itu. Burung itu mengembangkan sayap, menikmati kehangatan sinar matahari. Tapi sekali-sekali ia menoleh ke bawah dengan waspada, karena tahu bahwa Jack marah. "Bukan main!" oceh Kiki dengan lantang. "Bukan main!" Setelah itu ia terbang, sehingga Jack tidak bisa melihatnya lagi. Tapi suaranya .masih tetap terdengar mengoceh terus. "Bukan main, bukan main!" Jack mencari-cari tempat berpijak, sambil mengomel panjang-pendek mengata-ngatai Kiki. Setelah menemukan tempat berpijak, ditumpukannya kakinya ke situ sementara tangannya meraih lubang yang ada di atas. Jack menjunjung tubuhnya ke lubang itu, naik ke situ lalu meloncat ke tanah, ia memandang kian kemari, mencari Kiki. Burung itu hinggap di sebatang pohon yang tidak jauh letaknya, sambil memandang ke arah kaki bukit. "Bukan main!" teriak Kiki dengan suara melengking, lalu terkekeh-kekeh. Jack lari mengejar dengan marah. Tapi tiba-tiba ia tertegun, karena melihat seseorang berjalan mendaki bukit itu. ia tahu siapa orang itu — seorang remaja dengan sepasang gigi atas tersembul keluar serta dagu miring ke belakang, seperti kelinci! "Lucian!" kata Jack menggumam, ia tetap tertegun di tempat semula karena kaget sekali melihat anak itu tahu-tahu ada di situ. Orang yang datang itu sudah jelas Lucian! Pantas Kiki tadi dengan tiba-tiba saja tidak berhenti-henti mengocehkan, "Bukan main, bukan main!" Lucian yang sedang mendaki juga melongo ketika melihat Jack. Matanya terbelalak. "Bukan main," katanya. "Wah — bukan main!" "Halo," sapa Jack sambil nyengir terpaksa. "Eh — kenapa kau ada di sini?" "Kau sendiri kenapa juga ada di sini?" balas Lucian. "Ini baru kebetulan namanya. Bukan main! Tak percaya aku rasanya!" "Sudah berapa lama kau di sini?" tanya Jack. "Dan kenapa kau kemari?" "Baru tadi aku datang," kata Lucian. "Soalnya, pamanku juga ada di sini — entah untuk apa! Aku tidak tahu kapan tepatnya ia kemari. Pokoknya, ia datang ke sini, lalu menyuruh perahu motor kemari pula dengan membawa sejumlah orang yang diperlukannya serta beberapa barang. Aku lantas ikut dengan mereka. Kau tahu kan, kapal kita masih juga belum bisa berangkat, dan aku sudah bosan menunggu terus di situ. Kurasa pamanku hendak mengambil sesuatu yang kuno di sini. Pokoknya begitulah!" Jack diam saja. Wah, jadi Pak Eppy juga ada di pulau itu! Kalau begitu ia juga sudah berhasil menemukan jejak harta Andra! Jack sibuk berpikir. Ia menyesal, kenapa sampai Lucian melihatnya tadi. Kini anak itu pasti akan melapor pada pamannya! "Kau sendiri kenapa ada di sini Jack. Ayo, cerita dong!" desak Lucian. "Benar-benar luar biasa. Dan Kiki pun ada di sini pula! Mana yang lain-lainnya?" "Kenapa kau anggap mereka ada di sini juga?" kata Jack mengelak. Anak itu tidak boleh sampai tahu bahwa Bill serta anak-anak yang lain juga ada di situ. Apalagi mengetahui di mana mereka sekarang berada, dan bagaimana jalan masuk ke tempat itu. Tidak — itu tidak boleh sampai ketahuan! Jack sibuk berpikir, berusaha menyusun rencana. Tapi tidak bisa. Yang terpikir olehnya hanya nanti jika Lucian sudah pergi, ia akan cepat-cepat masuk ke dalam pilar besar, lalu menyusul yang lain-lain dan memberi tahu Bill. Bill pasti tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Tapi bagaimana caranya menghindar dari Lucian? Anak itu pasti akan menempel terus padanya sekarang. Aduh, sial! Itu Pak Eppy! Orang itu dilihatnya mendaki bukit, bersama tiga orang laki-laki. Pak Eppy melongo ketika tahu-tahu melihat Jack dan Kiki. Ia berhenti, membuka kaca mata gelap, dan menggosok-gosoknya. Tahu-tahu Lucian tertawa cekikikan. "Aduh, bukan main! Paman rupanya tidak bisa percaya pada penglihatan Paman sendiri, ya! Aku tadi juga tidak. Tapi ini memang Jack — serta Kiki!" Sesaat Jack berniat hendak lari cepat-cepat dari situ lalu menyembunyikan diri — menunggu kesempatan baik untuk menyusup ke ruang kolong kuil lalu menyusul yang lain-lain. Tapi ia tidak sempat lagi melakukan niat itu. Pak Eppy berseru, mengatakan sesuatu. Seketika itu juga ketiga laki-laki yang menyertainya lari ke atas, lalu berdiri di belakang Jack. Pak Eppy datang menghampiri, lalu berdiri di hadapannya. "Apa yang kaulakukan di sini?" kata orang itu. Suaranya aneh, mengandung ancaman. Jack merasa ngeri mendengarnya. "Mana teman-temanmu?" "Kami ke sini cuma karena ingin melihat-lihat saja," kata Jack setelah beberapa saat "Pulau-pulau ini kan boleh didatangi siapa saja. Mesin kapal rusak, dan para penumpang diberi tahu bahwa kita bisa memakai perahu motor yang disediakan untuk pesiar mendatangi pulau- pulau di sekitar sini." "Tapi kenapa kalian justru kemari?" tanya Pak Eppy lagi, masih dengan suara galak. Tahu-tahu Lucian yang menjawab, "Ah, aku tahu sekarang! Kurasa ia kemari karena ingin mencari harta yang Paman ceritakan itu!" "Tutup mulut, Goblok!" bentak Pak Eppy pada Lucian yang meringkuk ketakutan. "Dan kau — " ia berpaling lagi pada Jack, "berani-beraninya kaudatangi pulauku, tanpa minta izin dulu!" "Ini bukan pulau Anda," kata Jack. "O ya, ini pulauku — baru saja kubeli," kata Pak Eppy. "Kau belum tahu rupanya — tapi pasti tahu alasanku membelinya!" Bab 22, LAGI-LAGI PAK EPPY! Jack memang tahu, apa sebabnya Pak Eppy membeli Pulau Thamis. ia memandang orang itu dengan perasaan kecut. Jika pulau itu sudah menjadi miliknya, maka harta yang ada di situ juga akan menjadi miliknya pula! "Nah, kau tahu apa sebabnya pulau ini kubeli?" ulang Pak Eppy. "Ayo, bilang!" "Yah — kurasa karena Anda hendak mencari harta yang ada di sini," kata Jack dengan sebal. "Tapi Anda takkan berhasil menemukannya. Jangan lupa, Anda baru melihat dua potong saja dari peta itu!" "Kalau begitu bilang sekarang, apa yang tertera pada peta yang selebihnya," kata Pak Eppy dengan nada mengancam. Lucian nampak sudah sangat ketakutan. "Paman jangan berbicara segalak itu pada Jack," katanya dengan suara gemetar. "Dia kan..." Pak Eppy mundur selangkah lalu menampar mulut Lucian. Bunyinya mengagetkan Kiki. "Anak nakal, anak nakal, tol-lol, bilpak!" ocehnya, seakan-akan mengomeli Pak Eppy. Lucian menangis meraung-raung, ia terhuyung-huyung ke sudut sambil memegang mulutnya. Ketiga laki-laki yang berdiri di belakang Jack sama sekali tidak berkutik. Mereka hanya melihat saja. "Begitu Caraku memperlakukan anak tolol," kata Pak Eppy sambil berpaling kembali menghadap Jack. "Kau juga hendak bersikap tolol?" Jack diam saja. Pak Eppy mendekatkan mukanya lalu mendesis dengan tiba-tiba. Jack kaget lalu cepat-cepat mundur, sehingga ia menginjak kaki salah satu dari ketiga orang yang ada di belakangnya. "Mana teman-temanmu?" sergah Pak Eppy dengan muka yang masih didekatkan ke muka Jack. "Pasti mereka juga ada di sini. Aku yang menyuruh perahu kalian pergi kemarin. Orang itu kuancam dengan hukuman penjara, karena berani mendaratkan orang ke pulau milikku!" "Ah — itu rupanya kenapa Andros tahu-tahu lari," kata Jack dengan sebal. "Anda telah melakukan kesalahan besar, Pak Eppy! Tidakkah Anda tahu bahwa ia bisa kembali lagi kemari, dan mungkin dengan membawa bantuan?" "Tidak mungkin," kata Pak Eppy. "ia tahu bahwa aku tidak main-main! Jika ia berani membuka mulut, balasannya masuk penjara! Ya — aku tahu apa yang kulakukan! Ketika kulihat perahu itu ada di sini kemarin, aku langsung menduga bahwa kalian bersama kawan kalian itu datang kemari. Aku sudah mendengar tentang dia. Tapi ini pulauku! Segalanya yang ada di sini merupakan milikku!" "Ya, ya, baiklah," kata Jack. "Tapi kenapa perahu itu Anda suruh pergi tanpa kami? Kenapa tidak sekaligus saja kami juga diusir? Coba dari semula Anda sudah mengatakan bahwa pulau ini milik Anda — kami pasti takkan kemari tanpa minta izin terlebih dulu. Kami tahu, Anda biasa berjual-beli pulau." "Aku menghendaki kalian di sini," kata Pak Eppy. "Kalian kan membawa peta itu, ya? Kan tidak ditinggal di kapal? Ah, mana mungkin — benda yang begitu berharga pasti kalian bawa!" Jack diam saja. Tapi ia berpikir-pikir. Ya — itulah sebabnya kenapa Pak Eppy menyuruh Andros pergi meninggalkan mereka — karena ia bermaksud hendak merebut peta tempat harta itu! Ketika sedang memikirkan hal itu, teringat pula olehnya suatu hal lain. Peta itu ada padanya — salinan peta yang asli! Sewaktu di bawah tanah tadi ia mempelajarinya sebentar bersama Bill, lalu mengantunginya. Aduh — bagaimana jika Pak Eppy menggeledah dirinya? Pasti peta itu akan ditemukan. Adakah kemungkinan memusnahkannya, sebelum ia diperiksa. "Kurasa pasti kalian yang kemarin dan juga hari ini berjumpa dengan anak petani yang datang kemari, lalu mengambil bekal makanan yang kupesan," kata Pak Eppy lagi. "Perbuatan macam apa itu? Tidak tahu malu — aku sampai kelaparan karenanya!" "Yah — bagaimana kami bisa mengetahui bahwa makanan itu untuk Anda apabila kami tidak tahu bahwa Anda ada di sini? Perahu Anda tidak ada di sungai kecil yang di bawah itu. Kami tidak tahu di sini ada orang selain kami," kata Jack berusaha menjelaskan. "Anak itu memang mengatakan sesuatu, tapi kami tidak bisa memahami kata-katanya." "Aku masuk ke sungai kecil yang satu lagi—tapi kau tidak perlu tahu tempatnya," kata Pak Eppy. "Tidak—itu tidak perlu, sebelum kau mengatakan di mana kawan-kawanmu sekarang. Kalau itu sudah kuketahui, dan peta itu sudah ada di tanganku, barangkali — aku bilang barangkali! — kalian akan kuizinkan meninggalkan pulau ini. Kita lihat saja nanti. Salah kalian sendiri, mencampuri urusan orang!" "Siapa bilang!" tukas Jack. "Kami sama sekali tidak bermaksud mencampuri urusan Anda. Bill pasti akan mengajak pergi lagi jika ia mendengar bahwa Anda telah membeli pulau ini." "Mana yang lain-lain?" bentak Pak Eppy dengan tiba-tiba. "Ada — di sekitar sini" jawab Jack dengan sikap tak peduli. "Kenapa tidak Anda cari saja sendiri? Dan aku jangan Anda bentak-bentak begitu! Aku ini bukan Lucian." "Peta itu ada pada Bill?" tanya Pak Eppy dengan nada semakin sengit "Tanya saja sendiri padanya!" kata Jack. "Panggil saja dia! Kalau aku ada di sini, kenapa dia tidak?" Tiba-tiba tangan Pak Eppy melayang. Jack tidak sempat lagi mengelakkan tamparan itu. Kiki juga nyaris kena, tapi ia cepat-cepat terbang ke atas. Tapi langsung menghunjam ke bawah, mematuk telinga laki-laki yang sedang marah itu. Pak Eppy terpekik kesakitan. Dalam hati Jack tersenyum puas. Bagus, Kiki! Biar tahu rasa orang itu! Kiki terbang ke suatu dahan yang tinggi, lalu hinggap di situ sambil mengumpat-umpat "Anak nakal! Anak nakal! Grrrr! Ayo tidur, pergi ke dokter pergi ke kadal!" Pak Eppy mengatakan sesuatu dengan suara tajam pada ketiga laki-laki yang berdiri tanpa berbicara di belakang Jack. Tahu-tahu lengan anak itu dicengkeram dari belakang, lalu ia dibantingkan ke tanah. Salah seorang laki-laki itu menggeledahnya dengan cekatan, ia rupanya sudah berpengalaman. Dengan cepat peta sudah ditemukan lalu diacungkan pada Pak Eppy. Pak Eppy menerimanya. Jack bisa membayangkan betapa mata orang itu bersinar-sinar di balik kaca mata gelapnya! "Ah — ternyata peta itu ada padamu," kata Pak Eppy. Ia membentangkan kertas yang dipegang. Saat itu juga ia menyadari bahwa itu bukan peta yang asli. ia memperhatikannya dengan teliti sekali. "Apa ini?" katanya sambil mengamati. "Apakah ini dibuat oleh seseorang yang sudah melihat peta asli, sedang tulisan ini merupakan terjemahan petunjuk yang tertera di situ?" "Selidiki saja sendiri," kata Jack yang masih tertelungkup di tanah, ia sudah bersiap-siap menahan sakit, karena menyangka Pak Eppy pasti akan menendang atau memukulnya. Tapi paman Lucian itu sedang asyik meneliti peta salinan, sehingga tidak berbuat apa-apa. Jack teringat bahwa Pak Eppy baru melihat dua bagian saja dari peta yang asli, yang menyebabkan ia bisa mengetahui pulau mana yang tertera di situ dan bahwa di pulau itu ada harta. Jadi dapat dimengerti bahwa Pak Eppy kini mengamat-amati peta utuh itu dengan penuh minat "Dua Jari," gumamnya, lalu menatap Jack. "'Dua Jari'," katanya sekali lagi, kini ditujukan pada Jack. "Itu tertera pada potongan peta yang sudah kulihat Dan di mana letaknya, juga sudah kuketahui. Tapi lewat situ tidak bisa terus, karena terhalang batu besar." "Ah—ternyata baterai kosong yang tergeletak di sana itu Anda punya," kata Jack sambil menegakkan tubuh. "Kami saat itu bingung, karena tidak tahu siapa yang membuangnya di situ." Pak Eppy diam saja. Mungkin juga ia tidak mendengar, karena sudah sibuk lagi menyimak peta sambil menggumam pada diri sendiri, " 'Dua Jari'—'Dewi'—'Makam' — 'Burung' — 'Lonceng' — 'Lorong Buta' — 'Makam Bawah Tanah' — itulah jalan yang mereka lalui!" Jack tidak memahami seterusnya, karena Pak Eppy menggumam dalam bahasa Yunani. Lucian masih menutupi mulutnya dengan tangan. Pipinya basah karena air mata. Kiki hinggap di tanah dekat anak itu, sambil mematuk-matuk tali sepatunya. "Bukan main," oceh burung itu berulang-ulang. "Bukan main!" "Kalian berhasil menemukan jalannya?" tanya Pak Eppy. "Jalan yang mana?" tanya Jack pura-pura tidak tahu. "Bah! Jalan ke ruang harta!" bentak Pak Eppy. Kiki ikut-ikut membentak, "Bah! Bah!" "Kupatahkan leher burung itu nanti,' ancam Pak Eppy. "Jawab pertanyaanku tadi!" "Tidak, kami belum menemukan jalan itu," kata Jack dengan jujur. Mereka memang belum menemukannya tadi, karena salah jalan! Tapi mungkin sementara itu Bill serta yang lain-lainnya sudah berhasil sampai di tempat tujuan. Mestinya mereka sekarang menunggu-nunggu dia datang! Pasti mereka bertanya-tanya, kenapa ia belum datang-datang juga! Jack berdoa dalam hati, semoga mereka tidak menyusulnya keluar lewat lubang yang ada pada pilar besar. Jika itu terjadi, pasti mereka akan disergap Pak Eppy beserta ketiga anak buahnya. Dan akhirnya pasti rahasia mereka akan terbuka juga. Kalau tidak pun takkan banyak gunanya — karena peta harta itu kini sudah jatuh ke tangan Pak Eppy! "Apabila Pak Eppy sudah mengetahui jalan masuk lewat sebelah dalam pilar, harta karun itu sudah bisa dibilang jatuh ke tangannya!" kata Jack dalam hati. "Untung Lucian tadi tidak melihat aku keluar dari situ! Sekarang moga-moga saja Bill dan anak-anak tidak tahu-tahu muncul!" Tapi itu tidak mungkin terjadi — karena saat itu mereka sedang tersesat di tengah lorong- lorong buta! Mereka masih saja berkeliaran di dalamnya, dengan perasaan semakin cemas. Jack tidak kembali, dan kini mereka sendiri tersesat! "Aduh — lorong-lorong ini benar-benar menyesatkan!" kata Dinah dengan perasaan putus asa. "He, Bill! Aku yakin, kita tadi sudah lewat di sini. Aku ingat batu yang menonjol ini — karena terantuk ke sikuku tadi, dan sekarang sekati lagi. Aku yakin, ini batu yang tadi!" "Kita cuma berputar-putar saja di sini, tanpa tahu apakah kita berada di dekat ruang kolong, atau lebih dekat ke makam bawah tanah!" keluh Philip. Bill sudah cemas sekali memikirkan keadaan mereka, ia berhenti lalu berpikir sebentar, berusaha mengenali arah. Tapi sia-sia saja. Hal itu mustahil bisa dilakukan di bawah tanah, karena tidak ada yang bisa dijadikan pedoman. Mereka terus lagi. Beberapa saat kemudian sampai di suatu percabangan. "Yah," kata Bill. "Kita coba saja ke kanan. Barangkali saja ini salah satu persimpangan di mana kita harus ke kanan. Mudah-mudahan saja begitu! Yuk, kita terus." Anak-anak ikut di belakangnya. Lucy-Ann sudah bosan sekali. Sesampai ke persimpangan berikut, mereka kembali mengambil lorong yang sebelah kanan. Setelah itu mereka sampai ke simpang empat Di situ pun mereka memilih lorong yang paling kanan. Bill mulai bersemangat lagi. Barangkali saja mereka kini berada di lintasan yang benar, karena sejak tadi tidak lagi secara tiba-tiba menghadapi jalan buntu seperti beberapa kali dialami sebelumnya. Nah — di depan ada persimpangan lagi. Dan ke mana lagi mereka menuju, kalau bukan ke kanan! Lorong itu tahu-tahu berakhir di ujung tangga terjal yang mengarah ke bawah. Bill mengangkat lentera yang dibawanya tinggi-tinggi, lalu memandang dengan mata terpicing ke bawah. “Ternyata kita tidak salah lagi!" katanya. "Mestinya itulah yang disebut makam bawah tanah — gua dan lorong-lorong bersambungan, yang zaman dulu dipakai sebagai tempat pemakaman dan macam-macam lagi!" "Kita benar-benar tidak tersesat lagi, Bill?" tanya Lucy-Ann. Anak itu senang sekali kedengarannya. "Aku sudah khawatir saja tadi, jangan-jangan takkan bisa lagi keluar dari sini. Kita turun ke bawah sekarang?" "Ya," kata Bill. "Biar aku yang di depan. Yuk!" Bill menuruni tangga terjal, disusul oleh anak- anak. Telundakannya ada sekitar tiga puluh. Anak-anak merasa seolah-olah sedang turun ke pusat bumi. Di ujung tangga itu ada ruangan aneh, menjorok jauh ke tempat yang gelap gulita. Di sepanjang dinding di situ ada rak-rak yang dipahat dari batu bukit, begitu pula sejumlah ceruk yang kelihatannya biasa dipakai sebagai tempat menyimpan barang atau tempat orang tidur. Kemudian mereka sampai di depan sebuah lubang yang terdapat di lantai tempat aneh itu. Bill menyorotkan senternya ke dalam lubang itu. Ternyata di sisinya ada semacam tangga panjat, untuk tempat berpijak. "Aku turun!" kata Bill. "Kurasa inilah tempat yang kita cari-cari selama ini!" ia menghilang ke dalam liang itu dengan membawa senter. Tidak lama kemudian terdengar suaranya berseru dari bawah. "Betul, ini dia!" serunya dengan lantang dan bersemangat. "Ini ruang harta yang kira cari— dan harta karun itu masih ada!" Bab 23, HARTA — DAN JEBAKAN! Nyaris saja mereka yang masih di atas berjatuhan ke dalam lubang — begitu berebut mereka turun! Lentera diserahkannya pada Bill. Diterangi lentera serta senter, semuanya memandang berkeliling di dalam ruang harta itu. Liang yang mereka masuki itu berbentuk bulatan sempurna, seakan-akan dibuat dengan mesin. Padahal ditatah dengan tangan! Dalam gua bulat itu berserakan kotak-kotak kayu, begitu pula tong dan peti kayu bersimpai tembaga. Kayunya sudah lapuk dan pecah di sana- sini, mungkin karena memasukkannya ke situ dulu dengan asal lempar saja. Beraneka ragam benda berharga berhamburan. Ada yang masih di dalam peti atau tong, tapi banyak pula yang terserak di lantai gua. Rantai yang terbuat dari logam tertentu, bertatahkan batu mulia — bros, gelang lengan dan kaki — sisir yang mungkin terbuat dari emas dan dihiasi dengan a batu permata kecil-kecil — jambangan yang indah-indah dari logam yang mungkin emas tapi mungkin juga kuningan. Hal itu tidak bisa dikatakan dengan pasti, karena logamnya nampak kusam. Di satu sudut nampak kumpulan belati dan pedang yang indah tempaannya, sedang di sudut lain semacam pakaian pelindung dari logam — semuanya semula ditempatkan di dalam peti-peti yang kini sudah sangat lapuk. Atau mungkin juga jatuh berserakan ketika peti-peti yang dilemparkan dari atas pecah berantakan karena membentur lantai batu. Kecuali itu banyak pula nampak patung-patung kecil yang pecah dan retak, begitu pula benda-benda yang kelihatannya merupakan cawan minum dan mangkuk, serta masih banyak benda lainnya lagi yang tidak diketahui kegunaannya oleh anak-anak. "Wah!" kata Bill dengan sangat bergairah, sama seperti anak-anak. "Ini baru benar-benar harta karun. Mungkin harta Andra — tapi mungkin juga bukan. Kita tidak bisa mengetahuinya dengan pasti. Tapi harta Andra atau bukan, yang jelas nilainya sebanding dengan setengah kerajaan kecil, kalau mengingat umurnya yang sudah begitu tua! Coba kalian perhatikan belati ini! Pasti sudah puluhan abad umurnya — tapi tetap utuh, karena udara di sini sangat kering. Kurasa benda seperti ini sekarang hanya bisa dilihat di museum-museum saja!" "Wah — hebat, Bill!" kata Philip. Matanya nampak berbinar-binar diterangi cahaya lentera, sementara ia sibuk memungut harta demi harta, semuanya serba indah buatannya. "Kurasa barang-barang yang berupa pakaian, seperti jubah, baju, dan sepatu tentunya sudah musnah semua karena terlalu lapuk," kata Dinah dengan nada setengah menyesal. "Coba masih ada, aku ingin mencoba memakainya. Wah, Bill — kita benar-benar telah berhasil menemukan harta itu!" "Coba Jack juga ada di sini sekarang," kata Lucy-Ann dengan suara seperti hampir menangis, "ia pasti akan senang sekali melihat barang-barang seindah ini. Aduh, Bill — ke mana dia. ya?" "Kurasa ia agak lama juga tadi mencari-cari Kiki, lalu tidak menyusul kita karena tidak ingin tersesat." kata Bill menduga. "Begini sajalah! Kita kembali sekarang untuk mencarinya. Nanti kalau sudah ketemu, dia kita ajak kemari, untuk melihat sendiri harta yang berlimpah-ruah ini!" "Tapi akan bisakah kita nanti menemukan jalan kemari lagi?" tanya Philip sangsi. Bill juga menyangsikannya. Senternya sudah hampir padam. Sedang minyak di dalam lentera tentunya tidak banyak lagi yang tersisa. Mereka harus cepat-cepat kembali menyusul Jack, pergi ke luar — dan kemudian makan! Mereka sebenarnya sudah lapar sekali. Tapi selama itu tidak dirasakan, mula-mula karena repot mencari jalan yang benar, dan kemudian terlalu gembira setelah berhasil menemukan harta! "Jika kita bisa kembali dan menemukan Jack dengan cepat, kita akan sempat makan dulu," kata Bill. "Lalu jika lentera yang ada pada Jack masih cukup banyak minyaknya, dengan lentera itu kita kembali lagi ke sini! Tapi nanti kita akan bertindak lebih bijaksana — lorong yang dilewati akan kita beri tanda! Sebenarnya menemukan tempat ini mudah saja jika kita benar-benar waspada dan selalu mengambil simpang yang sebelah kanan. Rupanya tadi ada satu simpangan yang tidak kita lihat!" Mereka naik lagi ke atas, meninggalkan tempat penyembunyian harta karun yang entah sudah berapa tua umurnya. Mereka berada di ruangan besar, yang pada peta ditandai dengan tulisan Makam Bawah Tanah'. Dari situ dengan mudah mereka sampai di ujung bawah tangga yang terjal. Mereka menaikinya, kembali ke bagian yang merupakan 'Lorong Buta'. "Jangan lupa, sekarang kebalikannya! Kita harus selalu memilih simpang yang paling kiri," kata Bill. "Kalau itu kita lakukan, pasti beres!" Tapi mereka kembali bersikap kurang waspada. Ada satu persimpangan yang tidak mereka perhatikan, dan sebagai akibatnya mereka tersesat kembali — berkeliaran di dalam lorong- lorong yang berkali-kali buntu. Lucy-Ann sudah hampir menangis karena capek. Selama itu Miki terus bertengger di bahu Philip. Saat melewati tempat-tempat sempit, ia mendekapkan diri ke kepala anak itu. Miki pun sudah bosan ikut menyusur lorong-lorong gelap itu, yang seperti tidak habis-habisnya, ia kepingin keluar lagi, berada di tempat yang terang, ia sudah lapar, dan terlebih-lebih lagi haus. Tiba-tiba monyet kecil itu meloncat dari bahu Philip, turun ke lantai lalu lari. Philip berseru- seru memanggilnya. "He, Miki! Miki! Sini, Miki! Tersesat kau nanti!" Miki memperlambat larinya, tapi tidak berhenti. "Biar saja, Philip!" seru Bill. "Kurasa ia tahu jalan keluar! Binatang memiliki indera keenam — mereka umumnya selalu tahu jalan pulang! Mungkin ia bisa membawa kita kembali ke ruang kolong kuil, dan dari situ naik ke dalam pilar yang berlubang!" Miki tidak memahami kata-kata Bill. Tapi coba mengerti, pasti akan dilakukannya. Tentu saja ia tahu jalan! Tentu saja nalurinya akan menunjukkan jalan mana yang harus diambil — kiri, kiri, kiri, dan kiri — tanpa keliru, seperti yang dilakukan manusia-manusia itu tadi. Wah, kalau ia yang berjalan paling depan, dari tadi mereka akan sudah sampai. Tapi ia tidak disuruh! "Nah — kita sudah tiba lagi di ruang kolong kuil!" kata Philip dengan perasaan lega, ketika tidak lama kemudian mereka benar-benar sudah masuk ke dalam ruangan luas itu. Lucy-Ann malah begitu lega hatinya, sehingga dengan diam-diam ia menangis, ia cepat-cepat menghapus air matanya, karena malu kalau ketahuan. Dipegangnya tangan Bill, yang langsung menggenggamnya untuk menenangkannya. "Kita sudah selamat sekarang," kata Bill. "Harta sudah kita temukan, kita sudah kembali — dan sekarang tinggal mencari Jack! Karena selama ini kita tidak berjumpa dengan dia, kurasa ia pasti ada di luar, menunggu kita di situ!" Sementara itu Jack masih ada di pekarangan kuil, bersama Pak Eppy, Lucian, serta ketiga laki-laki anak buah Pak Eppy. Selama itu ia selalu saja dirongrong paman Lucian yang ingin tahu di mana yang lainnya dan apakah Jack tahu jalan menuju harta karun. ia melontarkan kata-kata ancaman, dan bahkan beberapa kali menempeleng Jack. Lucian juga ikut kena tempeleng, ketika anak itu hendak menolong Jack. Jack sama sekali tidak menduga bahwa Lucian akan berani melawan pamannya, karena selama itu ia selalu menganggapnya anak konyol yang cengeng dan penakut "Terima kasih, Lucian," katanya. "Tapi jangan ikut campur, karena kau malah akan kesakitan sebagai akibatnya. Jangan khawatir, perbuatan pamanmu ini pasti akan terbalas nanti!" Jack sudah lapar sekali. Tapi yang merasa begitu rupanya bukan dia sendiri, karena tiba-tiba Pak Eppy bertanya di mana makanan yang diantarkan anak laki-laki yang datang naik keledai. Jack masih ingat tempatnya, yaitu di dalam pilar besar yang berlubang, pada suatu tonjolan, di dekat ujung atas telundakan batu. Tapi jika itu dikatakan, akan terbongkar pula rahasia jalan menuju harta! Karena itu ia tetap membungkam, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala, sementara Pak Eppy terus menghujaninya dengan pertanyaan tentang tempat makanan itu. Rasa lapar semakin menyiksa. Jack juga semakin cemas memikirkan Bill serta anak-anak. Di mana mereka? Matahari sudah hampir terbenam! Kiki yang selama itu bertengger di bahu Jack, saat itu dengan tiba-tiba saja mengoceh, ia terbang ke lubang pada pilar yang patah itu, lalu hinggap di situ. Jack menggigit-gigit bibir dengan gelisah, ketika melihat Kiki menelengkan kepala ke bawah, ke lubang yang ada di dalam pilar. Aduh, jangan buka rahasia, Kiki! Kiki mendengar suara Bill yang saat itu sedang mendaki tangga yang berbelit-belit, ia juga mendengar suara Lucy-Ann yang tinggi, yang menyusul di belakang Bill. Kiki sengaja hinggap di tepi lubang, karena ingin menyambut kedatangan mereka. "Kiki! Sini, Kiki!" seru Jack gugup. "Tutup pintu, tutup pintu, bersihkan kaki, maaf!" oceh Kiki bersemangat dengan kepala dijengukkan ke dalam lubang. Kemudian terdengar suara memanggil dari dalam lubang itu. "Halo, Kiki! Di sini kau rupanya! Mana Jack?" seru seseorang dengan suara berat Itu suara Bill! Pak Eppy langsung waspada. Ia memberi isyarat pada ketiga anak buahnya, yang dengan segera lari menuju pilar lalu berjaga-jaga di situ. "Awas, Bill!" teriak Jack. "Awas! Ada bahaya!" Setelah sunyi sesaat, terdengar lagi suara Bill di dalam tiang, "Ada apa, Jack?" Pak Epp..." Jack tidak bisa meneruskan seruannya, karena Pak Eppy cepat-cepat membungkam mulutnya dengan tangan. Bill berseru lagi, "Ada apa?" Kepala Bill tersembul di lubang, kemudian kaki dan badannya. Ketiga laki-laki bawahan Pak Eppy bersembunyi di balik pilar, bersiap-siap untuk menyergap. Saat itu Bill melihat bahwa Jack dipegang erat-erat oleh Pak Eppy. ia berbalik, hendak meloncat kembali ke dalam lubang. Tapi ketiga laki-laki tadi lebih cepat bertindak. Mereka menariknya ke luar, lalu membantingnya ke tanah. Seorang di antaranya menduduki kepalanya, sehingga Bill tidak bisa berteriak. Jack meronta-ronta sambil menendang-nendang dan berusaha menggigit. Tapi Pak Eppy terlalu kuat baginya. Sesaat kemudian kepala Philip tersembul dari dalam lubang, ia hendak melihat, kenapa Bill tiba-tiba tak terdengar lagi. Ketika melihat Bill diringkus tiga orang, tanpa berpikir panjang lagi remaja itu meloncat ke luar untuk menolongnya. Pak Eppy berseru pada anak buahnya. Rupanya memerintahkan mereka agar Bill dilepaskan, karena saat itu juga mereka melepaskannya. Bill menegakkan tubuh sambil meraba-raba hidung dan gigi. “Ada apa di sini?" tukasnya. Tapi sebelum ia sempat melanjutkan, tiba-tiba terdengar suara anak perempuan di dalam pilar. "Bill! Bill!" seru Lucy-Ann memanggil-manggil dengan cemas. "Ada apa? Bisakah kami keluar?" "Aku hendak membantu kedua anak perempuan itu keluar," kata Bill setelah menimbang- nimbang sesaat, ia mengatakannya pada Pak Eppy yang menganggukkan kepala sebagai tanda membolehkan. Tidak lama kemudian Dinah dan Lucy-Ann sudah berada di pekarangan, bersama Miki yang ketakutan sekali kelihatannya. “Apakah yang terjadi di sini?" kata Lucy-Ann. "Aduh, lega hatiku melihat kau selamat, Jack. Aku sudah cemas sekali selama ini! Eh — Lucian juga ada di sini!" "Bukan main!" kata Lucian sambil menabahkan diri. "Tak kukira akan berjumpa dengan kalian di sini!" Pak Eppy membentak dalam bahasa Yunani, dan seketika itu juga Lucian nampak lemas kembali. Setelah itu Pak Eppy menoleh ke arah Bill, yang menatapnya dengan pandangan marah. Bill memang marah sekali itu. Hidungnya yang tadi diduduki mulai membengkak. "Kau ini rupanya mencari-cari perkara, Eppy — atau entah siapa namamu," kata Bill dengan nada galak. "Kau tidak bisa seenakmu sendiri beraksi seperti penjahat, dibantu bawahanmu, ketiga bandit ini! Kenapa sebetulnya kau kemari?" "Ini pulauku," kata Pak Eppy dengan nada orang yang menang. "Aku sudah membelinya. Kalian boleh pergi dari sini—jika aku sudah menemukan jalan ke harta karun itu, dengan bantuan kalian! Kalau kalian tidak mau pergi, nanti akan kuadukan dengan dakwaan datang kemari tanpa izin, dan juga hendak mencuri barang yang sebenarnya milikku." "Kau sudah gila rupanya!" tukas Bill sambil mencibir. "Kau hanya menggertak saja! Kau baru beberapa hari yang lalu mengetahui tentang pulau ini — jadi tidak mungkin ada waktu untuk mengurus pembeliannya. Aku tidak percaya pada omong kosongmu itu! Sekarang jangan ganggu kami lagi! Kalau tidak, kau sendiri yang akhirnya akan dengan segera masuk penjara!" Pak Eppy meneriakkan aba-aba — dan Bill disergap lagi oleh ketiga laki-laki tadi, lalu diikat kaki dan tangannya. Bill sebenarnya kuat, tapi ia tidak bisa apa-apa menghadapi lawan sekaligus tiga orang. Pak Eppy menggenggam pergelangan tangan Jack, agar tidak bisa membantu Bill. Philip maju, tapi terpelanting lagi karena dipukul salah satu dari ketiga laki- laki itu. Lucy-Ann menangis ketakutan. Lucian tidak berani berbuat apa-apa. ia meringkuk di sudut. Seluruh badannya gemetar. Kiki dan Miki bertengger tinggi di atas pohon. Keduanya memandang kejadian di bawah dengan heran. Kenapa manusia-manusia itu begitu ribut mengayunkan lengan kian kemari? Kiki terbang menyambar, lalu mematuk telinga Pak Eppy. Orang itu berteriak kesakitan. Hampir saja ! melepaskan Jack. Setelah Bill, kemudian Jack dan Philip pun diikat pula. "Awas, kalau kalian berani menyentuh kedua anak perempuan itu!" kata Bill mengancam. Tapi percuma — Dinah dan Lucy-Ann tetap diikat walau tidak seerat yang lain-lain. Dinah bersikap menantang, sedang Lucy-Ann ketakutan sekali. "Dan sekarang — " kata Pak Eppy, "sekarang kita mencari harta Andra. Hartaku! Kalian cuma memegang petanya — tapi pulau ini milikku, dan sebentar lagi harta itu pun akan menjadi milikku pula! Terima kasih, karena kalian sudah menunjukkan jalan masuk ke sana!" Kemudian ia masuk ke dalam pilar, diikuti ketiga anak buahnya. Lucian dipanggil, disuruh ikut. Anak itu ketakutan sekali. "Mereka itu benar-benar penjahat'" gumam Bill bernada marah. "Bisakah kita membebaskan diri sementara mereka ada di bawah? Itu satu-satunya kesempatan bagi kita!" Bab 24, TERTAWAN! Mereka menunggu sampai semua yang pergi bersama Pak Eppy sudah masuk ke dalam lubang. Kemudian Bill berbicara lagi. ia menggerutu, "Sungguh! —Aku takkan mau lagi melihat peta harta, atau mendengar omongan kalian! Itu berbahaya — karena pasti setelah itu kita langsung terjerumus dalam kesulitan! —Jack! Philip! Coba kalian berusaha melepaskan tali yang mengikat kalian! Bisa atau tidak?" "Dari tadi aku sudah berusaha," kata Jack, disusul oleh Philip yang mengatakan bahwa ia juga sudah mencoba. "Tapi penjahat-penjahat itu tahu caranya mengikat dengan erat. Pergelangan kakiku sampai sakit rasanya dimakan tali, sedang pergelangan tanganku tidak bisa kugerakkan sedikit pun." Tangan mereka semua terikat ke belakang. Jadi memang mustahil bisa membebaskan diri secara sendiri-sendiri. Bill merebahkan diri, lalu berguling-guling mendekati Dinah dan Lucy-Ann. ia merasa kasihan pada Lucy-Ann. Dinah lebih tangguh, sikapnya lebih mirip anak laki- laki—tapi Lucy-Ann yang lemah lembut, sudah sepantasnya sangat takut. "Jangan takut, Lucy-Ann," kata Bill membujuknya. "Nantilah, akan kita cari akal untuk membalas penjahat-penjahat itu." "Kudoakan saja, semoga mereka tersesat di dalam lorong buta," kata Jack dengan sengit, ia masih menggeliat-geliat, berusaha melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya. "Kemungkinan itu memang ada," kata Bill. "Yang jelas, lama sekali mereka baru akan kembali lagi kemari. Kita harus berusaha agar sudah bisa membebaskan diri, sebelum mereka datang lagi." "Kalau aku bisa bebas, aku akan cepat-cepat masuk ke dalam pilar dan mengambil makanan yang kita taruh di samping telundakan yang paling atas," kata Jack. "Itu jika masih ada yang disisakan para penjahat! Kurasa pasti hampir semuanya mereka ambil!" Bill menduga bahwa penjahat-penjahat itu tentu membawa semuanya. Tapi ia diam saja. ia tidak lagi mencoba melepaskan tali yang mengikat pergelangan tangannya, karena gerakannya yang menggeliat-geliat malah menyebabkan tali semakin dalam mengiris daging, sampai sakitnya nyaris tak tertahan lagi Bill memandang berkeliling, mencari batu berpinggiran tajam yang bisa dipakai untuk memutuskan tali pengikat pergelangan tangannya. Setelah ditemukan, ia pun berguling- guling ke situ. Tapi tangannya terikat di belakang punggungnya, sehingga ia tidak bisa melihat apa yang dilakukannya. Sebagai akibatnya, tangannya berdarah-darah kena batu. Akhirnya Bill menghentikan usaha itu. Kiki hinggap di atas pohon sambil menggumam pada dirinya sendiri. Segala keributan yang terjadi di bawah menyebabkan ia ketakutan. Beberapa waktu kemudian ia menelengkan kepala ke bawah, memandang ke arah Jack. Kelihatannya keadaan sudah aman. Burung itu terbang ke bawah, lalu hinggap di atas perut Jack. "Panggilkan dokter," oceh Kiki sambil memiringkan kepala. "Panggilkan dokter, bilpak." "Itu gagasan yang bagus, Kiki," kata Jack sambil mencoba tersenyum. "Suruh dia cepat-cepat datang! Tolong teleponkan!" Kiki langsung menirukan bunyi pesawat telepon berdering. Bunyi itu aneh, di tengah puing- puing reruntuhan di pekarangan kuil itu. Bahkan Lucy-Ann pun tertawa mendengarnya. "Halo, halo!" oceh Kiki. ia senang, karena ternyata ada perhatian. "Halo!" "Bagus, Kiki!" kata Jack sambil nyengir. "Kau sudah berhubungan dengan Pak Dokter? Bilang padanya, kami semua terserang penyakit Eppy yang ganas!" Miki turun dari pohon, karena ingin ikut dalam keramaian di bawah. Tapi ia sangat ketakutan. Tapi karena orang-orang di bawah sudah berbicara dan tertawa-tawa lagi, keadaan tentunya sudah aman lagi. Monyet kecil itu meloncat ke pangkuan Philip yang diikat dalam posisi duduk. "Aku tidak bisa mengelus-elusmu, Miki, karena tanganku terikat ke belakang," kata Philip. "Ya — tanganku memang tidak kelihatan, karena terikat di belakang punggungku. Lihat saja ke sana!" Miki ingin dibelai agar rasa takutnya reda. Tapi tangan Philip tidak kelihatan! Monyet kecil itu pergi ke balik punggung remaja itu, untuk memeriksa. Ah — di situ rupanya tangan Philip! Miki menarik-nariknya, minta dielus-elus. "Apa boleh buat, Miki — tapi tidak bisa," kata Philip, ia menoleh pada yang lain-lain sambil nyengir. "Miki bingung, kenapa aku tidak membelai-belainya. Tanganku ditarik-tarik!" Sementara itu Miki melihat tali yang mengikat tangan tuannya. Monyet kecil itu bingung. Apa sebabnya di situ ada tali? Mau apa Philip dengan tali itu? Eh, ternyata tangan Philip tidak bisa digerakkan, karena terikat tali itu! Miki menarik-narik simpulnya. "Ya, bagus, Miki," kata Philip memuji-muji. "Ya, tarik terus simpul itu! Nanti kalau berhasil kaubuka, aku akan bisa membelaimu lagi!" Anak-anak yang lain memandang ke arahnya dengan penuh harap. "He, Philip — apakah Miki — bagaimana, bisakah ia melepaskan ikatan itu?" "Belum tahu," kata Philip. "Ia memang sibuk menarik-narik. Ayo, Miki! Tarik terus, sampai lepas!" Tapi Miki tidak bisa melepaskan ikatan itu, karena cakarnya terlalu kecil — sedang ikatannya terlalu erat. Monyet kecil itu berhenti menarik. Tapi kemudian timbul lagi akalnya! Miki menggigiti tali! "Apa yang kaulakukan itu, Miki?" seru Philip, ketika merasa mulut Miki menyentuh pergelangan tangannya. "Wah, Bill! Binatang cerdik ini berusaha menggigiti tali yang mengikat diriku!" Semua memperhatikan Philip. Air mukanya menampakkan pikirannya dengan jelas. "Bagus, Miki — gigit, saja terus!" katanya. "Monyet pintar! Jangan, Kiki — jangan ganggu Miki!" Kiki mendatangi Philip, karena ingin melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Miki di belakang punggung remaja itu. "Satu, dua, tiga — DOR!" teriak burung itu, seolah-olah membakar semangat Miki. "Sini, Kiki! Biarkan Miki bekerja sendiri," panggil Jack. Kiki datang dengan patuh. "Nah — bagaimana?" tanya Bill. "Kurasa bisa," jawab Philip, yang merasa ikatan mulai longgar. "Sudah agak longgar sekarang. Ayo terus, Miki!" Pekerjaan itu tidak mudah. Tapi Miki sabar dan ulet. ia terus menggigit-gigittali, karena tahu bahwa Philip menghendakinya. "Sudah mulai lepas sekarang!" seru Philip bersemangat. "Terus saja, Miki — tinggal beberapa gigitan lagi!" Karena digigit-gigit terus, akhirnya tali putus ketika Philip menyentakkannya. Anak itu menggerakkan tangannya yang kini sudah bebas ke depan, sambil mengerang. "Aduh — pegal sekali rasanya! Terima kasih, Miki—kau berjasa besar! Tunggu sebentar sampai tanganku sudah tidak begitu pegal lagi—nanti kau akan kubelai dari kepala sampai ujung ekor!" Philip melepaskan potongan-potongan tali yang masih terikat ke pergelangan tangannya, ia menggerak-gerakkan jari-jarinya yang terasa kaku, lalu membelai-belai monyet kecil itu, yang langsung meringkuk ke dalam pangkuan Philip sambil mendengus-dengus pelan karena senang. Baik Bill maupun anak-anak tidak mendesak Philip agar cepat-cepat melepaskan tali yang mengikat mereka. Semua tahu bahwa Miki pantas mendapat perhatian dulu. "Nah, sekarang sudah cukup," kata Philip beberapa saat kemudian. "Aku harus menolong yang lain-lain. Kau ikut membantuku!" Miki dijunjungnya, lalu diletakkannya ke bahu. Kemudian Philip merogoh kantungnya, mengambil pisau sakunya. Jari-jari tangannya masih terasa kaku. Tapi dengan segera sudah biasa lagi. Dengan pisau sakunya ia memotong tali yang mengikat pergelangan kakinya. Kemudian ia mencoba berdiri. Kakinya terasa aneh, karena tadi terikat erat sekali. Tapi dengan segera ia sudah bisa berjalan secara biasa. Philip langsung mendatangi Dinah dan Lucy-Ann. Dengan cepat kedua anak perempuan itu dibebaskan dari tali yang mengikat mereka. Lucy-Ann mendesah karena lega. "Uuuh — terima kasih, Philip!" desahnya. "Enak rasanya bebas kembali! Bagaimana rasanya tanganmu, Dinah?" "Agak kaku," kata Dinah sambil menggosok-gosok pergelangan tangannya. "Hhh, rasanya kepingin sekali mengikat Pak Eppy, supaya ia tahu bagaimana rasanya tidak bisa bergerak sama sekali! Jahat sekali orang itu!" Dengan segera semua sudah dibebaskan dari ikatan. Bill yang paling menderita, karena pergelangan tangan dan kakinya tadi terikat erat sekali. Agak lama juga baru ia bisa biasa lagi. ia mengernyit kesakitan, ketika darah mulai mengalir dengan normal kembali dalam tubuhnya. Semua sibuk membelai-belai Miki. Monyet kecil itu berceloteh dengan suara pelan, menikmati perhatian yang begitu besar padanya. Jack terus mengawasi Kiki, karena tahu bahwa burung kakaktua itu pasti cemburu. "Awas, Kiki! Kalau kau berani jahil, kuikat kau nanti," kata Jack memperingatkan sambil menepuk paruh burung itu. Kiki langsung merajuk, ia menyembunyikan kepalanya ke bawah sayap, sambil mengomel. "Kasihan Polly, kasihan Polly, jangan menyedot-nyedot hidung, pakai sapu tanganmu!" "Burung itu memang tidak bisa diatur," kata Bill tersenyum, sambil mengurut-urut pergelangan tangannya yang masih sakit sedikit. "Nah — sekarang sudah lebih enak rasanya. Bagaimana kalau kita makan sekarang, Anak-anak? Tentunya kalau masih ada yang tersisa." Jack cepat-cepat menuju ke pilar besar, ia terpaksa dibantu Philip naik ke dalam lubang, karena pergelangan kakinya masih terasa agak lemas. Sesampainya di dalam pilar, ia meraba-raba mencari tempat yang menonjol, di mana bekal makanan ditaruh. Tempat itu gelap sekali, karena matahari sudah terbenam. Jack gembira sekali ketika teraba olehnya beberapa benda yang rasa-rasanya roti dan keju. ia berseru, memanggil Philip, "Jaga, Philip — aku akan melemparkan makanan ke luar!" Philip menyambut roti dan keju yang dilemparkan oleh Jack dari dalam pilar. Setelah itu menyusul sebuah bungkusan berisi daging. "Tunggu dulu — ini masih ada roti lagi," seru Jack sambil melemparkannya ke luar. Setelah itu ia menyusul sambil nyengir. "Rupanya mereka tadi begitu terburu-buru, sampai tidak sempat makan sebentar!" katanya. "Mereka pasti melihat makanan ini ada di dalam!" "Bill — amankah jika kita sekarang makan dulu?" tanya Lucy-Ann gelisah. "Aman," kata Bill menenangkan. "Aku akan duduk di dekat pilar itu! Jika ada yang berani keluar nanti, akan tahu rasa dia!" Bab 25, KEJADIAN SAAT MALAM HARI Hari sudah gelap, karena matahari sudah lama terbenam. Anak-anak yang sedang makan dengan lahap di tengah pekarangan kuil kuno itu sudah hampir tidak bisa lagi saling melihat. "Belum pernah roti dan keju rasanya senikmat sekarang ini," kata Dinah sambil mengunyah. "Padahal kemarin kuanggap keju ini tidak enak — agak manis. Tapi sekarang, nikmat!" "Itu karena kau lapar sekali saat ini," kata Jack sambil memberikan secuil pada Kiki. "Ini kan keju yang dibuat dari susu kambing, ya Bill? Wah — coba lihat itu — Miki makan dengan lahap!" "Miki dor!" oceh Kiki menyela. "Satu, dua, tiga— DOR!" "Burung konyol," kata Jack. "He, Bill—apa yang sedang Anda pikirkan?" "Macam-macam," jawab Bill dengan serius. "Aku sedang memikirkan rencana selanjutnya." "Hebat, ya — harta karun yang kita temukan itu!" kata Lucy-Ann dengan mata bersinar-sinar. Jack yang sementara itu sudah mendengar cerita tentang pengalaman yang lain-lainnya di bawah tanah, agak merasa iri. Hanya ia sendiri yang belum melihat ruang harta yang berisi harta karun yang berserakan ke mana-mana. "Apa rencana Anda sekarang, Bill?" tanya Philip, ia kini merasa sudah bisa berpikir secara biasa lagi, karena di samping sudah bebas, perutnya pun sudah terisi. "Kurasa malam ini kita tidak bisa berbuat banyak." "Memang, itu sudah jelas," kata Bill. "Untuk hari ini sudah cukup banyak yang kita alami. Kecuali itu Dinah dan Lucy-Ann sudah mengantuk sekali. Kasihan!" Kedua anak perempuan itu sudah capek sekali, sehabis berkeliaran begitu lama di bawah tanah, ditambah dengan keributan menghadapi Pak Eppy serta ketiga anak buahnya. Lucy-Ann berbaring meringkuk sambil menempelkan diri pada Dinah. Matanya sudah terpejam. "Aku juga sudah mengantuk sekali," kata Jack. ia menguap lebar-lebar. "Aku ingin tidur lama sekali!" "Lagi pula, jika kita ingin melakukan sesuatu malam ini, apalah yang bisa kita perbuat, Bill?" kata Philip. Ia pun ikut-ikut menguap. "Melarikan diri, sudah jelas tidak bisa. Andros takkan berani kembali, karena Pak Eppy mengancam akan memasukkannya ke dalam penjara jika ia muncul lagi di sini. Orang seperti Andros itu kan sederhana sekali jalan pikirannya. Kurasa Pak Eppy juga memberi uang yang banyak padanya!" "Ya—di samping karena takut diancam, Andros pasti tadi siang cepat-cepat pergi karena sudah menerima pembayaran," kata Bill. "Andros pasti tahu bahwa Pak Eppy mempunyai perahu motor di sini — bahkan kemungkinannya dua sekaligus, ditambah dengan yang dipakai oleh anak buahnya kemari. Jadi pasti Andros berpikir bahwa kita takkan terdampar terus di sini, karena mungkin akan dibawa kembali oleh Pak Eppy." "Eh, betul juga — perahu Pak Eppy!" seru Philip bersemangat. Rasa mengantuknya tersingkir sesaat. "Kita tinggal menemukannya saja, Bill! Bagaimana jika kita mencarinya sekarang, sebelum orang-orang itu kembali?" "Tidak, jangan malam ini," kata Bill. "Aku sudah merencanakan akan melakukannya besok pagi-pagi sekali. Jika berhasil, kurasa kita selamat! Sekarang dengar — aku yang akan menjaga selama empat jam pertama mulai dari sekarang. Setelah itu giliranmu menjaga, Jack — lalu Philip. Kalian berdua masing-masing dua jam. Setelah itu, hari sudah pagi." "Untuk apa kita melakukan penjagaan? Apakah untuk menunggu kalau-kalau Pak Eppy muncul untuk menyampaikan salam?" tanya Jack berkelakar sambil nyengir. "Tepat," kata Bill. ia menyalakan sebuah lentera. "Kalian berdua sudah capek sekali —jadi tak ada gunanya kalian yang menjaga dulu, sebelum sempat tidur agak lama. Nanti giliran kalian!" "Baiklah," kata Jack, lalu berbaring merapatkan diri pada Philip. "Biar jagoan kita yang berbadan besar dulu yang menjaga. Huh — sepertinya aku sudah tidur sekarang!" "Apa yang akan Anda lakukan jika orang-orang itu muncul?" tanya Philip pada Bill. "Anda pukul mereka satu-satu, begitu ada kepala tersembul dari lubang?" "Mungkin," kata Bill sambil menyalakan pipanya. "Janganlah soal itu kau pikirkan. Tidur saja sekarang!" Sesaat kemudian Jack dan Philip sudah terlelap. Bill memadamkan lentera. Kini hanya api pipanya saja yang sekali-sekali nampak remang di pekarangan gelap itu. Bill berpikir-pikir, menimbang segala kejadian selama dua hari itu. ia memikirkan ucapan Pak Eppy yang bernada sombong, yang mengatakan bahwa pulau itu kini miliknya, ia berusaha menduga letak teluk kecil yang satu lagi, di mana terdapat perahu motor Pak Eppy. ia juga mereka-reka, sudah sampai di mana orang itu bersama anak buahnya, yang sedang mencari-cari jalan menuju harta Andra. Mudah-mudahan saja mereka tersesat di dalam lorong buta yang berliku-liku, katanya dalam hati. Bill menyusun rencana untuk keesokan hari. Mula-mula mencari perahu motor Pak Eppy. Tapi di mana kemungkinannya anak sungai itu? Mungkinkah... Tiba-tiba ia berhenti berpikir-pikir, karena mendengar bunyi sesuatu. Bill memadamkan pipanya, lalu berdiri dengan diam-diam. Ia menajamkan telinga. Rasanya bunyi tadi datang dari bawah tanah. Jika itu Pak Eppy beserta anak buahnya yang kembali, ia takkan sempat tidur lagi nanti! Bill mengambil sepotong kayu yang sudah dilihatnya sore itu. Kelihatannya kayu itu dulu merupakan bagian dari bingkai jendela. Tapi dijadikan senjata juga cocok! Bill berdiri di sisi pilar besar itu. ia mendengarkan dengan seksama, ia mendengar bunyi seperti langkah orang yang sedang mendaki. Pasti itu seseorang yang menaiki tangga berbelit-belit di bawah pilar itu. Kemudian bunyi itu terhenti. Orang yang datang itu rupanya sudah ada di dalam pilar. Apakah yang diperbuatnya di situ? Kedengarannya seperti sedang meraba-raba, mencari sesuatu. "Ah — ia mencari makanan," pikir Bill sambil nyengir. "Percuma — sudah tidak ada lagi!" Saat itu terdengar rintihan, disusul suara gemetar memanggil-manggil dengan pelan, ''Jack! Philip!" "Eh — itu kan Lucian?!" pikir Bill. ia tercengang. "Nah — tak mungkin ia muncul seorang diri!" Bill mendengarkan kembali. Rintihan tadi mulai lagi, seperti ketakutan. Selain itu tidak ada bunyi lain, misalnya langkah orang mendaki tangga. Bill membulatkan sikap. Ia melompat ke lubang di tepi pilar, lalu memandang ke bawah sambil menyorotkan senter. Lucian berdiri di ujung telundakan. Anak itu mendongak ke arahnya. Nampaknya sangat ketakutan. Mukanya basah karena menangis. Ia menutupi kepalanya dengan tangan, seakan-akan menyangka Bill pasti memukulnya. "Lucian!" kata Bill. "Kenapa kau di sini? Mana yang lain-lain?" "Aku tidak tahu," kata Lucian sambil menangis. "Aku tadi cuma disuruh ikut sampai ke ruang di bawah tangga ini. Aku disuruh tinggal di situ. Kata mereka aku tidak boleh kemana-mana, sampai mereka datang lagi. Kata pamanku tadi, aku akan dihajarnya habis-habisan, jika tidak patuh!" "Jadi mereka belum kembali?" tanya Bill. Senternya masih terus disorotkan ke muka Lucian. "Belum! Dan mereka sudah lama sekali pergi," tangis Lucian. "Aku tidak tahu, apa yang terjadi dengan mereka. Tapi aku lapar sekali! Kecuali itu juga capek dan kedinginan. Aku takut sekali di bawah sana. Aku tidak berani menyalakan senterku terus-menerus, karena takut nanti habis baterainya." Bill mau mempercayai kata-kata anak yang nampak ketakutan itu. "Ayo, naik!" katanya. "Ini — pegang tanganku, lalu loncat ke atas. Ayo loncat, Lucian! Masa begitu saja tidak bisa." Tapi anak itu tidak mampu meloncat, sehingga akhirnya Bill terpaksa masuk ke dalam pilar itu lalu membantunya naik dengan jalan mendorong. Bahkan dengan cara begitu pun, Lucian masih nyaris terjatuh. Anak itu gugup sekali. Namun ia akhirnya berhasil juga turun dengan selamat di pekarangan kuil. Bill menyodorkan roti dengan keju. Lucian melahapnya dengan rakus sekali, seperti sudah sebulan tidak makan. Tapi tiba-tiba ia berhenti mengunyah. "Eh — bukan main, bagaimana Anda sekarang bisa bebas?" tanyanya. "Maksudku — tadi kan masih terikat semua?" "Memang," jawab Bill dengan geram. "Tapi untung bagimu, kami berhasil membebaskan diri — ya, kami semua! Jack dan Philip ada di sebelah sana, sudah tidur. Sedang kedua anak perempuan berbaring di dekat mereka. Jangan — jangan bangunkan! Mereka capek sekali. Coba kami sekarang masih terikat, kau pasti terpaksa mendekam terus di dalam pilar tadi, sepanjang malam. Tidak enak ya, memikirkan kemungkinan itu?" "Memang tidak," kata Lucian sambil bergidik. "Aku menyesal, kenapa datang ke pulau ini. Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Anda akan menyusul pamanku? Pasti ia tersesat!" "Biar saja," tukas Bill. "Biar tahu rasa! Aku tidak suka pada orang seperti pamanmu itu, Lucian!" "Ya, ia memang jahat," kata Lucian. "Katanya tadi, kalau harta karun itu sudah ditemukan, kalian akan ditinggal di sini sementara ia pergi menjemput tenaga tambahan untuk mengangkuti harta itu dari sini." "Ramah sekali," kata Bill dengan masam. "Yah — sebaiknya kau tidur saja sekarang. Dan besok kau harus membantu kami, sebagai imbalan atas segala perbuatan pamanmu terhadap kami." "Tentu saja aku mau!" kata Lucian dengan segera. "Sungguh! Aku kan berada di pihak kalian!" "Ya, ya," kata Bill. "Tapi yang jelas mulai sekarang kau harus!" "Dengan cara bagaimana aku bisa membantu, besok?" tanya Lucian. "Antar kami ke sungai kecil tempat perahu pamanmu ditambatkan," kata Bill dengan segera. "Itu bisa saja — asal aku masih ingat tempatnya," kata Lucian dengan nada agak cemas. "Aku paling tidak bisa mengingat jalan! Tapi kurasa aku masih tahu jalan ke sana." "Kau harus ingat!" kata Bill dengan suara galak. "Dan sekarang tidur! Tidak—jangan ke dekat Jack dan Philip. Di situ saja, di tempatmu sekarang. Dan ingat — jika pamanmu nanti muncul, kau jangan bersuara sedikit pun. Kalau kau berani memberi isyarat padanya, kau akan menyesal nanti!" "Aduh — kan sudah kukatakan bahwa aku memihak pada kalian sekarang!" keluh Lucian, lalu merebahkan diri. Diaturnya letak tidurnya. "Selamat tidur, Pak!" Bab 26, KEESOKAN PAGINYA Bill membangunkan Jack, empat jam kemudian. Dengan singkat ia bercerita tentang kemunculan Lucian secara tiba-tiba. "Ia tadi mengatakan bahwa ia memihak kita, tapi anak secengeng dia sulit bisa diandalkan," kata Bill, agar Jack tetap bersikap waspada. "Jadi dia perlu kau awasi terus. Dan jika kau nanti mendengar bunyi apa saja yang datangnya dari dalam lubang di dalam pilar, kaubangunkan aku dengan segera, ya!" "Baik," kata Jack. ia sudah merasa segar kembali, setelah tidur empat jam. "Tapi mereka itu lama sekali di bawah, ya? Pasti tersesat!" "Mudah-mudahan saja," kata Bill. "Tapi tak mungkin untuk selama-lamanya, karena lorong buta itu tidak terlalu luas. Nah — aku tidur saja sekarang, Jack. Hati-hati saja menjaga!" Jack agak khawatir, jangan-jangan ia tertidur lagi jika menjaga sambil duduk. Karena itu ia menyalakan lentera, lalu mengitari pekarangan sebentar, ia menerangi muka Lucian. Anak itu begitu nyenyak tidur, sehingga sedikit pun tidak bergerak-gerak. Philip juga pulas. Sedang Dinah dan Lucy-Ann tidur berangkulan. Muka mereka tidak kelihatan. Kiki ikut menemani Jack. Burung cerdik itu tahu kapan ia tidak boleh ribut-ribut. Karenanya ia berbisik-bisik di dekat telinga Jack. Anak itu tidak tahan, karena merasa seperti digelitik. Akhirnya Kiki dipindahkan, disuruh bertengger di lengannya.. Dua jam berlalu tanpa kejadian apa-apa. Jack membangunkan Philip, yang kini mendapat giliran menjaga. Tapi tidak mudah membangunkannya, karena anak itu tidur nyenyak sekali. Setiap kali tubuhnya dibalikkan supaya bangun, Philip berguling lagi ke posisi semula, dengan mata tetap terpejam. Akhirnya Jack mendapat akal bagus. Dibukanya sepatu Philip, lalu digelitiknya telapak kaki anak itu! Nah, saat itu juga Philip terbangun! Ia menegakkan tubuh, lalu menatap lentera yang dipegang Jack dengan mata terbelalak. "Kenapa kau..." katanya dengan suara lantang. Jack cepat-cepat mendesis, menyuruhnya diam. "Sssst! Nanti yang lain terbangun! Aku terpaksa menggelitik kakimu, karena kau tidak bangun-bangun walau sudah kucoba beberapa kali membangunkanmu dengan cara yang biasa! Sekarang giliranmu menjaga!" Philip memakai sepatunya kembali sambil menggerutu. Miki ikut bangun. Monyet itu celingukan. Rupanya ia belum sadar, di mana ia saat itu berada. Sambil berbisik-bisik, Jack bercerita tentang Lucian. Philip geli mendengarnya. "Jadi ia memihak kita sekarang," katanya dengan suara pelan. "Ah — anak itu sebenarnya baik—cuma cengengnya bukan main! Kasihan — pasti ia tadi takut setengah mati di bawah! Baiklah, aku akan tetap mengawasinya — walau kurasa ia takkan berani berbuat macam- macam. Dan jika kepala Pak Eppy muncul dari lubang di pilar itu, dengan senang hati aku memukulnya dengan kayu ini!" Jack nyengir. "Aku tidur sekarang," katanya. "Selamat menjaga, Philip!" Philip masih mengantuk. Berulang kali matanya sudah terpejam kembali. Akhirnya ia mengikuti cara Jack menghilangkan rasa mengantuk, ia berjalan mondar-mandir, ia tidak boleh sampai tertidur saat sedang menjaga. Resikonya terlalu besar! ia memandang arlojinya. Hampir pukul lima! ia memandang ke timur. Langit di sebelah sana sudah mulai terang, keperak-perakan. Giliran Philip menjaga sudah menjelang akhir. Matahari sudah terbit. Alam sekeliling sudah terang. Philip duduk sambil menikmati kehangatan sinar matahari pagi. Tiba-tiba ia mendengar bunyi yang mencurigakan. Philip merapatkan tangan ke telinga, supaya bisa lebih jelas mendengar. Miki mulai mengoceh dengan suara lirih. "Ssst!" desis Philip. Monyet kecil itu langsung diam. Nah — itu bunyi tadi — bunyi langkah di atas batu. "Mereka datang!" kata Philip dalam hati, lalu bergegas ke tempat Bill yang masih tidur menelungkup. "Bill! Bill! Bangun! Mereka datang!" Seketika itu juga Bill terbangun lalu cepat-cepat berdiri. Sedikit pun tidak kelihatan mengantuk lagi. Yang lain-lainnya juga ikut bangun. Hanya Lucian saja yang tidur terus. Tapi tidak ada yang membangunkannya. Bill mengambil kayu dari tangan Philip, lalu bergegas membawa senjata itu ke dekat pilar. "Kalian mundur," katanya pelan pada Dinah dan Lucy-Ann. "Kurasa takkan banyak kesulitan yang akan kita alami. Tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Pokoknya sekali ini Pak Eppy beserta kawanannya takkan kuberi kesempatan sedikit pun!" Bill bersiap-siap dengari tongkatnya di dekat pilar, sambil memasang telinga. Kedengarannya ada orang yang berdiri di dalam pilar. Orang itu berbicara, tapi Bill tidak menangkap kata- katanya dengan jelas. Tapi dapat dikenalinya bahwa yang berbicara itu Pak Eppy! Bill memegang tongkatnya erat-erat! Suara Pak Eppy tak terdengar sesaat, sementara dari arah bawah terdengar seseorang menyerukan sesuatu. Kemudian Pak Eppy memanggil dengan suara pelan, "Lucian! Kau ada di situ, Lucian?" Lucian memang ada di luar — tapi tidak bisa menjawab, karena tidur nyenyak. Pak Eppy memanggil-manggil lagi, "Lucian!" Kini Bill menjawab. Suaranya terdengar geram, "Aku yang ada di sini — Bill Cunningham — dan aku sudah siap menunggu kau muncul, Eppy! Begitu kepalamu tersembul dari lubang, langsung kupukul — dengan ini!" Bill memukulkan tongkatnya dengan keras ke pilar, sehingga semua kaget — termasuk Lucian yang langsung bangun. Di dalam pilar tidak terdengar apa-apa selama sesaat. Kemudian ada bunyi langkah orang menaiki tangga, disusul suara orang berbicara dengan pelan. "Bagaimana kau sampai bisa melepaskan diri?" kata Pak Eppy dari dalam. "Lucian-kah yang membebaskan? ia tidak ada di sini!" "Tidak, bukan dia!" kata Bill. Orang-orang yang ada di dalam pilar berembuk sebentar. Setelah itu Pak Eppy berseru dengan nada mendesak, "Pak Cunningham! Orang-orangku melaporkan bahwa mereka baru saja menemukan Lucian di bawah, ia mengalami cedera berat, sehingga memerlukan pertolongan dengan segera. Berilah kami kesempatan keluar, untuk menolongnya!" Semua yang di luar sama sekali tak menyangka Pak Eppy akan berkata begitu. Apalagi Lucian! Anak itu melongo, ia hendak menyerukan sesuatu, tapi Jack cepat-cepat menyenggol, menyuruhnya diam. Biar Bill saja yang menjawab. "Kasihan," kata Bill. "Naikkan saja anak itu ke atas, nanti kami urus dia! Tapi kalian sendiri, tetap tinggal di dalam. Itu tidak bisa ditawar-tawar lagi!" Pak Eppy berunding lagi sebentar dengan bawahannya, lalu berseru ke luar, "Anda harus mengizinkan kami keluar bersama anak ini. Ia luka parah. Aku cemas sekali melihat keadaannya!" Dinah nyaris tercekikik melihat air muka Lucian saat itu, sementara Bill menjawab dengan cepat, "Tidak bisa! Tidak boleh ada orang lain keluar, kecuali — eh — kecuali Lucian! Sodorkan dia ke luar!" Tentu saja Pak Eppy tidak bisa melakukannya, karena saat itu Lucian sudah duduk di pekarangan, di atas rumput. Lucy-Ann berbisik-bisik pada Dinah, "Pak Eppy ketahuan bohongnya!" Bill memukul-mukulkan tongkatnya ke sisi pilar. "Yah, kelihatannya kau tidak ingin berpisah dari anak itu, ya," serunya. "Kuperingatkan saja baik-baik — jika ada yang berani menyembulkan kepala lewat lubang di atas ini, jangan menyesal jika nanti benjol!" Setelah itu Bill memukul-mukulkan tongkatnya lagi ke pilar. Pak Eppy pasti merasa kecut mendengarnya, karena ia bukan orang yang berani. "Bisakah kami minta makanan sedikit?" serunya setelah beberapa saat membisu. "Tidak bisa!" balas Bill. Ia sama sekali tidak menaruh rasa kasihan pada Pak Eppy serta kawanannya. "Untuk sarapan kami sendiri saja sudah tidak cukup!" Lalu mendengar bunyi langkah di dalam pilar, rupanya Pak Eppy beserta anak buahnya kembali lagi ke ruang bawah. Bill menggerakkan kepala, memberi isyarat pada Jack. "Bagi-bagikan makanan yang masih tersisa! Aku tidak bisa meninggalkan tempat ini, karena siapa tahu — mungkin mereka yang di bawah itu sedang merencanakan sesuatu. Kurasa di antara mereka ada yang bersenjata pistol! Jadi tidak boleh sampai ada yang bisa muncul di lubang." Jack dan Philip membagi-bagikan roti dan keju yang masih ada. Bill makan asal saja, sementara perhatiannya terus tertuju ke lubang. Tapi sama sekali tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Ketika anak-anak sudah selesai makan secara cepat, mereka dipanggil Bill, disuruh mendekat. "Sekarang dengar baik-baik," katanya dengan suara pelan. "Aku harus tetap berjaga-jaga di sini — kalian tentu tahu, kenapa! Nah — kalian sekarang ikut dengan Lucian, mencari sungai kecil tempat perahu motor Pak Eppy ditambatkan. Tapi hati-hati, karena siapa tahu—mungkin di sana ada penjaga!" "Perahunya ada dua — dijaga dua orang," kata Lucian. Kabar itu mengecewakan! Bill berpikir sebentar, mencari akal. "Begini sajalah! Kalian temukan dulu tempat perahu-perahu itu," katanya. "Tapi kalian sendiri jangan sampai kelihatan! Asal kita sudah tahu saja, di mana letak sungai kecil itu. Setelah itu kalian kembali lagi kemari. Mudah-mudahan saja pukul dua belas nanti anak laki-laki dari pertanian itu datang lagi mengantar makanan." "Kita memang memerlukannya sekali," kata Jack sambil mengusap-usap perut. "Bukan kita saja — tapi lebih-lebih lagi Pak Eppy dengan kawanannya," kata Philip sambil nyengir. "Bill, kalau kami sudah kembali setelah menemukan tempat perahu-perahu itu, selanjutnya apa yang akan kita kerjakan?" "Kita kirim Lucian ke sana dengan pesan yang harus dikatakan datang dari pamannya, menyuruh kedua penjaga perahu datang kemari,” kata Bill. "Dan sementara mereka menuju kemari, kita menyelinap turun lalu minggat dengan perahu-perahu itu!" "Wah — tapi nanti tenggelam menubruk karang!" kata Lucian dengan cepat. "Pulau-pulau sini tidak bisa didatangi, kalau tidak disertai orang yang mengenal perairan di sekitarnya. Di sini banyak sekali karang!" Masalah itu tidak bisa diremehkan. Bill berpikir sebentar. "Yah — " katanya setelah sesaat, "itu nanti saja kita pikirkan. Sekarang kalian pergi saja cepat-cepat! Kau menjadi penunjuk jalan, Lucian!" Kelima remaja itu pergi, menyusur jalan yang menurun. Lucian yang paling depan. Kemudian ia membelok ke kiri. "Kau masih ingat rupanya," kata Jack. Lucian menoleh. Air mukanya gelisah. "Terus terang saja, tidak," katanya. "Aku paling payah, kalau disuruh mengingat-ingat tempat dan jalan. Aku selalu saja tersesat Takkan mungkin aku bisa menemukan tempat perahu- perahu pamanku itu!" Bab 27, KEDATANGAN YANG TAK TERDUGA Kekhawatiran Lucian ternyata memang beralasan, ia memang tidak ingat lagi jalan yang harus dilewati. Dengan begitu mereka tidak berhasil menemukan perahu-perahu motor pamannya. Anak itu benar-benar payah, ia hanya mondar-mandir saja. Setiap kali menuju ke arah pantai, ternyata selalu sampai di tempat yang begitu curam, sehingga tidak mungkin perahu motor bisa berlabuh di situ. "Kau ini benar-benar dungu," kata Jack menggerutu. Kiki mendengar ucapan itu, lalu dengan segera meniru. "Dungu!" ocehnya. "Dungu! Panggil dokter!" Tapi tidak ada yang tertawa. Tersenyum pun tidak! Anak-anak terlalu kecewa. Kasihan Lucian — ia sudah nyaris menangis. "Ini bukan salahku," katanya terisak. "Kalau dari semula tahu bahwa itu penting, pasti aku memperhatikan jalan ketika datang kemarin. Tapi aku kan belum tahu waktu itu!" "Sudah, jangan menangis lagi — nanti kau kudorong masuk ke dalam lubang kelinci, lalu kutimbuni lumut," kata Jack dengan sebal. Lucian ketakutan mendengar ancaman itu. "Kalau aku bisa, pasti aku ingat" katanya dengan lesu. "Tapi kalau perahu itu kita temukan, kita masih tetap saja tidak bisa pergi dari sini. Tidak ada yang bisa, kalau tidak disertai orang yang tahu jalan yang aman. Di sekitar sini terdapat ratusan terumbu yang hanya nampak saat laut sedang surut Bahkan pelaut yang berpengalaman pun pasti masih akan mengalami kesulitan melewatinya. Aku tahu betul, karena aku sering mendatangi pulau-pulau sekitar sini bersama pamanku." "Aku percaya," kata Jack sambil menatap Lucian. "Aku juga tidak berani mengemudikan perahu seorang diri, kalau tidak ditemani pelaut yang tahu jalan. Wah, kalau begitu kita benar-benar tidak berdaya. Tidak ada perahu — dan kalau adapun, tidak bisa meninggalkan pulau ini. Gawat!" Lucy-Ann langsung membayangkan mereka semua terdampar di pulau gersang itu, sampai bertahun-tahun! ia mengeluh. "Aku menyesal sekarang, kenapa aku membelikan kapal yang ada di dalam botol itu untuk Philip," katanya. "Coba dari semula aku tahu bahwa itu akan menimbulkan petualangan yang begini, pasti cepat-cepat kubuang!" Kelima remaja itu kembali dengan langkah gontai, menuju ke kota puing. Tiba-tiba Jack berhenti, lalu mendongak. "Bunyi apa itu?" katanya. "Kedengarannya seperti pesawat terbang!" Semua ikut mendongak, sambil mendengarkan. Tidak selang beberapa lama nampak bintik kecil di langit sebelah utara. Bintik itu semakin mendekat Itulah pesawat yang mereka dengar bunyinya. "Sayang kita tidak bisa membuat tanda isyarat minta tolong," kata Dinah. "Tapi kucoba saja dengan sapu tangan!" ia mengambil sapu tangannya yang kecil, lalu melambai-lambaikan ke arah pesawat yang masih jauh. Anak-anak yang lain memandang dengan geli. "Kausangka orang yang di pesawat itu bisa melihat sapu tangan kumalmu itu?" tanya Philip mencemooh. "Dan kalau melihat kaukira ia akan turun kemari?" "Siapa tahu, kan?" kata Dinah sambil melambai-lambai terus. "Kau sinting!" tukas Philip. Dinah memandang abangnya dengan masam. Tapi ia melambai terus. Anak-anak yang lain meneruskan langkah, tapi masih sambil memperhatikan pesawat yang sementara itu terbang di atas pulau. Terbangnya melintas — tapi kemudian memutar lalu kembali! "Mereka melihat sapu tanganku!" pekik Dinah! "Lihatlah, pesawat itu datang lagi!" "Jangan konyol," kata Philip. Tapi pesawat tadi benar-benar datang lagi. Bukan itu saja, tapi bahkan terbang merendah, lalu memutar dan melintas sekali lagi di atas pulau. "Di sebelah sana ada tanah yang datar. Itu, di sini!" teriak Dinah ke arah pesawat, seolah-olah menyangka bahwa orang yang ada di dalamnya bisa mendengar suaranya. "Mendaratlah di sana! Itu, jangan sampai lewat!" Pesawat itu semakin menurun, lalu berputar sekali lagi. Rupanya penerbangnya melihat dataran yang diteriakkan oleh Dinah, lalu mendarat di situ dengan pelan. Roda-rodanya menyentuh tanah. Sesaat nampak seperti akan terjungkir, karena tanah tempat mendarat itu tidak rata, tapi akhirnya pesawat berhenti dengan selamat. Dinah memandang anak-anak dengan bersemangat "Nah, apa kataku! Penerbangnya melihat sapu tanganku — dan mendengar aku berteriak- teriak!" Anak-anak memandang pesawat terbang itu dengan perasaan gembira. "Tidak mungkin yang datang itu kawan Pak Eppy!" seru Philip. "Pasti orang yang disuruh mencari kita! Yuk, kita ke sana!" Anak-anak itu lari secepat mungkin, melintasi lapangan yang berbenjol-benjol tanahnya. Mereka melihat dua orang laki-laki keluar dari pesawat itu. Mereka melambai ke arah anak-anak, lalu berjalan menyongsong. Lucy-Ann yang bermata awas, paling dulu mengenali kedua orang itu. "Itu Tim!" pekiknya. "Tim, sahabat Bill! Dan bukankah itu Andros, tukang perahu kita yang lari?" Lucy-Ann ternyata benar. Orang yang satu memang Tim, bersama Andros yang kelihatannya agak kikuk. Tim menyapa anak-anak. "Halo! Mana Bill? Bagaimana — kalian semua selamat? Aku kemari, karena mendapat laporan dari Andros ini! Ceritanya begitu luar biasa!" "Ya, Bill juga selamat!" seru Jack. Diguncang-guncangnya tangan Tim, karena senang sekali melihat orang itu. "Wah, senang sekali rasanya melihat Anda datang. Jadi Andros mendatangi Anda, lalu bercerita tentang kami?" "Ceritanya benar-benar luar biasa — sampai sulit rasanya bisa percaya," kata Tim. "Rupanya selama ini ia bingung, apakah kejadian ini harus dilaporkan atau tidak. Akhirnya ia memutuskan, lebih baik diceritakan saja pada seseorang. Kemudian ia melihat aku mondar-mandir di dermaga. Saat itu aku sedang bingung, kenapa kalian belum muncul-muncul, ia mengenali diriku, lalu langsung menghampiri. Katanya, ia mengantar kalian ke Thamis, lalu kalian naik ke darat, ia menunggu kalian di dalam perahu. Karena hawa panas, akhirnya ia tertidur." "Memang,"" kata Jack. "Lalu sekonyong-konyong ada orang datang, ia disuruh bangun, lalu dibentak-bentak. Orang itu mengatakan bahwa ia tidak boleh datang ke situ tanpa izin, sambil mengancam akan mengadukannya biar ia dijebloskan ke dalam penjara," kata Tim menyambung cerita. "Andros mengatakan bahwa ia tidak bisa pergi begitu saja, karena ia ke situ mengantar seorang laki- laki dengan empat remaja yang membawa burung kakaktua dan seekor monyet kecil. Laki-laki yang membangunkan semakin marah mendengarnya. Katanya pulau itu miliknya, dan jika Andros tidak pergi dengan segera, ia akan ditangkap saat itu juga." "Pasti itu Pak Eppy yang mengamuk," kata Jack. "Ketika Andros berkata bahwa ia belum menerima pembayaran, orang tadi menaruh segenggam uang ke tangannya, lalu mengacungkan pistol. Andros cepat-cepat pergi dengan perahu motornya. Ia merasa bersalah, lari meninggalkan kalian terdampar di sini. Tapi kemudian ia membujuk dirinya sendiri. Orang yang marah-marah itu pasti datang dengan perahu motor, jadi kalian pasti bisa dibawanya pergi, kapan ia mau. Betul begitu ceritamu, Andros?" "Aku tidak mengerti semua. Pak," kata Andros dalam bahasa Inggris patah-patah. "Orang jahat di sini. Jahat sekali. Andros menyesal sekali, Pak." "Nah — sekarang aku ingin mendengar cerita kalian," kata Tim pada anak-anak. Mereka silih berganti menuturkan pengalaman selama itu. Tim mendengarkan dengan mulut ternganga. Bukan main — belum pernah ia mendengar petualangan sehebat itu seumur hidupnya! Dengan cepat sudah dipahaminya duduk perkara sebenarnya, ia tertawa geli, membayangkan Bill berdiri dengan sikap siaga di sisi pilar yang berlubang, siap untuk memukulkan tongkatnya ke kepala Pak Eppy atau anak buahnya, jika ada yang berani mencoba keluar. "Aku pun mau disuruh menangani mereka," kata pemuda itu dengan riang, lalu menirukan gerak-gerik orang berkelahi. Lucy-Ann tercekikik melihat tingkahnya. "Aku ingin tahu apakah Bill sudah sempat mengayunkan pentungnya," katanya. "Kalau sudah, mudah-mudahan saja kepala Pak Eppy yang kena gebukan," kata Tim sambil nyengir lagi. "Nah—sekarang bagaimana rencana kita?" "Kita harus menemukan teluk kecil yang satu lagi, serta perahu-perahu yang ada di situ," kata Jack. "Itu yang pertama-tama harus kita lakukan. Setelah itu kedua penjaga yang ada di sana harus dipancing pergi. Begitu mereka sudah pergi, kita harus berusaha meninggalkan pulau ini, tanpa kandas membentur karang." "Andros tahu di mana letak teluk kecil itu — dan aku juga," kata Tim. "Aku melihatnya tadi, ketika terbang melintas di atas. Perahu-perahu yang ada di situ juga sempat kulihat. Kalau soal kedua penjaga, aku bisa membereskannya — bersama Andros." "Jangan — aku tahu cara yang lebih baik untuk menyingkirkan mereka," kata Philip, lalu menceritakan rencana semula, yaitu mengirim Lucian ke sana untuk memancing mereka agar pergi. "Ya, rencana itu memang lebih baik," kata Tim sambil mengangguk. "Tidak perlu memakai kekerasan! Bukannya aku keberatan, tapi aku tidak begitu pasti tentang teman kita yang satu ini. Potongannya tidak bisa dibilang kekar!" "Kurasa sebaiknya kita lihat dulu bagaimana keadaan Bill, sebelum kita berbuat apa-apa," kata Jack. "Lagi pula jangan sekarang kedua penjaga di perahu-perahu itu kita pancing supaya pergi ke kuil, sebab nanti malah bisa merepotkan Bill. Yuk — kita kembali saja dulu ke tempat Bill." Rombongan itu berjalan menuju kuil. Kiki mengoceh sepanjang jalan, karena merasa bahwa anak-anak sudah tidak lesu lagi. "Bilpak," katanya berulang-ulang pada Andros. "Bilpak, bilpak!" Tidak lama kemudian mereka sampai di pekarangan kuil. Bill tercengang ketika melihat anak- anak datang bersama Tim. "Halo!" sapanya. "Wah, wah! Kalau begitu pesawat kita rupanya yang tadi kulihat melintas di atas. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas dari sini, tapi memang begitulah harapanku tadi. Untung kau bisa berjumpa dengan anak-anak. Mereka sudah bercerita tentang pengalaman kami di sini?" "Ya, sudah," kata Tim sambil nyengir, lalu menoleh ke arah anak-anak. "Kalian ini ternyata petualang sejati! Bagaimana, Bill — ada kesulitan dengan mereka yang di dalam pilar?" "Cuma sekali saja aku harus memukul," kata Bill. "Sayangnya bukan kepala Pak Eppy, melainkan salah seorang anak buahnya! Sejak itu aku tidak mendengar apa-apa lagi." Saat itu terdengar bunyi genta berdenting-denting. Bunyinya menuju ke arah kuil. "Eh — kok ada bunyi lonceng?" tanya Tim tercengang. "Jangan-jangan kita terlambat masuk ke sekolah!" Lucy-Ann tertawa geli. "Bukan — itu pengantar makanan kita. Setiap hari datang, sekitar saat sekarang ini. Untung saja, karena aku masih lapar setelah sarapan pagi sesedikit tadi!" Tim semakin tercengang ketika melihat anak laki-laki yang bertampang bandel muncul menunggang keledai yang membawa keranjang. Bill tidak beranjak dari tempatnya di dekat pilar, ia menyerahkan sejumlah uang pada Jack, untuk dibayarkan pada anak kecil itu. Anak bandel itu menerima uang pembayaran, mengedipkan mata ke arah Tim, lalu meludah ke arah Miki. Monyet kecil itu langsung membalas. Bidikannya lebih jitu! "Bah!" sembur anak itu dengan jijik. "Bah!" oceh Kiki menirukan. "Bah! Teng-teng-teng, cul si bah muncul!" Anak bandel menoleh dengan cepat ke arah Kiki. ia tercengang, lalu naik ke punggung keledainya sambil mengoceh. Kiki menirukan ocehannya, dan mengakhiri dengan tiruan bunyi tembakan pistol. Bunyi keras itu mengejutkan keledainya, yang langsung lari tunggang-langgang. "Bisa mati aku nanti karena terlalu banyak tertawa melihat tingkahmu, Kiki," kata Bill yang tertawa terbahak-bahak. "Nah, sekarang bagi-bagikan makanan itu, Jack! O ya, tolong lemparkan juga sedikit ke dalam pilar, supaya mereka yang ada di bawah tidak sampai mati kelaparan!" Makanan yang diantarkan banyak sekali, sehingga cukup untuk semua. Bill menjengukkan kepala ke dalam lubang, lalu berseru ke bawah dengan suara lantang. "Ini, jika kalian ingin makan! Tapi jangan mencoba berbuat yang aneh-aneh — sebab kalau begitu nanti takkan kami beri lagi!" Bill melemparkan roti, keju, dan daging ke bawah, disusul dengan buah-buahan, karena menurut perkiraannya mereka pasti juga sudah haus sekali, seperti dia. Dari arah bawah sama sekali tidak terdengar orang mengucapkan terima kasih, ketika makanan itu sudah diambil. "Aku ingin tahu, apakah mereka juga sudah menemukan harta karun itu," kata Jack sambil mengunyah-ngunyah. "Sayang aku sendiri belum melihatnya! Kurasa sekarang tidak mungkin lagi — dan jika itu benar-benar terjadi — wah, kecewa sekali rasanya hatiku!" Bab 28, MENINGGALKAN PULAU Rencana diatur sambil makan. "Tim, kau nanti membawa kedua anak perempuan ini pergi dari sini dengan pesawat kita," kata Bill. "Mereka harus cepat-cepat dihindarkan dari kemungkinan mengalami bahaya. Andros, jika kita nanti sudah berhasil menyingkirkan kedua penjaga dari perahu-perahu Pak Eppy, kaupilih perahu yang terbaik lalu kita pergi dari sini dengannya!" "Eh, Bill — Anda bermaksud meninggalkan sebuah perahu motor di sini, sehingga orang- orang jahat itu bisa lari?" seru Jack dengan perasaan kurang senang. "Bukan begitu rencanaku! Aku kan belum selesai berbicara. Andros hendak kuminta pula agar menyingkirkan salah satu bagian kecil pada mesin perahu yang satu lagi — supaya tidak bisa dihidupkan saat mereka yang di bawah itu hendak pergi dengannya," kata Bill sambil tertawa. "Biar mereka tetap tertahan di pulau ini sampai kita sudah melaporkan kejadian ini, dan mengetahui apakah Pak Eppy betul-betul sudah membeli pulau ini atau tidak. Jika ternyata sudah, kedudukan jelas akan lebih kuat Pengaduan kita takkan begitu diperhatikan, kalau begitu duduk persoalannya!" "ia memang biasa berjual-beli pulau," sela Lucian. "Semua orang mengetahuinya. Kurasa pulau ini memang sudah dibeli olehnya." "Mungkin saja kau benar," kata Bill. "Bagaimana, Lucian — apakah kau lebih suka tinggal di sini, untuk nanti menyambut pamanmu saat ia keluar dari dalam pilar?" Pertanyaan itu sebetulnya tidak perlu lagi diajukan, karena sudah jelas Lucian pasti memilih ikut dengan Bill beserta rombongannya! Sehabis makan semua bersiap melanjutkan rencana. Tim menuju ke pesawat terbang bersama Dinah dan Lucy-Ann. Sebelumnya, kedua anak perempuan itu merangkul Bill sambil meminta agar ia menjaga diri baik-baik. "Aku akan menunggu dulu sampai sudah kudengar bunyi perahu motor kalian," kata Tim. "Setelah itu barulah aku berangkat. Nah — untuk sementara, selamat berpisah! Yuk, kita ke pesawat terbang sekarang," sambungnya pada Dinah dan Lucy-Ann. "Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan orang di pelabuhan udara nanti, jika aku mendarat di sana bersama kalian "berdua. Habis, kalian dekil sekali kelihatannya!" Sementara itu Andros berangkat menuju tempat di mana kedua perahu Pak Eppy berlabuh, diikuti oleh Jack, Lucian, dan Philip. Seperti sudah disepakatkan, nanti hanya Lucian sendiri yang akan mendatangi para penjaga yang ada di sana untuk menyampaikan pesan palsu, ia harus mengatakan bahwa kedua orang itu diminta datang dengan segera ke pekarangan kuil. Lalu begitu Bill melihat kedua orang itu datang, ia akan cepat-cepat menyelinap pergi meninggalkan pilar, menuju ke tempat perahu — tentu saja tanpa terlihat oleh kedua orang yang datang itu. "Begitu dia tiba, kita akan langsung berangkat dengan perahu motor yang terbaik," kata Jack dengan puas. "Wah—pasti Pak Eppy akan kecewa sekali nanti!" Andros berjalan mendului, ia tahu di mana letak teluk kecil yang satu lagi itu, walau menurut pendapatnya tempat itu tidak sebaik teluk kecil di mana ia mendaratkan Bill beserta rombongannya. Ketika sudah mendekati kedua perahu motor yang dilabuhkan di situ, Lucian sendiri yang terus, sementara yang lain menyembunyikan diri di balik belukar. Lucian sebenarnya merasa gugup. Tapi ia berusaha agar perasaan itu tidak nampak, ia berjalan dengan tenang menghampiri kedua perahu, lalu berseru dengan suara lantang, "He — di mana kalian?" Dua orang laki-laki muncul dari salah satu perahu. Lucian mengatakan sesuatu dalam bahasa Yunani. Kedua laki-laki itu mengangguk tanda mengerti. Mereka bergegas meloncat dari perahu, lalu mulai mendaki bukit. Lucian berseru lagi menunjukkan jalan sambil menunjuk-nunjuk ke sana dan kemari. "Mudah-mudahan saja petunjuknya tidak keliru," pikir Jack ia teringat betapa payahnya ingatan Lucian ketika mereka bersama-sama mencari tempat itu tadi pagi. Tidak lama kemudian kedua laki-laki itu sudah tidak kelihatan lagi. Andros cepat-cepat lari menuju tempat perahu, ia memilih yang lebih kecil, lalu mengutak-atik mesin perahu yang satu lagi. Dicabutnya sesuatu dari mesin, lalu dilemparkannya ke dalam perahu yang lebih kecil. Kini ia berpaling ke arah anak-anak. "Perahu tidak bisa jalan lagi," katanya sambil nyengir puas. "Mesin mati! Kita cepat masuk ke perahu yang itu!" Setelah semua masuk ke perahu yang lebih kecil, Andros mencoba mesinnya sebentar. Begitu hidup, langsung dimatikan lagi. Sementara itu anak-anak menunggu kedatangan Bill. Apakah saat itu ia sedang menyelinap menuju perahu, setelah melihat kedua anak buah Pak Eppy datang? Mudah-mudahan saja! Tiba-tiba mereka dikagetkan suara ribut berteriak-teriak. Apakah yang terjadi? Mereka melihat Bill lari sekencang-kencangnya menuju pantai, ia dikejar dua orang laki-laki yang juga lari dengan cepat Andros langsung bertindak. Dengan segera ia menghidupkan mesin perahu, sambil berseru pada anak-anak agar Bill dibantu naik begitu ia sampai. Bill lari mendekati perahu motor itu. Mukanya merah padam, sedang napasnya tersengal- sengal. Anak-anak mengulurkan tangan menyambut lalu menariknya ke dalam perahu. Dan begitu Bill sudah masuk, perahu langsung meluncur meninggalkan tempat berlabuh. Bunyi mesinnya bising sekali, memecah kesunyian sungai kecil itu. Kedua laki-laki yang mengejar cepat-cepat melompat masuk ke perahu yang satu lagi, sambil berteriak-teriak dengan marah. Andros tersenyum mengejek. Bill langsung mengerti — perahu yang dimasuki kedua orang pengejarnya sudah tidak bisa dipakai lagi sekarang! Kedua laki-laki tadi berusaha keras menghidupkan mesin. Berulang kali dicoba, tapi selalu gagal. Akhirnya mereka menyadari bahwa mesin itu pasti telah diapa-apakan oleh Andros. Mereka mengacung-acungkan kepalan tinju ke arah perahu yang melesat pergi sambil meneriakkan kata-kata kasar yang campur-aduk. Jack dan Philip sangat menikmati kejadian itu. Tapi Lucian rupanya tidak, karena mukanya nampak pucat-pasi. "Kita berhasil," kata Bill ketika napasnya sudah biasa lagi. "Huhh — nyaris saja aku tadi celaka! Aku memang sudah berjaga-jaga menunggu kedua orang tadi muncul. Tapi kedatangan mereka begitu tiba-tiba! Kemungkinannya mereka sudah menduga bahwa panggilan itu merupakan tipuan, karena tahu-tahu saja mereka sudah muncul di depanku. Aku langsung saja lari pontang-panting! Untung Andros tadi sempat memberi petunjuk di mana letak sungai kecil itu. Itu saja, aku masih nyaris salah jalan!" "Apakah selama itu terdengar suara Pak Eppy atau anak buahnya?" tanya Jack. "Tidak," jawab Bill sambil menggeleng. "Tapi tentunya mereka mendengar suara kedua orang tadi itu berteriak-teriak. Jadi pasti sekarang mereka sudah keluar dari dalam pilar. Tentunya mereka mendatangi kedua laki-laki pengejarku tadi, lalu Pak Eppy mengamuk karena mereka meninggalkan perahu, sehingga kita bisa melarikan diri. Dan kurasa ia pasti juga mengata-ngatai Lucian yang menyampaikan pesan palsu pada kedua penjaga itu." Lucian tersenyum kecut Mukanya masih pucat sekali. "Aku pasti akan dihajar habis-habisan nanti," katanya dengan suara lemah. "Tidak," kata Bill. "Jangan kaukhawatirkan soal itu. Pamanmu takkan sempat melakukannya, karena begitu kita sudah kembali, dia akan kulaporkan pada pihak yang berwajib! Tidak peduli apakah pulau ini memang sudah dibelinya atau tidak, tapi tindakannya terhadap kita merupakan pelanggaran hukum!" Sesaat kemudian terdengar bunyi pesawat terbang. "Itu Tim!" seru Jack. ia berdiri di dalam perahu sambil melambai-lambai. "He, Tim!" Pesawat terbang melayang rendah di atas mereka. Kiki menguak ketakutan, sedang Miki cepat-cepat menyembunyikan kepala di bawah ketiak Philip. Tapi anak-anak berseru-seru dengan gembira sambil melambai-lambai. Sekitar pukul enam sore mereka tiba di pulau tempat semula mereka berangkat. Kapal Viking Star masih bersandar di pelabuhan. Anak-anak memperhatikannya. Kelihatannya masih tetap sunyi, seperti waktu mereka pergi. Kemudian mereka melihat Tim berdiri di dermaga — bersama Dinah dan Lucy-Ann. Mereka sudah tiba jauh lebih dulu. Mereka masih sempat makan lagi. Setelah itu pergi ke dermaga, menunggu kedatangan perahu motor. "Aku tadi sudah ke polisi," kata Tim pada Bill. "Kukatakan pada kepala polisi bahwa ada sesuatu yang hendak Anda laporkan padanya, jadi harap jangan pulang dulu sebelum Anda datang. Wah — ia kaget sekali kelihatannya, karena di sini jarang terjadi sesuatu yang serius!" Bill tertawa. "Yah — kurasa laporanku sebenarnya harus ditangani pihak yang lebih berwenang di daratan," katanya. "Tapi karena Andros orang sini, lalu Pak Eppy menyewa perahu-perahunya di sini — serta kalau betul Pulau Thamis sudah dibelinya, dan kalau untuk itu ia berhubungan dengan pengacara hukum yang membuka kantor di sini, maka memang sebaiknya aku mendatangi kepala polisi pulau ini." Kepala Polisi pulau itu bertubuh kecil. Tampangnya cerdas, dengan mata yang menatap sigap. Bahasa Inggrisnya lancar. Ia nampak sangat bersemangat, karena membayangkan akan ada kabar penting untuknya. Dengan penuh perhatian diikutinya laporan Bill, sambil sekali-sekali mengajukan pertanyaan. Anak-anak ikut menambahkan di sana-sini. Kepala polisi itu, yang berpangkat inspektur, kaget sekali ketika mendengar tentang soal harta karun. "Harus kita selidiki apakah laki-laki bernama Eppy itu betul-betul sudah membeli Pulau Thamis atau tidak," katanya. "Saya kenal orang itu — memang kebiasaannya membeli pulau, kemudian menjualnya lagi. Saya tidak senang padanya, ia tidak waras!" Setelah itu Pak Inspektur sibuk menelepon ke sana-sini, sementara Kiki yang sudah agak bosan di situ ikut-ikut mencampuri dengan ocehan, "Halo, halo!" yang ditambah dengan, "Bilpak, bilpak," serta, "Satu, dua, tiga — DOR!" Akhirnya kepala polisi bertubuh kecil itu selesai menelepon, ia memandang Bill dengan wajah berseri-seri. "Paul Eppy memang mencoba membeli pulau itu," katanya, "tapi tidak bisa — karena Thamis merupakan milik pemerintah!" "Bagus!" seru anak-anak serempak. "Hahh — Pak Eppy menggigit jari!" kata Dinah. "Mudah-mudahan saja ia tidak lari membawa sejumlah harta yang langka," kata Pak Inspektur; "Paul Eppy bukan orang yang terkenal jujur!" "Kalau ia berniat lari pun, tidak bisa, Pak," kata Jack sambil nyengir. "Andros sudah melumpuhkan mesin satu-satunya perahu motor yang ada di sana, sehingga tidak bisa dipergunakan lagi. Pak Eppy terdampar di pulau itu bersama anak buahnya." "Bagus! Bagus sekali," kata Pak Inspektur dengan wajah berseri-seri. ia berpaling lagi pada Bill. "Saya harap Anda bersedia menuliskan laporan selengkapnya, supaya nanti saya teruskan ke kantor pusat di daratan. Laporan itu Anda tanda tangani. Anak-anak juga harus ikut membubuhkan tanda tangan mereka, setelah membaca isinya. Sedang Andros menandatangani bagian yang bersangkutan dengan dirinya." "Baik, nanti akan saya tulis," kata Bill. ia berdiri sambil menyambung, "Nah, kalau begitu soal ini sudah beres! Saya sudah sering mengalami petualangan bersama keempat remaja ini — tapi petualangan terakhir inilah yang paling hebat Sayang kami tidak bisa memperoleh sedikit kenang-kenangan darinya!" "Itu bisa saja, Pak," kata Pak Inspektur bersungguh-sungguh. "Saya sendiri akan mengatur agar hal itu mungkin! Negara saya pasti dengan senang hati memberi kesempatan pada Anda semua untuk memilih sendiri tanda kenang-kenangan!" "Kalau begitu aku memilih belati berukir!" kata Philip dengan segera. "Wah — apa kata kawan-kawan di sekolah nanti kalau melihatnya!" "Yuk, sekarang kita naik ke kapal," kata Bill. "Kau ikut, Tim, nanti kita makan malam bersama-sama. Sekarang aku ingin mandi sepuas-puasnya dulu, mencukur jenggot, makan dengan nikmat, lalu — tidur!" Mereka beramai-ramai berjalan kaki menuju dermaga, lalu naik ke Viking Star sambil saling bercerita dengan asyik. Bab 29, AKHIR PETUALANGAN YANG MEMUASKAN Ternyata mesin kapal Viking Star sudah selesai dibetulkan, dan malam itu juga pelayaran dilanjutkan. Anak-anak tidak ada yang mendengar bunyi mesin dihidupkan. Bill juga tidak. Kiki bangun sebentar. Setelah itu tidur lagi, dengan kepala terselip di bawah sayap. Ketika bangun pagi-pagi, anak-anak tercengang melihat kapal sudah berada di tengah laut. Viking Star kini menuju ke Italia. "Aduh, sayang — kita meninggalkan pulau harta karun," kata Lucy-Ann dengan nada menyesal. "Ah, sok — padahal kau senang karena berhasil minggat dari sana," kata Jack. "Kalau itu, memang," kata Lucy-Ann. "Aku cuma merasa menyesal meninggalkan segala harta karun yang ada di sana." "Aku malah sama sekali tidak sempat melihatnya," kata Jack mengingatkan. "Aku rasanya seperti dirugikan! Dan itu hanya karena keisengan Kiki yang tahu-tahu menghilang ketika kita sedang mencari-cari jalan menuju ke tempat harta itu. Tolol!" "Tol-loll" oceh Kiki menirukan. "Cocol!" ia hinggap dekat sebuah piring berisi buah anggur. "Tidak boleh!" kata Jack sambil menyingkirkan piring. "Si Tolol tidak boleh mencocol anggur! Kan sudah cukup banyak yang kaumakan dari tadi. Dasar rakus!" "Kurasa keadaan akan terasa hambar bagi kita sekarang, sampai akhir pelayaran ini," kata Philip, ia memandang sebentar ke kapal-kapalan kunonya yang terletak di atas bufet kabinnya. "Wah — kita waktu itu bergairah sekali, ya — ketika menemukan peta harta karun di dalam kapal-kapalan itu! Kata Bill, kapal itu harus diserahkan pada museum Yunani, karena itu merupakan barang yang kuno sekali. Tapi salinan peta boleh kita miliki —jika bisa memperolehnya kembali dari Pak Eppy!" "Aku ingin tahu, apa kata Ibu nanti jika mendengar petualangan kita," kata Dinah secara tiba-tiba. "Pasti ia marah sekali pada Bill — bahkan mungkin tidak mau lagi bicara dengannya!" "Wah! Kalau begitu, kita takkan pernah melihat Bill lagi," kata Lucy-Ann. ia bingung dan cemas memikirkan kemungkinan itu. "Aku senang sekali padanya. Coba dia itu ayahku! Tidak enak rasanya, tidak punya ayah maupun ibu. Kalian beruntung, Philip dan Dinah — setidak- tidaknya masih punya ibu." "Tapi ibu kami kan dekat sekali dengan kalian," kata Philip dengan cepat. "Kalian memanggilnya Bibi Allie — dan ia memperlakukan kalian seperti anak sendiri." "Ya, aku tahu — Bibi Allie memang baik sekali," kata Lucy-Ann. Setelah itu ia membisu, ia merasa gelisah. Bagaimana jika Bibi Allie benar-benar tidak mau lagi berbicara dengan Bill, karena ia membawa mereka ke dalam bahaya? Wah, kalau itu sampai terjadi, payah! Anak-anak ingin sekali mengetahui apa yang terjadi dengan Pak Eppy serta harta karun itu selanjutnya. Berhasilkah paman Lucian itu lari dari Pulau Thamis? Atau masih tetap terdamparkah ia di sana? Dan bagaimana dengan harta karun yang tersembunyi di dalam liang bulat yang terletak jauh di bawah kota kuno yang sudah runtuh menjadi puing? Bill berjanji akan menyampaikan semua kabar yang berhasil didengar — dan ia pun ingin sekali mengetahui kelanjutan petualangan itu! Viking Star singgah sebentar di Napoli, lalu dari situ meneruskan pelayaran ke Spanyol. Dan di sanalah Bill baru menerima kabar, ia langsung mencari anak-anak. "Kalian pasti senang mendengar bahwa Pak Eppy beserta kawanannya ternyata tidak bisa melarikan diri," katanya menceritakan kabar yang diterima. "Pak Inspektur yang kita datangi waktu itu mengirim seregu petugas kepolisian ke sana dengan perahu motor, ia sendiri juga ikut! Pak Eppy dan anak buahnya langsung ditangkap!" "Lalu — harta yang ada di bawah tanah?" tanya Dinah. "Semuanya diangkut ke luar, lalu dikirim ke Athena untuk diteliti dan ditaksir nilainya. Kita dijanjikan akan dikirimi daftar benda-benda itu — dan kita diminta memilih masing-masing satu, sebagai kenang-kenangan!" "Wah! Kalau begitu aku juga memilih belati, seperti Philip," kata Jack. "Sedang Dinah dan Lucy-Ann, pasti perhiasan!" "Betulkah itu harta Andra?" tanya Lucy-Ann. "Menurut perkiraan mereka, ya," kata Bill. Semua mata menatap ke arah kapal kecil yang terletak di atas bufet. Andra — nama itu tertulis dalam aksara Yunani kuno di sisinya. Kapal petualangan! "Dan bagaimana dengan Lucian?" tanya Dinah. Anak itu masih ada di atas kapal, tapi kini tidak lagi bersama paman dan bibinya, melainkan dengan anak-anak! Bibinya tetap tinggal di pulau tempat pamannya ditahan, untuk menemani suaminya itu. Bill menawarkan diri untuk mengantarkan Lucian sampai di Inggris, lalu di sana dititipkan di rumah salah seorang teman sekolahnya, sampai tiba saatnya bersekolah lagi. "Lain kali kalau liburan lagi, Lucian terpaksa mencari kerabat lain yang bisa didatangi," kata Bill. "Begitulah keadaannya — kecuali jika kita sekali-sekali mau menampungnya. Aku merasa kasihan pada anak itu." Sesaat lamanya tidak ada yang berbicara. "Tidak enak apabila merasa harus melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan, hanya disebabkan rasa kasihan," kata Lucy-Ann sambil mendesah. "Lagi pula, aku tidak tahu apakah Bibi Allie akan suka menerimanya. O ya, Bill — menurut dugaan Anda akan sangat marahkah Bibi Allie pada Anda karena kejadian ini? Petualangan kita, maksudku!" "Ya, kurasa ia akan marah sekali," kata Bill. "Waktu kita singgah di Italia, aku sempat menelepon dan bercerita sedikit tentang soal ini padanya. Mungkin itu keliru—sebaiknya kutunggu dulu sampai bisa berbicara secara berhadap-hadapan muka. Dari suaranya bisa disimpulkan bahwa ia sama sekali tidak senang. Bahkan sebaliknya!" "Aduh — kalau begitu bisa tidak enak keadaan kita selama sisa liburan ini di rumah," keluh Lucy-Ann. "Tidak enak rasanya jika Bibi kesal atau marah. Kecuali itu ia pasti capek sekali sekarang, sehabis merawat Bibi Polly. Lebih enak rasanya jika petualangan kita ini berakhir secara menyenangkan!" Semua merasa lega ketika akhirnya Viking Star mengakhiri pelayaran, masuk ke pelabuhan Southampton. Suasana di kapal selama sisa pelayaran terasa membosankan sekali bagi anak-anak, setelah mengalami petualangan yang begitu tegang dan mengasyikkan. Bu Mannering tidak datang menjemput, karena baru saja kembali dari tempat Bibi Polly sehari sebelumnya, ia langsung pulang, karena hendak membereskan rumah sebelum anak-anak datang. Jadi Bill yang mengantar mereka pulang, naik mobilnya. Lucian diantar ke rumah seorang kawan sekolahnya, yang tinggalnya di suatu tempat di antara pelabuhan dan rumah Bu Mannering. Lucian sedih sekali ketika berpisah dengan anak-anak. Ia menyalami mereka sambil terbata-bata mengucapkan selamat berpisah. Kiki langsung menirukannya. "Eh — eh — eh," oceh Kiki tergagap-gagap. "Bah! Panggilkan dokter! Eh — eh..." "Jangan suka lancang mulut, Kiki!" tukas Jack dengan kesal. Tapi Lucian tidak marah. "Aku pasti akan rindu padanya," katanya sedih. "Dan pada Miki juga! Selamat jalan, Miki — eh — kalian sekali-sekali ingat padaku, ya." Anak itu berpaling dengan cepat, lalu bergegas-gegas pergi. Lucy-Ann mengikutinya dengan pandangan. "Kasihan Lucian — ia sudah hampir menangis tadi," katanya. "Ia sebenarnya baik, cuma agak — yah, agak..." "Cengeng," kata yang lain-lain serempak. Bahkan Kiki pun ikut-ikut mengoceh, "Cengeng! Panggilkan dokter!" "Ya — memang! Cengeng, tapi baik hati," kata Lucy-Ann. Semua masuk lagi ke dalam mobil. "Sekarang kita pulang, Bibi Allie sudah menunggu! Akan kurangkul dia erat-erat saat bertemu nanti!" Bu Mannering senang sekali ketika melihat anak-anak bermunculan dari dalam mobil. Tapi. sikapnya terhadap Bill agak kaku. Ia sudah menyiapkan hidangan yang sedap untuk menyambut kedatangan mereka. Kiki menjerit girang ketika di depannya diletakkan sepiring penuh buah-buahan. Miki juga mendapat sepiring. "Satu, dua, tiga, DOR!" Kiki mulai makan dengan lahap. Tapi matanya melirik-lirik ke piring Miki, siap untuk mencopet sesuatu dari situ begitu ada kesempatan. Sehabis makan, mereka berkumpul di ruang duduk yang nyaman. Bill menyalakan pipanya. Menurut anak-anak, Bill nampaknya agak suram. "Nah, Allie," katanya setelah beberapa saat, "kurasa kau tentunya ingin mendengar semua pengalaman kami selama ini — tentang segala kesibukan mencari harta Andra — dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengannya." Bill mulai bercerita, diselingi oleh anak-anak. Bu Mannering tidak mengatakan apa-apa. Berulang kali ia memandang kapal-kapalan kuno yang dengan bangga dipajangkan Philip di atas rak pendiangan. "Nah — bagaimana pendapat Ibu mengenai pengalaman kami itu?" tanya Philip ketika cerita sudah selesai. Bu Mannering tidak menjawab, ia hanya menatap Bill, yang pura-pura sibuk mengetuk-ngetukkan pipanya ke pagar tempat pendiangan untuk membuang abu. "Aduh, Bill — kau kan sudah berjanji," kata Bu Mannering dengan nada sedih. "Kenapa tidak kautepati janjimu itu? Aku tidak bisa mempercayai kata-katamu lagi sekarang. Kau sudah berjanji dengan bersungguh-sungguh, takkan membawa anak-anak ke dalam petualangan lagi. Aku takkan menyerahkan mereka agar kauawasi, jika waktu itu aku tidak mempercayai dirimu sepenuhnya. Sekarang aku tidak bisa percaya lagi padamu!" "Aduh, Bibi Allie! Anda tidak boleh tidak mempercayai Bill lagi!" seru Lucy-Ann bersemangat. Dihampirinya Bill, lalu dirangkulnya. "Tidakkah Bibi lihat bahwa Bill ini orang yang paling baik, yang paling bisa dipercaya di seluruh dunia?" Bu Mannering terpaksa tertawa melihat sikapnya. "Wah, Lucy-Ann — tiba-tiba kau menjadi begitu galak! Tapi soalnya kan, setiap kali kalian kutitipkan pada Bill, selalu saja kalian kemudian terjerumus ke dalam bahaya besar. Kan begitu kenyataannya?!" "Kalau begitu, kenapa tidak bisa Anda selalu bersama-sama dengan Bill menjaga kami?" tanya Lucy-Ann. "Kenapa kalian tidak menikah saja — supaya Bill bisa selalu ada bersama kita dan Bibi bisa terus mengawasinya supaya ia tidak membawa kami ke dalam berbagai petualangan!" Bill tertawa keras, sementara Bu Mannering tersenyum lebar. Keduanya berpandang-pandangan. "He!" seru Philip bersemangat. "Gagasan itu hebat! Dengannya kita akan mempunyai ayah — untuk kita semua! Wah — bayangkan, Bill menjadi ayah kita. Kawan-kawan pasti iri jika mendengarnya!" Bill berhenti tertawa. Dipandangnya anak-anak dengan serius. Kemudian ia menoleh ke arah Bu Mannering. Alisnya terangkat. "Nah, Allie — apakah kau juga berpendapat bahwa itu gagasan yang baik?" tanya Bill dengan suara lirih Bu Mannering memandangnya, lalu tersenyum pada anak-anak. Ia mengangguk. "Kalau begitu, soal itu sudah beres," kata Bill lagi. "Mulai sekarang kita berdua akan mengawasi mereka ini, supaya tidak terjerumus lagi ke dalam petualangan. Setuju?" "Wah—ternyata petualangan kali ini masih juga berakhir dengan menyenangkan," kata Lucy-Ann sambil menghembuskan napas panjang. Matanya berbinar-binar. "Ah — bahagianya perasaanku sekarang!" "Hidup Ratu!" seru Kiki bersemangat! "Polly jerangkan dokter, panggilkan air. Cul Bill muncul!" TAMAT Gudang Download Ebook: www.zheraf.net http://zheraf.wapamp.com